Hallo, saya balik lagi
dengan cerpen yang sedikit gak ngerti gimana alurnya.
Selamat membaca yaa.
***
Melody masih terdiam kaku menyadari kenyataan baru
yang harus diterimanya. Perpisahan itu benar-benar harus menjadi sebuah saksi
akhir dari kebersamaannya bersama seseorang yang selama ini lebih-lebih
disayanginya, dan sampai kapanpun akan tetap begitu. Saat itu juga Melody harus
berusaha mencoba menjelajah sepinya malam tanpa ada kebersamaan yang pernah
dirasakannya saat itu, tentu saja ketika kebersamaan masih utuh.
Janji suci yang telah terucap di dalam hatinya kian memudar, waktu sendiri yang
memakannya. Tak akan pernah lelah Melody berusaha untuk mencegahnya, namun
dirinya sadar bahwa takdir itulah yang tidak bisa ditolaknya. Seakan perpisahan
itu menjadi sebuah sungai yang membentang luas dan terasa nyata di depan
matanya, Melody harus menyebrangnginya dengan kekuatan yang ada. Perasaan itu
masih tetap satu, ketulusan pun satu, tapi mengapa harus luka yang
mencorengnya? Mengapa harus ada luka yang kemudian mengkelami warna di hatinya,
bukankah selama ini Melody sudah cukup tenang dengan perasaan itu?
Di depannya masih ada seorang perempuan yang beberapa waktu selanjutnya akan
meninggalkan dirinya, ya inilah kebersamaan yang harus diraihnya untuk saat
ini. Melody cukup sadar, seharusnya tak pernah ada perasaan yang terpaut kepada
perempuan itu. Perasaan itu telah lama hinggap pada dasar hatinya.
“Jadi, kamu mau pergi kemana, Haruka-san?” Tanyanya to the point, pegangannya
semakin erat dan semakin menandakan hatinya masih enggan menerima kesendirian
baru pada berkas waktu yang belum terkumpul. “Kamu gak akan ninggalin aku kan?”
Lanjutnya.
Perempuan yang akrab dipanggil Haruka itu hanya menggelengkan kepalanya. “Aku
gak akan pernah meninggalkanmu, meninggalkan kamu sama saja meninggalkan
sesuatu yang telah melekat pada dinding hidupku.”
Melody tersenyum tipis mendengarnya. “Katakan padaku, serius! Aku butuh
keseriusanmu. Kamu gak akan ninggalin aku kan?” Tanyanya masih dengan nafas
setengah berburu.
“Mustahil itu terjadi.” Balasnya sambil tersenyum lebar.
“Tapi, Haruka, seandainya itu kenyataan, apa yang harus aku perbuat?” Melody
menatap Haruka dengan serius. “Kakamu seandainya perpisahan itu takdir nyata
yang ada di depan kita, apa bisa untuk kutepis?” Lanjutnya dengan memasang
wajah serius.
Haruka mengubah posisi duduknya menjadi lebih rileks lagi dan juga lebih maju,
kemudian diusapnya lembut tangan Melody yang sedang menggenggam salah satu
tangannya. Haruka menyadari, ada bentuk ketulusan yang tergambar lewat situasi
ini. Situasi yang memungkinkan akan membunuh salah satu pihak dalam beberapa
waktu ke depan ini.
“Sampai perpisahan hadir, kita akan tetap menjadi kita. Sahabat.” Ucap Haruka
dengan nada setengah berbisik.
“Haruka, katakan padaku, kamu gapapa kan?”
Haruka menggeleng. “Aku gapapa kok, Mel. Aku cuma gak tega lihat kamu seperti
ini, harusnya kamu gak pernah ada di posisi yang juga bakal membunuh kamu.
Apalagi kamu seorang leader disini, maka kamu tak berhak menerima situasi ini.”
“Bagaimana pun aku, tetap saja gak bakal merubah keutuhan aku untuk tulus
menjadi sahabatmu, meski kenyataannya di depan mataku telah ada sebuah sungai
yang mengalir membatasi waktuku untuk terus menjadi sahabatmu.” Balasnya dengan
serius.
“Janji ya, Mel.” Haruka tersenyum senang, pandangannya tak lepas dari pemilik
mata elang itu.
Melody mengangguk. “Tapi, kamu gak bakal pergi, kan?” Haruka menggeleng.
“Beasiswa yang kamu terima itu menandakan kepergian kamu, Haruka. Menandakan
perpisahan itu ada.” Wajah Melody berubah seratus delapan puluh derajat,
kini lebih dominan murung.
“Melody kenapa sih?”
“Aku mohon, jangan pergi. Aku belum siap untuk sendiri. Aku belum siap untuk
mendalami dan juga mengikhlaskan arti kesendirian itu.”
Haruka kembali tersenyum tipis, menyaksikan wajah tampan yang kini sedang
terjajah sebuah takdir dimana wajah itu kini berubah menjadi wajah penuh
kesedihan. Andai saja waktu tak pernah berpihak kepadanya, mungkin kebebasan
untuk bersama akan selalu terasa nyata di depan matanya.
Namun mengapa harus takdir yang melerai kebersamaannya? Mengapa kini takdir itu
membunuh dirinya sendiri, sedang Haruka tak pernah menghendakinya? Suatu saat
nanti, Haruka yakin, bahwa ingatannya tak akan pernah lepas dari laki-laki yang
selama beberapa tahun ke belakang ini mengisi hatinya. Rencana demi rencana
yang sudah tersusun rapi itu kini harus kembali berantakan, terampas takdir
yang memilukan itu.
“Aku takkan pernah pergi. Kamu salah mengartikan ini.” Haruka semakin iba
terhadap Melody. “Aku hanya akan memulai langkah baru, bukan berarti akan
meninggalkanmu juga.”
Melody mencekal tangan Haruka semakin kuat. “Katakan padaku, kamu gak bakal
pergi!”
“Aku gak akan pernah pergi, Melody.”
“Aku masih ragu, Haruka. Aku masih gak rela buat ngelepasin kepergianmu,
apalagi kenyataannya harus ada beberapa hariku yang sepi ke depannya. Aku belum
bisa menerima kepergian kamu sepenuhnya, ketulusanku sebagai sahabatmu belum bisa
memberikan kebahagiaan apapun untuk kamu, Haruka.” Ujar Melody.
“Suatu saat waktu akan mempertemukan kita pada titik kedewasaan yang lebih
dalam lagi. Asalkan saja itu takdir.”
Dalam hati Melody, terukir sebuah penyesalan mengapa harus ada sebuah
persahabatan yang mengisahkan dirinya dengan perempuan itu? Perempuan itu juga
memang menganggap dirinya sahabat, bahkan lebih sering menghabiskan sisa-sisa
waktunya. Tapi seutuhnya bukan takdir yang salah.
Sepinya waktu yang harus dilewati semakin terasa dekat dan mengenalinya lebih
dalam, Melody tak berhak untuk menghindarinya. Bagaimana pun takdir akan selalu
hinggap di permukaan hidupnya, mengukir indah segala ketentuan yang pasti akan
terjadi dalam hidupnya.
Selamanya waktu takkan pernah berhenti berputar, selama itu pula Melody harus
berusaha mati-matian bagaimana cara mengikhlaskan, meski kenyataannya ini
menjadi sesuatu yang teramat menusuk baginya. Perpisahan itu mengalir lewat
dinding waktu dan meresap lewat sepi yang mengendap.
***
Saat kebersamaan tak lagi dirayakan dengan deras dan juga penuh kemeriahan,
mengapa harus ada akhir yang menyudutkan salah satu pihak? Perpisahan itu
wajar, tetapi sewajarnya perpisahan mengapa harus menghentikan kebersamaan yang
telah mengalir?
Waktu kelulusan semakin dekat dan keinginan untuk kuliah bersama itu semakin
terlihat samar. Haruka yang menyadarinya, begitupun dengan Melody. Kini
keduanya tengah duduk di bangku taman sekolah belakang, menikmati kebersamaan
yang tersisa. Sesuatu yang seharusnya bisa dirasakan itu kini akan
melenyap di masa depan. Melody pun begitu, takkan pernah bisa menyusul Haruka
ke luar negeri.
“Moment demi moment yang telah kita rajut selama ini sudah terkunci dalam
hatiku menjadi sebuah memori.” Haruka menghela nafas sejenak. “Dan perasaan
yang telah kita tanam selama ini akan menghasilkan bibit baru, yang kutahu aku
takkan pernah membiarkannya layu.”
Melody masih termangu. Pikirannya masih tenggelam ke arah dimana hanya ada
kebersamaan dan kebersamaan yang tercapai dalam sisa waktu ke belakang ini,
yang pasti akan mengukir sebuah kenangan pada jendela ingatannya.
“Walau aku gak selalu sempurna, tapi hanya kamu yang bisa nerima aku disini,
Haruka. Hanya kamu sahabatku.” Ucap Melody dengan lemah, nafasnya terdengar
lebih ritmis. Sementara pikirannya masih sibuk mengaduk-aduk harapan demi
harapan untuk masa depan nanti, dimana hanya ada dirinya sendiri dan juga
bayangannya.
“Suatu saat aku akan menyempatkan waktu untuk bisa menikmati kebersamaan yang
terasa sempit untuk kita.” Haruka tersenyum tipis, seolah ucapannya telah
menjadi sebuah janji suci yang terukir indah di dalam hatinya. Haruka percaya
akan hal waktu, dimana waktu akan memberikannya kekosongan dan selama itulah
Haruka bisa menikmati kebersamaan dengan Melody.
“Janji?” Melody menatap Haruka serius.
Haruka mengangguk. “Iya, aku tak akan pernah menginginkan ada waktu kosong tanpa
ada kehadiranmu disini, lagipula selama ini kita belum pernah membiarkan diri
sendiri dalam waktu yang kosong, bukan?”
“Apapun keputusan kamu, aku akan selalu mendukung kamu disini, meraihnya lewat
doa. Disini aku akan menjadi seseorang yang kamu harapkan. Kamu ingin melihat
aku jadi photographer kan? Suatu saat juga aku gak bakal pernah mau mengambil
objek berisi perpisahan kayak kita, aku gak akan pernah mau akan itu.” Ucapnya
penuh harap.
“Thanks.”
“Dan kamu akan menjadi diri kamu yang baru, yang mungkin akan lebih baik lagi
jauh dari ini. Aku doakan itu.” Melody mengusap bahu Haruka dengan lembut.
Haruka meraih tangan Melody. “Waktu akan menjadi pembatas untuk kita, tetapi
kamu tidak perlu khawatir, Mel. Aku akan berusaha sebisa mungkin untuk tidak
melupakanmu.”
“Kenapa gak sekalian aja kamu lupain aku, Haruka?”
Haruka menggeleng. “Gak, mustahil itu terjadi. Waktu yang menjadi pembatas kita
akan terus mempererat persahabatan kita dan juga dalamnya ketulusanku untuk
kamu. Semakin berputar, semakin dalam juga ketulusan ini.”
Melody tersenyum senang. Ini adalah sesuatu yang bisa membuatnya melayang.
Melody hanya memaksakan tersenyum, sementara jauh dari itu dirinya sedang
berusaha mati-matian menahan sebuah tangisan yang membeku.
“Kemanapun kamu melangkah, aku akan ada untuk kamu. Ya, meski aku hanya
berbentuk sebuah bayangan yang tak pasti untuk kamu.”
“Ketulusanmu membuat aku bisa memaknai hidup lebih jauh lagi dan lebih dari
sebelumnya. Semoga kamu tetap menjadi yang terakhir untukku.” Ucap Haruka penuh
harap.
“Thanks.” Balasnya setengah lirih.
***
Melody mengarahkan pandangannya untuk tetap memperhatikan langkah Haruka yang
tertuju kepadanya. Ujian Nasional telah berhasil dilewatinya dan perpisahan itu
semakin dekat dan semakin mulai terasa hawanya.
“Ternyata ujian nasional itu mudah untuk kita lewati ya, Mel.” Ucap Haruka
meminta persetujuan.
Tanpa sadar, Melody semakin terhanyut dalam pikirannya. Di hari tua itu, Melody
masih menyimpan harapan demi harapan yang tak mungkin dibiarkannya terkubur
karena waktu. Akan diletakannya seutas keikhlasan sebagai penghias waktu untuk
sebuah hati yang sedang bertengger pada kesendirian. Semoga saja Melody mampu
melewati waktu yang cukup panjang itu, ya meski kenyataannya tanpa kebersamaan.
“Iya, sekarang kita tinggal melewati ujian terberat. Rasanya aku gak bakal
mampu.”
“Ayo kita sebrangi, Mel!” Ucap Haruka dengan nada semangat, meski sebenarnya
ragu akan ucapannya sendiri.
“Aku mau pesen jus, kamu mau apa, Fy?” Tanyanya usai bangkit dari duduknya.
Inilah kebiasaannya dari kecil. Melody dan Haruka sama-sama selalu menyempatkan
diri untuk makan-makan bersama usai UAS, dan ini adalah Ujian terakhirnya di
masa-masa SMA, masa dimana Haruka dan Melody harus menggadaikan kenangan yang
ada pada garis waktu.
Haruka berpikir sejenak. “Aku samain aja sama kamu, Mel.”
“Oke, tunggu ya.”
Kini Haruka sendiri pada diamnya, beberapa saat kemudian Melody pasti kembali
membawa minuman yang tadi dipesan Haruka sesuai selera Haruka sendiri.
“Andai kita gak pernah kenal ya, Mel. Mungkin takdir ini takkan pernah bisa
membunuh hidup kamu, bahkan takdir ini juga terasa pahit untukku. Lebih
tepatnya, takdir ini adalah ujian dunia yang harus aku lewati. Aku termotivasi
akan hal ini, tapi tak seharusnya juga aku merasakan keasyikan di atas takdir
ini.” Ujarnya. Tangisannya perlahan mulai pecah dan bermuara menjadi rangkaian
nada yang berbaur dengan kata-katanya.
Perlahan, Haruka memejamkan matanya sejenak. “Saat aku tak mampu melangkah,
kamu pernah menyemangatiku, Mel. Saat aku tersesat di antara jalan-jalan menuju
kebahagiaan untukku, kamu menunjukannya lewat cara dan kesederhanaanmu. Saat
aku meneteskan air mataku, kamu menutupinya dengan sebuah canda yang kamu bahwa
khusus untuk melarikan tangisan yang telah aku buat. Saat aku mampu menikmati
waktu dengan kamu, kamu mampu mewarnai waktu yang aku miliki. Dan kini,
saat kepedihan dirayakan hati kita masing-masing, rasanya aku yang bersalah
disini. Aku, Mel.”
Tetesan demi tetesan semakin membasahi tangan Haruka yang diletakannya diatas
meja. Haruka menengadah, berharap hujan turun hanya untuk menyamarkan matanya
yang mulai terasa perih dan juga air mata yang terus mengalir pada kedua
pipinya. Haruka tak bisa menahan laju geraknya, karena kepedihan itu akan terus
mengendap di dalam hatinya.
“Ketika kita tidak mampu untuk melangkah, kita saling memapah satu sama lain.
Ketika kita terjatuh, kita saling membangkitkan satu sama lain. Ketika
kebahagiaan sulit untuk kita rajut, kita mencarinya dalam bekunya waktu. Ketika
perasaan kita egois, kita menenangkannya dengan sebuah keikhlasan dan penuh
kesabaran, juga kedewasaan. Dan kini saatnya kepedihan yang kita rasakan, maka
akulah yang merasa bersalah lagi. Aku lagi, Mel.” Tangisannya semakin berirama
mewarnai kata-kata yang keluar dari mulutnya.
Haruka menyeka air mata yang membasahi pipinya, tetapi air mata yang lain
menyusulnya. “Masa lalu yang pernah kita lewati kini akan hadir suatu saat
dalam ingatan kita, mengukir sebuah kenangan yang tak mungkin kita lupakan.
Masa-masa sekarang menuju kelulusan, kita berusaha mati-matian menikmati
kebersamaan yang tersisa. Dan masa depan yang pernah kita ceritakan selagi di
bangku kelas, rasanya sudah lenyap menjadi sebuah bayangan.” Haruka tersenyum
miris menyadari ucapannya sendiri.
Saat tatapannya mengarah penuh kepada Melody, Haruka berusaha mati-matian
menghapus sisa-sisa air matanya. Dari jauh, Melody terlihat pucat dan tidak
bersemangat untuk berjalan menujunya, maka dari situlah Haruka bisa menemukan
awal dari kerapuhan hidup Melody. Kini harapan tinggalah sebuah harapan.
“Kamu nangis, Haruka-san?”
Haruka menggeleng. “Tadi mataku terkena debu, tadi ada angin cukup besar. Kamu
merasakannya?”
“Kamu tidak perlu bohong, Haruka.”
“Aku gak mungkin membohongi kamu, Mel. Aku takkan pernah ingin berbohong untuk
hal-hal yang tidak berguna. Lagipula selama ini aku sudah berusaha menutupi
kebohongan yang ada, bukan?”
Melody mengangguk. “Aku tahu. Ini diminum dulu.” Kemudian Melody duduk kembali,
menghadap ke arah Haruka sambil meneguk segelas jus.
***
Setelah selesai menikmati kebersamaan yang cukup panjang, Haruka akhirnya
meminta untuk pulang. Melody hanya menyetujuinya karena waktu memang sudah
mulai sore, dan waktu sore itulah yang semakin menunjukkan jelas tanda
keberadaan perpisahan itu. Ah, Melody harus melakukan sesuatu!
Aku
mau kamu gak jadi pergi dariku, tapi bagaimana aku bisa menolak itu? Aku juga
gak mungkin menghalangi kamu buat menempuh cita-cita kamu, tapi bagaimana
dengan aku yang nantinya bakal terikat perasaan ini selama beberapa tahun ke
depan?
“Ayo, berangkat.”
Melody masih tercenung, tak mengindahkan perkataan Melody baru saja. Karena
Melody pun tidak mungkin tidak memikirkan hal ini pada saat-saat mendekati itu
terjadi.
“Melody? Ayo berangkat.”
Saat itu juga Melody mulai tersadar akan perkataan Haruka dan mulai melajukan
mobilnya.
Melody memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi, tentu saja saat ini Melody
ingin melampiaskan segala kekesalannya karena takdir yang mematikan itu.
Terlebih Melody ingin mencegah akan kepergian Haruka untuk melanjutkan study di
luar negeri. Perpisahan yang tak pernah diinginkan itu harus menjadi sebuah
kenyataan yang pahit untuk hidupnya. Sampai saat ini akan terus menjadi beban
baginya.
Sedangkan di sebelahnya, Haruka hanya berjaga-jaga diri. Haruka tahu mengapa
Melody seperti ini, ini semua salah Haruka, tapi harus bagaimana lagi? Kedua
orang tuanya menginginkan Haruka untuk menerima beasiswa itu, karena inilah
kesempatan emas baginya. Disamping itu Haruka masih ragu untuk menjalankan hal
tersebut, langkahnya saat ini memang tidak tentu arah.
Semakin tinggi kecepatannya, semakin membuat Haruka ingin segera turun dari
kendaraan milik Melody itu. Bagaimana tidak, Haruka pernah dibuat trauma karena
pernah kecelakaan saat menggunakan motor dengan kecepatan tinggi dan hal itu
membuat Haruka phobia akan kecepatan.
“Melody, aku minta kamu berhenti untuk melakukan hal ini!” Pintanya dengan
sedikit rasa takut yang ada pada dirinya sendiri.
Sedangkan Melody yang sedang menyetir benar-benar tidak fokus terhadap jalanan,
pikirannya masih sibuk akan hari-hari yang sudah tak terasa mendekati dirinya,
hidupnya.
Sampai kapanpun, kepahitan terbesar aku adalah saat dimana perasaan aku harus
tertinggal disini karena dirinya, kehausan akan persahabatan dan cerita kita.
Kejadian demi kejadian kini terputar menjadi sebuah peristiwa yang terekam
dalam memori pikiran Melody.
“Melody! Aku turun disini aja, aku takut.” Keluh Haruka dengan menampakkan
wajah ketakutannya.
Tetap saja Melody tak mendengarnya, karena sebuah rekaman dalam ruang
pikirannya masih terputar.
Harusnya
kita tidak pernah berada dalam satu team, harusnya kita tidak pernah menjadi
seseorang yang saling membutuhkan satu sama lain. Harusnya persahabatan itu
tidak pernah ada.
“MELODYYY!” Teriak Haruka karena kesal.
Saking kesalnya, Haruka segera merenggut setir guna mengalihkan arah laju mobil
yang mengarah ke sekitar perkebunan. Saat itu juga Melody mulai sadar. Namun
sayangnya, kesadaran Melody hanya beberapa saat saja karena setelahnya hanya
ada serangkaian peristiwa buruk yang menimpanya.
Kini kejadian itu telah terjadi. Tadi, dari arah yang berlawanan sebuah mobil
truk sedang membawa barang bawaannya, namun supir truk tersebut terlihat
seperti mabuk dan hilang kesadaran. Kini yang terlihat hanyalah keduanya yang
masih tak sadarkan diri.
Beberapa menit ke depannya Melody tersadar dan segera membawa Haruka ke rumah
sakit tanpa memperdulikan darah yang masih mengalir segar di dahinya.
***
“Jadi maksud dokter, Haruka sudah tidak bisa diselamatkan lagi?” Tanya Melody
tak percaya. Saat itu juga air mata mulai mengiringi kekacauan dirinya.
Tadi dokter sudah menolong Haruka dengan alat penghentak jantung, namun Haruka
tetap saja seperti semula sampai dokter memutuskan untuk mengabarkan hal ini
kepada Melody. Dan kini Melody benar-benar terpukul akan hal ini.
Melody mulai berlari menuju ruangan dimana raga Haruka sudah terbaring dalam
keadaan tak bernyawa. Sangat disayangkan, perempuan yang hendak melanjutkan
kuliahnya di luar negeri kini harus melanjutkan hidupnya ke alam lain.
“Haruka, ini gak lucu! Kamu harus jujur sama aku, kamu masih hidup kan? Kamu
cuma pengen aku nangis kan, Haruka?” Melody mendesak Haruka, namun yang
didapatkannya hanya sebuah kebisuan.
“Kamu bilang, kalau kamu gak akan pergi untuk selamanya! Harusnya kamu bilang
sama aku kalau kamu datang hanya untuk pergi. Harusnya kamu bilang dari awal
sebelum aku menjadikan persahabatan sebagai landasan cerita kita, sebelum
akhirnya aku memilih untuk selalu menikmati kebersamaan bareng kamu, yah
tepatnya sebelum aku benar-benar serius untuk menjalani kita di dalam hidup
antara kamu dan aku.” Nada bicaranya mendadak melemah, Melody sudah menyadari
kepergian perempuan itu.
“Aku gak akan beranjak pergi dari sini barang selangkah pun sebelum kamu hidup
kembali. Kamu denger aku kan, Haruka? Kamu denger aku, kan?!!” Tanyanya
litotes.
“Aku bakal lebih merasakan kerinduan yang dalam buat kamu, dimana saat-saat
musim dingin kita lebih menghabiskan waktu untuk belajar bersama di rumah,
Haruka. Aku… kangen itu.”
“Saat kamu pergi dari sekarang, aku akan kembali bersama siapa nanti? Saat ada
sebuah acara reuni untuk teman-teman sekelas maupun seangkatan kita, dengan
siapa lagi aku bakal saling bertukar cerita? Dengan bayanganmu? Atau aku
mendadak jadi orang gila yang hanya ngomong sendiri? Itu gak mudah. Aku masih
ingin bersahabat denganmu, menikmati hidup denganmu juga.”
“Tapi aku cukup sadar, kamu hanya datang untuk pergi.”
Melody pun segera berlari keluar area rumah sakit, membiarkan raga Haruka
terbaring disana sampai keluarga Haruka datang. Tadi Melody sempat
mengabarinya. Keluarga Haruka tidak marah, hanya saja menyesali kejadian ini.
Mereka hanya pasrah akan takdir ini.
***
Hari perpisahan telah tiba. Tentu saja pengumuman lulusan terbaik pun akan
diumumkan. Melody tampak tak bersemangat, yang ada dirinya hanya ingin mati
saja untuk saat ini.
Saat pengumuman lulusan terbaik diraih atas nama Haruka Nakagawa, perasaan bangga
benar-benar membuncah dalam diri Melody. Namun sampai saat ini, orang itu
takkan pernah bisa dijumpainya sampai kapanpun.
“Yang aku tahu, untuk saat ini ke depannya aku gak bakal pernah bertemu lagi
dengan kamu yang selalu bersinar di hari-hari aku sebelumnya. Semua salah aku,
Haruka.”
“Suatu saat aku kembali ke sini hanya untuk mengingat kenangan
yang tak mudah untuk kulupakan, Haruka.” Ucapnya pelan usai turun dari
panggung.
“Dan bagi aku, melupakan kamu adalah sesuatu yang tak pernah aku inginkan. Bagi
aku melupakanmu hanyalah sebuah kemustahilan.”
“Aku menyesal, harusnya kamu melanjutkan pendidikan kamu. Tapi karena aku, kamu
harus meneruskan hidup kamu ke alam lain. Aku tahu, Haruka, aku salah. Bahkan
aku sangat bersalah karena telah meniadakan kehadiran kamu di samping aku yang
tinggal beberapa saat lagi. Tapi, harusnya kamu tahu bagaimana besar perasaanku
saat aku tahu kalau kamu harus pergi. Itu yang membuat aku gak sanggup buat
sendiri.”
Dengan mood yang cukup tinggi, akhirnya Melody meminta untuk menampilkan sebuah
penampilan khusus dari dirinya.
Melody mulai bernyanyi, membawakan sebuah lagu yang sangat pas dengan keadaan
hatinya saat ini. Perasaannya tercampur aduk saat pikirannya mulai
menerjemahkan bait lirik demi lirik yang termuat dalam lagu yang dibawakannya.
Lagu yang mengusung tema kepergian itu benar-benar membuat perasaannya break!
Menghempaskan ingatannya pada hamparan kebahagiaan yang telah menjadi seberkas
kenangan
Suara tepuk tangan yang meriah dari para pendengar usai dirinya
bernyanyi, membuat Melody yakin bahwa kehilangan seseorang yang disayangi itu
menjadi awal dari langkah barunya tanpa kebersamaan yang indah lagi. Inilah
dimana Melody harus lebih menjadi dewasa, meski kini tak ada lagi kehadiran
seorang Haruka yang dulu pernah mengisi hatinya.
“Suatu saat berjanjilah untuk kembali kesini, Haruka. Aku mohon…” Pintanya
untuk yang terakhir kalinya
***
Hallo gimana cerpennya?
Ehehe, maaf ya kalau ada typo atau mungkin alur kurang jelas dan sebagainya.
Gomen nasai :v
Tidak ada komentar:
Posting Komentar