Minggu, 13 April 2014

Tentang aku dan Harapan Itu




Hallo, saya balik lagi dengan cerpen yang sedikit gak ngerti gimana alurnya.
Selamat membaca yaa.

***

            Melody masih terdiam kaku menyadari kenyataan baru yang harus diterimanya. Perpisahan itu benar-benar harus menjadi sebuah saksi akhir dari kebersamaannya bersama seseorang yang selama ini lebih-lebih disayanginya, dan sampai kapanpun akan tetap begitu. Saat itu juga Melody harus berusaha mencoba menjelajah sepinya malam tanpa ada kebersamaan yang pernah dirasakannya saat itu, tentu saja ketika kebersamaan masih utuh.

            Janji suci yang telah terucap di dalam hatinya kian memudar, waktu sendiri yang memakannya. Tak akan pernah lelah Melody berusaha untuk mencegahnya, namun dirinya sadar bahwa takdir itulah yang tidak bisa ditolaknya. Seakan perpisahan itu menjadi sebuah sungai yang membentang luas dan terasa nyata di depan matanya, Melody harus menyebrangnginya dengan kekuatan yang ada. Perasaan itu masih tetap satu, ketulusan pun satu, tapi mengapa harus luka yang mencorengnya? Mengapa harus ada luka yang kemudian mengkelami warna di hatinya, bukankah selama ini Melody sudah cukup tenang dengan perasaan itu?

            Di depannya masih ada seorang perempuan yang beberapa waktu selanjutnya akan meninggalkan dirinya, ya inilah kebersamaan yang harus diraihnya untuk saat ini. Melody cukup sadar, seharusnya tak pernah ada perasaan yang terpaut kepada perempuan itu. Perasaan itu telah lama hinggap pada dasar hatinya.

            “Jadi, kamu mau pergi kemana, Haruka-san?” Tanyanya to the point, pegangannya semakin erat dan semakin menandakan hatinya masih enggan menerima kesendirian baru pada berkas waktu yang belum terkumpul. “Kamu gak akan ninggalin aku kan?” Lanjutnya.

            Perempuan yang akrab dipanggil Haruka itu hanya menggelengkan kepalanya. “Aku gak akan pernah meninggalkanmu, meninggalkan kamu sama saja meninggalkan sesuatu yang telah melekat pada dinding hidupku.”

            Melody tersenyum tipis mendengarnya. “Katakan padaku, serius! Aku butuh keseriusanmu. Kamu gak akan ninggalin aku kan?” Tanyanya masih dengan nafas setengah berburu.

            “Mustahil itu terjadi.” Balasnya sambil tersenyum lebar.

            “Tapi, Haruka, seandainya itu kenyataan, apa yang harus aku perbuat?” Melody menatap Haruka dengan serius. “Kakamu seandainya perpisahan itu takdir nyata yang ada di depan kita, apa bisa untuk kutepis?” Lanjutnya dengan memasang wajah serius.

            Haruka mengubah posisi duduknya menjadi lebih rileks lagi dan juga lebih maju, kemudian diusapnya lembut tangan Melody yang sedang menggenggam salah satu tangannya. Haruka menyadari, ada bentuk ketulusan yang tergambar lewat situasi ini. Situasi yang memungkinkan akan membunuh salah satu pihak dalam beberapa waktu ke depan ini.

            “Sampai perpisahan hadir, kita akan tetap menjadi kita. Sahabat.” Ucap Haruka dengan nada setengah berbisik.

            “Haruka, katakan padaku, kamu gapapa kan?”

            Haruka menggeleng. “Aku gapapa kok, Mel. Aku cuma gak tega lihat kamu seperti ini, harusnya kamu gak pernah ada di posisi yang juga bakal membunuh kamu. Apalagi kamu seorang leader disini, maka kamu tak berhak menerima situasi ini.”

            “Bagaimana pun aku, tetap saja gak bakal merubah keutuhan aku untuk tulus menjadi sahabatmu, meski kenyataannya di depan mataku telah ada sebuah sungai yang mengalir membatasi waktuku untuk terus menjadi sahabatmu.” Balasnya dengan serius.

            “Janji ya, Mel.” Haruka tersenyum senang, pandangannya tak lepas dari pemilik mata elang itu.

            Melody mengangguk. “Tapi, kamu gak bakal pergi, kan?” Haruka menggeleng. “Beasiswa yang kamu terima itu menandakan kepergian kamu, Haruka. Menandakan perpisahan itu  ada.” Wajah Melody berubah seratus delapan puluh derajat, kini lebih dominan murung.

            “Melody kenapa sih?”

            “Aku mohon, jangan pergi. Aku belum siap untuk sendiri. Aku belum siap untuk mendalami dan juga mengikhlaskan arti kesendirian itu.”

            Haruka kembali tersenyum tipis, menyaksikan wajah tampan yang kini sedang terjajah sebuah takdir dimana wajah itu kini berubah menjadi wajah penuh kesedihan. Andai saja waktu tak pernah berpihak kepadanya, mungkin kebebasan untuk bersama akan selalu terasa nyata di depan matanya.

            Namun mengapa harus takdir yang melerai kebersamaannya? Mengapa kini takdir itu membunuh dirinya sendiri, sedang Haruka tak pernah menghendakinya? Suatu saat nanti, Haruka yakin, bahwa ingatannya tak akan pernah lepas dari laki-laki yang selama beberapa tahun ke belakang ini mengisi hatinya. Rencana demi rencana yang sudah tersusun rapi itu kini harus kembali berantakan, terampas takdir yang memilukan itu.

            “Aku takkan pernah pergi. Kamu salah mengartikan ini.” Haruka semakin iba terhadap Melody. “Aku hanya akan memulai langkah baru, bukan berarti akan meninggalkanmu juga.”

            Melody mencekal tangan Haruka semakin kuat. “Katakan padaku, kamu gak bakal pergi!”

            “Aku gak akan pernah pergi, Melody.”

            “Aku masih ragu, Haruka. Aku masih gak rela buat ngelepasin kepergianmu, apalagi kenyataannya harus ada beberapa hariku yang sepi ke depannya. Aku belum bisa menerima kepergian kamu sepenuhnya, ketulusanku sebagai sahabatmu belum bisa memberikan kebahagiaan apapun untuk kamu, Haruka.” Ujar Melody.

            “Suatu saat waktu akan mempertemukan kita pada titik kedewasaan yang lebih dalam lagi. Asalkan saja itu takdir.”

            Dalam hati Melody, terukir sebuah penyesalan mengapa harus ada sebuah persahabatan yang mengisahkan dirinya dengan perempuan itu? Perempuan itu juga memang menganggap dirinya sahabat, bahkan lebih sering menghabiskan sisa-sisa waktunya. Tapi seutuhnya bukan takdir yang salah.

            Sepinya waktu yang harus dilewati semakin terasa dekat dan mengenalinya lebih dalam, Melody tak berhak untuk menghindarinya. Bagaimana pun takdir akan selalu hinggap di permukaan hidupnya, mengukir indah segala ketentuan yang pasti akan terjadi dalam hidupnya.

            Selamanya waktu takkan pernah berhenti berputar, selama itu pula Melody harus berusaha mati-matian bagaimana cara mengikhlaskan, meski kenyataannya ini menjadi sesuatu yang teramat menusuk baginya. Perpisahan itu mengalir lewat dinding waktu dan meresap lewat sepi yang mengendap.
***
            Saat kebersamaan tak lagi dirayakan dengan deras dan juga penuh kemeriahan, mengapa harus ada akhir yang menyudutkan salah satu pihak? Perpisahan itu wajar, tetapi sewajarnya perpisahan mengapa harus menghentikan kebersamaan yang telah mengalir?

            Waktu kelulusan semakin dekat dan keinginan untuk kuliah bersama itu semakin terlihat samar. Haruka yang menyadarinya, begitupun dengan Melody. Kini keduanya tengah duduk di bangku taman sekolah belakang, menikmati kebersamaan yang tersisa. Sesuatu yang seharusnya bisa dirasakan  itu kini akan melenyap di masa depan. Melody pun begitu, takkan pernah bisa menyusul Haruka ke luar negeri.

            “Moment demi moment yang telah kita rajut selama ini sudah terkunci dalam hatiku menjadi sebuah memori.” Haruka menghela nafas sejenak. “Dan perasaan yang telah kita tanam selama ini akan menghasilkan bibit baru, yang kutahu aku takkan pernah membiarkannya layu.”

            Melody masih termangu. Pikirannya masih tenggelam ke arah dimana hanya ada kebersamaan dan kebersamaan yang tercapai dalam sisa waktu ke belakang ini, yang pasti akan mengukir sebuah kenangan pada jendela ingatannya.

            “Walau aku gak selalu sempurna, tapi hanya kamu yang bisa nerima aku disini, Haruka. Hanya kamu sahabatku.” Ucap Melody dengan lemah, nafasnya terdengar lebih ritmis. Sementara pikirannya masih sibuk mengaduk-aduk harapan demi harapan untuk masa depan nanti, dimana hanya ada dirinya sendiri dan juga bayangannya.

            “Suatu saat aku akan menyempatkan waktu untuk bisa menikmati kebersamaan yang terasa sempit untuk kita.” Haruka tersenyum tipis, seolah ucapannya telah menjadi sebuah janji suci yang terukir indah di dalam hatinya. Haruka percaya akan hal waktu, dimana waktu akan memberikannya kekosongan dan selama itulah Haruka bisa menikmati kebersamaan dengan Melody.

            “Janji?” Melody menatap Haruka serius.

            Haruka mengangguk. “Iya, aku tak akan pernah menginginkan ada waktu kosong tanpa ada kehadiranmu disini, lagipula selama ini kita belum pernah membiarkan diri sendiri dalam waktu yang kosong, bukan?”

            “Apapun keputusan kamu, aku akan selalu mendukung kamu disini, meraihnya lewat doa. Disini aku akan menjadi seseorang yang kamu harapkan. Kamu ingin melihat aku jadi photographer kan? Suatu saat juga aku gak bakal pernah mau mengambil objek berisi perpisahan kayak kita, aku gak akan pernah mau akan itu.” Ucapnya penuh harap.

            “Thanks.”

            “Dan kamu akan menjadi diri kamu yang baru, yang mungkin akan lebih baik lagi jauh dari ini. Aku doakan itu.” Melody mengusap bahu Haruka dengan lembut.

            Haruka meraih tangan Melody. “Waktu akan menjadi pembatas untuk kita, tetapi kamu tidak perlu khawatir, Mel. Aku akan berusaha sebisa mungkin untuk tidak melupakanmu.”

            “Kenapa gak sekalian aja kamu lupain aku, Haruka?”

            Haruka menggeleng. “Gak, mustahil itu terjadi. Waktu yang menjadi pembatas kita akan terus mempererat persahabatan kita dan juga dalamnya ketulusanku untuk kamu. Semakin berputar, semakin dalam juga ketulusan ini.”

            Melody tersenyum senang. Ini adalah sesuatu yang bisa membuatnya melayang. Melody hanya memaksakan tersenyum, sementara jauh dari itu dirinya sedang berusaha mati-matian menahan sebuah tangisan yang membeku.

            “Kemanapun kamu melangkah, aku akan ada untuk kamu. Ya, meski aku hanya berbentuk sebuah bayangan yang tak pasti untuk kamu.”

            “Ketulusanmu membuat aku bisa memaknai hidup lebih jauh lagi dan lebih dari sebelumnya. Semoga kamu tetap menjadi yang terakhir untukku.” Ucap Haruka penuh harap.

            “Thanks.” Balasnya setengah lirih.
***

            Melody mengarahkan pandangannya untuk tetap memperhatikan langkah Haruka yang tertuju kepadanya. Ujian Nasional telah berhasil dilewatinya dan perpisahan itu semakin dekat dan semakin mulai terasa hawanya.

            “Ternyata ujian nasional itu mudah untuk kita lewati ya, Mel.” Ucap Haruka meminta persetujuan.

            Tanpa sadar, Melody semakin terhanyut dalam pikirannya. Di hari tua itu, Melody masih menyimpan harapan demi harapan yang tak mungkin dibiarkannya terkubur karena waktu. Akan diletakannya seutas keikhlasan sebagai penghias waktu untuk sebuah hati yang sedang bertengger pada kesendirian. Semoga saja Melody mampu melewati waktu yang cukup panjang itu, ya meski kenyataannya tanpa kebersamaan.

            “Iya, sekarang kita tinggal melewati ujian terberat. Rasanya aku gak bakal mampu.”

            “Ayo kita sebrangi, Mel!” Ucap Haruka dengan nada semangat, meski sebenarnya ragu akan ucapannya sendiri.

            “Aku mau pesen jus, kamu mau apa, Fy?” Tanyanya usai bangkit dari duduknya. Inilah kebiasaannya dari kecil. Melody dan Haruka sama-sama selalu menyempatkan diri untuk makan-makan bersama usai UAS, dan ini adalah Ujian terakhirnya di masa-masa SMA, masa dimana Haruka dan Melody harus menggadaikan kenangan yang ada pada garis waktu.

            Haruka berpikir sejenak. “Aku samain aja sama kamu, Mel.”

            “Oke, tunggu ya.”

            Kini Haruka sendiri pada diamnya, beberapa saat kemudian Melody pasti kembali membawa minuman yang tadi dipesan Haruka sesuai selera Haruka sendiri.

            “Andai kita gak pernah kenal ya, Mel. Mungkin takdir ini takkan pernah bisa membunuh hidup kamu, bahkan takdir ini juga terasa pahit untukku. Lebih tepatnya, takdir ini adalah ujian dunia yang harus aku lewati. Aku termotivasi akan hal ini, tapi tak seharusnya juga aku merasakan keasyikan di atas takdir ini.” Ujarnya. Tangisannya perlahan mulai pecah dan bermuara menjadi rangkaian nada yang berbaur dengan kata-katanya.

            Perlahan, Haruka memejamkan matanya sejenak. “Saat aku tak mampu melangkah, kamu pernah menyemangatiku, Mel. Saat aku tersesat di antara jalan-jalan menuju kebahagiaan untukku, kamu menunjukannya lewat cara dan kesederhanaanmu. Saat aku meneteskan air mataku, kamu menutupinya dengan sebuah canda yang kamu bahwa khusus untuk melarikan tangisan yang telah aku buat. Saat aku mampu menikmati waktu dengan kamu, kamu mampu mewarnai waktu yang  aku miliki. Dan kini, saat kepedihan dirayakan hati kita masing-masing, rasanya aku yang bersalah disini. Aku, Mel.”

            Tetesan demi tetesan semakin membasahi tangan Haruka yang diletakannya diatas meja. Haruka menengadah, berharap hujan turun hanya untuk menyamarkan matanya yang mulai terasa perih dan juga air mata yang terus mengalir pada kedua pipinya. Haruka tak bisa menahan laju geraknya, karena kepedihan itu akan terus mengendap di dalam hatinya.

            “Ketika kita tidak mampu untuk melangkah, kita saling memapah satu sama lain. Ketika kita terjatuh, kita saling membangkitkan satu sama lain. Ketika kebahagiaan sulit untuk kita rajut, kita mencarinya dalam bekunya waktu. Ketika perasaan kita egois, kita menenangkannya dengan sebuah keikhlasan dan penuh kesabaran, juga kedewasaan. Dan kini saatnya kepedihan yang kita rasakan, maka akulah yang merasa bersalah lagi. Aku lagi, Mel.” Tangisannya semakin berirama mewarnai kata-kata yang keluar dari mulutnya.

            Haruka menyeka air mata yang membasahi pipinya, tetapi air mata yang lain menyusulnya. “Masa lalu yang pernah kita lewati kini akan hadir suatu saat dalam ingatan kita, mengukir sebuah kenangan yang tak mungkin kita lupakan. Masa-masa sekarang menuju kelulusan, kita berusaha mati-matian menikmati kebersamaan yang tersisa. Dan masa depan yang pernah kita ceritakan selagi di bangku kelas, rasanya sudah lenyap menjadi sebuah bayangan.” Haruka tersenyum miris menyadari ucapannya sendiri.

            Saat tatapannya mengarah penuh kepada Melody, Haruka berusaha mati-matian menghapus sisa-sisa air matanya. Dari jauh, Melody terlihat pucat dan tidak bersemangat untuk berjalan menujunya, maka dari situlah Haruka bisa menemukan awal dari kerapuhan hidup Melody. Kini harapan tinggalah sebuah harapan.

            “Kamu nangis, Haruka-san?”

            Haruka menggeleng. “Tadi mataku terkena debu, tadi ada angin cukup besar. Kamu merasakannya?”
            “Kamu tidak perlu bohong, Haruka.”

            “Aku gak mungkin membohongi kamu, Mel. Aku takkan pernah ingin berbohong untuk hal-hal yang tidak berguna. Lagipula selama ini aku sudah berusaha menutupi kebohongan yang ada, bukan?”

            Melody mengangguk. “Aku tahu. Ini diminum dulu.” Kemudian Melody duduk kembali, menghadap ke arah Haruka sambil meneguk segelas jus.
***

            Setelah selesai menikmati kebersamaan yang cukup panjang, Haruka akhirnya meminta untuk pulang. Melody hanya menyetujuinya karena waktu memang sudah mulai sore, dan waktu sore itulah yang semakin menunjukkan jelas tanda keberadaan perpisahan itu. Ah, Melody harus melakukan sesuatu!

            Aku mau kamu gak jadi pergi dariku, tapi bagaimana aku bisa menolak itu? Aku juga gak mungkin menghalangi kamu buat menempuh cita-cita kamu, tapi bagaimana dengan aku yang nantinya bakal terikat perasaan ini selama beberapa tahun ke depan?

            “Ayo, berangkat.”

            Melody masih tercenung, tak mengindahkan perkataan Melody baru saja. Karena Melody pun tidak mungkin tidak memikirkan hal ini pada saat-saat mendekati itu terjadi.

            “Melody? Ayo berangkat.”

            Saat itu juga Melody mulai tersadar akan perkataan Haruka dan mulai melajukan mobilnya.

            Melody memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi, tentu saja saat ini Melody ingin melampiaskan segala kekesalannya karena takdir yang mematikan itu. Terlebih Melody ingin mencegah akan kepergian Haruka untuk melanjutkan study di luar negeri. Perpisahan yang tak pernah diinginkan itu harus menjadi sebuah kenyataan yang pahit untuk hidupnya. Sampai saat ini akan terus menjadi beban baginya.

            Sedangkan di sebelahnya, Haruka hanya berjaga-jaga diri. Haruka tahu mengapa Melody seperti ini, ini semua salah Haruka, tapi harus bagaimana lagi? Kedua orang tuanya menginginkan Haruka untuk menerima beasiswa itu, karena inilah kesempatan emas baginya. Disamping itu Haruka masih ragu untuk menjalankan hal tersebut, langkahnya saat ini memang tidak tentu arah.

            Semakin tinggi kecepatannya, semakin membuat Haruka ingin segera turun dari kendaraan milik Melody itu. Bagaimana tidak, Haruka pernah dibuat trauma karena pernah kecelakaan saat menggunakan motor dengan kecepatan tinggi dan hal itu membuat Haruka phobia akan kecepatan.

            “Melody, aku minta kamu berhenti untuk melakukan hal ini!” Pintanya dengan sedikit rasa takut yang ada pada dirinya sendiri.

            Sedangkan Melody yang sedang menyetir benar-benar tidak fokus terhadap jalanan, pikirannya masih sibuk akan hari-hari yang sudah tak terasa mendekati dirinya, hidupnya.

            Sampai kapanpun, kepahitan terbesar aku adalah saat dimana perasaan aku harus tertinggal disini karena dirinya, kehausan akan persahabatan dan cerita kita.

            Kejadian demi kejadian kini terputar menjadi sebuah peristiwa yang terekam dalam memori pikiran Melody.

            “Melody! Aku turun disini aja, aku takut.” Keluh Haruka dengan menampakkan wajah ketakutannya.

            Tetap saja Melody tak mendengarnya, karena sebuah rekaman dalam ruang pikirannya masih terputar.

            Harusnya kita tidak pernah berada dalam satu team, harusnya kita tidak pernah menjadi seseorang yang saling membutuhkan satu sama lain. Harusnya persahabatan itu tidak pernah ada.

            “MELODYYY!” Teriak Haruka karena kesal.

            Saking kesalnya, Haruka segera merenggut setir guna mengalihkan arah laju mobil yang mengarah ke sekitar perkebunan. Saat itu juga Melody mulai sadar. Namun sayangnya, kesadaran Melody hanya beberapa saat saja karena setelahnya hanya ada serangkaian peristiwa buruk yang menimpanya.

            Kini kejadian itu telah terjadi. Tadi, dari arah yang berlawanan sebuah mobil truk sedang membawa barang bawaannya, namun supir truk tersebut terlihat seperti mabuk dan hilang kesadaran. Kini yang terlihat hanyalah keduanya yang masih tak sadarkan diri.

            Beberapa menit ke depannya Melody tersadar dan segera membawa Haruka ke rumah sakit tanpa memperdulikan darah yang masih mengalir segar di dahinya.
***

            “Jadi maksud dokter, Haruka sudah tidak bisa diselamatkan lagi?” Tanya Melody tak percaya. Saat itu juga air mata mulai mengiringi kekacauan dirinya.

            Tadi dokter sudah menolong Haruka dengan alat penghentak jantung, namun Haruka tetap saja seperti semula sampai dokter memutuskan untuk mengabarkan hal ini kepada Melody. Dan kini Melody benar-benar terpukul akan hal ini.

            Melody mulai berlari menuju ruangan dimana raga Haruka sudah terbaring dalam keadaan tak bernyawa. Sangat disayangkan, perempuan yang hendak melanjutkan kuliahnya di luar negeri kini harus melanjutkan hidupnya ke alam lain.

            “Haruka, ini gak lucu! Kamu harus jujur sama aku, kamu masih hidup kan? Kamu cuma pengen aku nangis kan, Haruka?” Melody mendesak Haruka, namun yang didapatkannya hanya sebuah kebisuan.

            “Kamu bilang, kalau kamu gak akan pergi untuk selamanya! Harusnya kamu bilang sama aku kalau kamu datang hanya untuk pergi. Harusnya kamu bilang dari awal sebelum aku menjadikan persahabatan sebagai landasan cerita kita, sebelum akhirnya aku memilih untuk selalu menikmati kebersamaan bareng kamu, yah tepatnya sebelum aku benar-benar serius untuk menjalani kita di dalam hidup antara kamu dan aku.” Nada bicaranya mendadak melemah, Melody sudah menyadari kepergian perempuan itu.

            “Aku gak akan beranjak pergi dari sini barang selangkah pun sebelum kamu hidup kembali. Kamu denger aku kan, Haruka? Kamu denger aku, kan?!!” Tanyanya litotes.

            “Aku bakal lebih merasakan kerinduan yang dalam buat kamu, dimana saat-saat musim dingin kita lebih menghabiskan waktu untuk belajar bersama di rumah, Haruka. Aku… kangen itu.”

            “Saat kamu pergi dari sekarang, aku akan kembali bersama siapa nanti? Saat ada sebuah acara reuni untuk teman-teman sekelas maupun seangkatan kita, dengan siapa lagi aku bakal saling bertukar cerita? Dengan bayanganmu? Atau aku mendadak jadi orang gila yang hanya ngomong sendiri? Itu gak mudah. Aku masih ingin bersahabat denganmu, menikmati hidup denganmu juga.”

            “Tapi aku cukup sadar, kamu hanya datang untuk pergi.”

            Melody pun segera berlari keluar area rumah sakit, membiarkan raga Haruka terbaring disana sampai keluarga Haruka datang. Tadi Melody sempat mengabarinya. Keluarga Haruka tidak marah, hanya saja menyesali kejadian ini. Mereka hanya pasrah akan takdir ini.
***

            Hari perpisahan telah tiba. Tentu saja pengumuman lulusan terbaik pun akan diumumkan. Melody tampak tak bersemangat, yang ada dirinya hanya ingin mati saja untuk saat ini.

            Saat pengumuman lulusan terbaik diraih atas nama Haruka Nakagawa, perasaan bangga benar-benar membuncah dalam diri Melody. Namun sampai saat ini, orang itu takkan pernah bisa dijumpainya sampai kapanpun.

            “Yang aku tahu, untuk saat ini ke depannya aku gak bakal pernah bertemu lagi dengan kamu yang selalu bersinar di hari-hari aku sebelumnya. Semua salah aku, Haruka.”

“Suatu saat aku kembali ke sini hanya untuk mengingat kenangan yang tak mudah untuk kulupakan, Haruka.” Ucapnya pelan usai turun dari panggung.

            “Dan bagi aku, melupakan kamu adalah sesuatu yang tak pernah aku inginkan. Bagi aku melupakanmu hanyalah sebuah kemustahilan.”

            “Aku menyesal, harusnya kamu melanjutkan pendidikan kamu. Tapi karena aku, kamu harus meneruskan hidup kamu ke alam lain. Aku tahu, Haruka, aku salah. Bahkan aku sangat bersalah karena telah meniadakan kehadiran kamu di samping aku yang tinggal beberapa saat lagi. Tapi, harusnya kamu tahu bagaimana besar perasaanku saat aku tahu kalau kamu harus pergi. Itu yang membuat aku gak sanggup buat sendiri.”

            Dengan mood yang cukup tinggi, akhirnya Melody meminta untuk menampilkan sebuah penampilan khusus dari dirinya.

            Melody mulai bernyanyi, membawakan sebuah lagu yang sangat pas dengan keadaan hatinya saat ini. Perasaannya tercampur aduk saat pikirannya mulai menerjemahkan bait lirik demi lirik yang termuat dalam lagu yang dibawakannya. Lagu yang mengusung tema kepergian itu benar-benar membuat perasaannya break! Menghempaskan ingatannya pada hamparan kebahagiaan yang telah menjadi seberkas kenangan

Suara tepuk tangan yang meriah dari para pendengar usai dirinya bernyanyi, membuat Melody yakin bahwa kehilangan seseorang yang disayangi itu menjadi awal dari langkah barunya tanpa kebersamaan yang indah lagi. Inilah dimana Melody harus lebih menjadi dewasa, meski kini tak ada lagi kehadiran seorang Haruka yang dulu pernah mengisi hatinya.

            “Suatu saat berjanjilah untuk kembali kesini, Haruka. Aku mohon…” Pintanya untuk yang terakhir kalinya
***

Hallo gimana cerpennya? Ehehe, maaf ya kalau ada typo atau mungkin alur kurang jelas dan sebagainya. Gomen nasai :v



Tidak ada komentar:

Posting Komentar