Sabtu, 12 April 2014

Last Wish

Hallo sobat blogger, setelah pusing-pusing mau post apa, akhirnya saya memilih untuk posting cerpen terbaru saya. Hihi, happy reading ya!

***

            Aku terduduk dengan sabar pada salah satu kursi yang terdapat di café yang menimalis ini. Perasaanku resah, terlalu banyak kegelisahan yang siap tempur dengan pemikiranku saat ini. Terlebih lagi, seolah saat ini mulutku kaku untuk mengeluarkan berbagai semprotan pedas yang seharusnya sudah mengisi indera pendengaran orang yang aku tuju, mendarat dengan mulus tanpa isyarat.

            Mataku mengedar ke sekeliling, menyaksikan suasana café malam yang dikunjungi berpasang-pasang orang, sebagian dari mereka memilh untuk menempati tempat ini dengan keluarganya. Aku sendiri datang ke tempat ini karena sebuah undangan, yang tak jelas pasti arah dan tujuannya. Tanganku gemetaran, suasana dingin masih menyergap tubuhku yang terbalut dress putih selutut.

            Di depanku, seorang pria yang usianya setahun lebih tinggi daripada aku sedang mengarahkan pandangannya ke arah sebuah kertas yang menampilkan list sajian yang terdapat dalam café ini. Ah, aku tahu, dia hanya berpura-pura menyimak isinya demi menghindari kontak mataku. Aku sendiri bingung, bagaimana aku memulainya. Toh, dia yang mengajakku kesini, sedangkan dia sendiri tidak bersikap tegas.

            “Jadi, lo mau ngomong apa? Gue udah datang kesini, bela-belain nerobos hujan, kedinginan juga, terus lo cuma bisa diam aja? Gak ngehargai gue yang berjuang demi permintaan lo?” Bentakku, setelah sebelumnya dengan sukses merenggut kertas kecil berisi list sajian yang terdapat disini.

            Matanya menajam, seolah menegaskan tidak menyukai sikapku. Tapi, dia takkan pernah tahu pemicu semuanya, dia tidak akan pernah mengerti penyebabnya dan dia juga tidak akan pernah tahu bagaimana proses yang terjadi menempuh sikap baru yang terjadi pada diriku. Dia takkan pernah mampu mengetahui isi pikiranku, termasuk hati aku juga. Dia, seseorang yang sangat aku benci.

            Tapi, dengan bodohnya aku menyetujui ajakannya untuk datang ke café ini, dia hanya berkata bahwa ini penting. Lalu, bagian mana yang dia sebut sebagai penting, sedangkan di antara kami berdua saja hanya terisi keheningan. Bahkan, beberapa kali aku menggeser kursiku ke belakang, sedikit menjauh dari meja, meski aku dengan dia mengambil posisi duduk berhadapan.

            “Aku mengajak kamu kesini hanya, hanya,”

            “Hanya ingin buat gue tambah kesel, tambah benci, tambah muak, tambah gak suka sama lo, tambah keinginan agar lo cepet lenyap dari kehidupan gue, tambah pikiran gue makin kacau dan tambah keadaan gue makin parah dan hancur lebur, iya?” Aku meradang ke arahnya, ucapanku tak ada puasnya untuk terus menghina, mencaci dan menjatuhkannya tepat di depanku.

            Sesaat dia hanya terdiam. Dia adalah sosok laki-laki yang kurang setengah ons perasaannya, atau mungkin kurang beberapa dari target. Yang aku kenali dulu, iya dulu sebelum semuanya terjadi, dia adalah sosok yang bisa mengertikan setiap keadaanku. Dia juga sosok pertama yang mampu meluluhlantakan keadaanku. Semuanya hancur karena dia.

            Aku terlalu benci, rasanya perasaan benci ini terlalu lama bertahan, menyamarkan perasaan yang dulu sempat termiliki dan mutlak tidak mendapat balasan barang nol koma satu persen pun. Faktanya, aku hanyalah sosok yang tak pernah ada dalam rangsangan indera penglihatannya, aku adalah sosok gaib yang tak diketahui keberadaannya dan hati aku hanyalah sebuah sampah yang mengukir jalanan, hingga menampilkan sosok hina.

            Beberapa saat kemudian, dia membenarkan posisi duduknya. Ah, tidak, dia hanya memajukan letak kursinya sedikit lebih maju. Dan, dan tanpa kuketahui sebelumnya, tangannya memegang kuat kedua tanganku. Detik demi detik aku terpekur dalam suasana itu, pikiranku terlalu larut dalam keindahannya.

            “Eh,” Dengan paksa aku melepaskan tanganku dari pegangannya. “Ngapain lo pegang-pegang gue sih?” Tanyaku dengan itonasi tinggi, seraya menatap sinis ke arahnya.

            “Salah ya?”

            “Bagi gue, mungkin gak ada hak buat nyentuh tangan lo sedikit pun karena lo bukan milik gue. Sedangkan bagi lo, mungkin itu dosa karena lo udah ada yang memiliki.” Aku meremas tissue dengan kuat, tentu tanpa sepengetahuannya.

            Untuk yang ke sekian kalinya, aku tidak ingin terjebak lagi dalam perasaan yang sama, dan aku tidak ingin lagi merasakan kehadiran ‘hal kecil’ itu yang membawa pengaruh besar untuk hidupku. Tak heran setelah aku terjebak pertama kalinya, aku terlelap dalam keidahannya dan nyatanya aku terjerumus ke dalam keperihan yang didapat dari rasa itu juga.

            “Sekarang lo jelasin, ngapain lo ngajak gue kesini?” Aku mendesaknya, beriringan dengan tangan kananku yang menggebrak meja. Sebisa mungkin aku bersikap biasa saja ketika semua perhatian mengarah kepadaku, dan juga laki-laki itu.

            Semua orang akan menyaksikan alur yang terjadi antara kami saat ini. Pandanganku lalu beradu dengan tatapannya. Rio, dia sedang memperhatikanku rupanya. Tanpa tahu pasti, aku lebih lama memandangnya, sampai sebuah deheman menyadarkanku.

            Dia menghela nafas, kemudian segera menyiapkan semuanya. “Aku datang kesini tidak lain hanya untuk menjelaskan tentang hubungan,”

            “Hubungan antara gue sama lo itu gak berarti, toh gue udah mulai terbiasa kan dengan semuanya? Gue terbiasa karena gue terlalu ikhlas melepaskan semuanya, tanpa campur tangan siapapun. Gue sendiri berdiri, melangkah dan berjalan dengan sendirian. Gue sendiri juga yang berjuang mati-matian melawan semuanya, sementara lo? Nothing.” Ujarku santai.

            Dalam hati, aku hanya tertawa penuh kepuasan. Siapa sangka ucapanku dengan sempurna mengunci tubuhnya, tatapannya terlihat kacau dan wajahnya positif kusut! Haha.

            “Ngomong dong ngomong, dulu aja lo kebiasaan ngomong kan? Dulu aja lo orang yang type ceria banget kan? Sesuka lo melangkah bareng temen sekelas lo, semau lo juga ngabisin waktu dengan cara-cara yang berbeda, dan setega-teganya lo juga gak nganggap gue sampai dulu gue lebih memilih bungkam saat gue bertemu lo. Ter–“

            “Terus kamu bermaksud membalas semuanya, membalikkan rasa sakit yang pernah ada melepaskan segala kemungkinan yang ada dalam pikiranku?” Potongnya dengan cepat, pandangannya menjurus kepadaku.

            Sebisa mungkin aku menghindari tatapan itu, tatapan yang dulu menyejukkan dan mampu meluluhkan keadaanku, menenangkan hatiku juga. Tapi, belakangan ini aku hanya memberi cap tatapan itu sebagai tatapan pembius, memberi hawa sejuk dengan gimmick kobaran api yang tersimpan.

            Dia terdiam untuk beberapa saat, ujung jarinya bergerak mengikuti irama musik yang mengalun. Tatapannya mengarah ke luar, menyaksikan hujan yang masih membawa atmosfer dingin bagi mereka –termasuk aku– yang berada di belahan muka bumi ini.

            “Gue gak maksud dendam sama lo, gue gak ada maksud ngebales semuanya. Gue cuma gak mau terlihat lemah untuk yang ke sekian kalinya. Gue juga punya hati, dan hati gue bukanlah botol plastik yang bisa seenaknya lo remukan!” Nyatanya, keinginanku untuk mencacinya dengan bengis cukup tinggi.

            Keadaan yang benar-benar bersahabat, dia terdiam untuk ke sekian kalinya dan aku dengan fasih mampu menyindir, mencaci, menghujaminya dengan serangan ganas dan spicy, bahkan udaranya benar-benar panas. Aku tidak memperdulikannya, toh dia juga dulu tidak pernah memperdulikanku. Jangankan perduli, mengetahui bagaimana keadaanku saja dia tidak pernah.

            “Terus apa maksudnya kamu ngejudge aku tanpa dasar, kamu memaki aku sesuka hatimu dan kamu lebih banyak mengeluarkan kata-kata kasar gak berguna seperti itu. Apa itu bukan dendam?” Tanyanya, seolah ingin memenangkan dari pertandingan tak berharga ini. Aku tersenyum miris mendengarnya.

            “Cara lo lucu tahu gak. Ucapan lo kedengarannya berlogat formal, sementara sikap lo bejat! Wajah lo saat ini terlihat tertembis, sementara hati lo telettubies. Ciut bener.” Selanjutnya aku lupa lagi tentang apa yang akan kukatakan, beberapa kata yang telah tersusun sebelumnya terlepas begitu saja dari ingatanku, semua karena aku terlalu naik pitam.

            Wajahnya nyaris berkaca-kaca, bahkan mungkin tidak lama lagi akan menimbulkan bunyi isakan yang keras. Tapi aku yakin, dia mampu beradaptasi dengan lingkungannya saat ini, alhasil yang aku tahu dia hanya menangis dalam hati. Itulah salah satu yang aku tangkap tentang sosok pria berhati telettubies itu.

            “Gue mau nanya, tolong lo jawab setegas-tegasnya. Maksud lo ngajak gue kesini mau ngapain? Sedangkan lo sendiri bungkam sejak tadi.” Dia terlihat jengah. “Oke oke lo tadi ngomong, ngeladenin ucapan gue. Kalau lo nyerah, lebih baik lo pulang sekarang aja, Yo. Nanti cewek lo itu, siapa tuh, oh iya si Dea-dea itu nyari lo. Kan kasihan.”

            “Fy,” Dia terlihat menyerah.

        Aku menghindari tatapannya, aku terlalu fleksibilitas. Diam-diam, aku memperhatikan perlakuannya setelah mengalihkan tatapannya kepada jus yang tertuang dalam gelas timpus berukuran sedang itu. Diminumnya jus pesanannya, sementara aku enggan menghabiskan jus yang aku pesan di depan orang itu.

            “Apaan? Lo mau jelasin panjang lebar juga gak ngaruh kok buat gue, mau lo gini gitu juga gak bakalan ngebuat pikiran gue terkoyak. Jadi intinya, gue terlalu mudah menerima hal yang baru sebenarnya, Yo.” Balasku dengan cepat, tanpa ada sedikit pun niat untuk meluangkan waktu kepadanya, mengerti keinginannya atau sekedar meresapi perasaannya. Apalagi jika harus menuruti keinginan terbesarku.

Tahu betul, saat ini dia sedang berharap aku kembali kepadanya, menjadi miliknya seutuhnya tanpa syarat. Lalu dengan semudah itu juga pikiranku tertarik oleh ucapannya? Sepicik itu juga caranya, memintaku kembali menjadi miliknya dan kembali melangkah bersama? Delusi yang mengisi pikiranku terlalu tinggi.

            “Oke, aku jelaskan maksud aku mengajak kamu kesini.” Nada bicaranya berubah menjadi serius, lalu tatapannya menyorot lurus ke arahku. “Aku hanya ingin mengajakmu,”

            “Gue gak sudi!!! Ngerti?”

            Dia menghela nafas lelah, aku hanya menggeleng ke arahnya dengan tegas. Tidak ada sedikitpun keinginan untuk mengerti dengan apa yang dipikirkannya. Jika memang dia menginginkanku mengertikan pikirannya, lalu kemana dia saat aku masih ada dalam hubungan yang masih terjalin beberapa waktu yang lalu?

            Aku ingin mengungkap bagaimana sakit yang dulu pernah aku rasakan, aku ingin dia tahu dan mengerti keberadaanku saat dia lebih memilih untuk berjalan dengan teman-teman sekelasnya daripada aku yang lebih penting dari kata ‘teman’. Tapi, aku tidak berhak untuk melarangnya, dengan begitu aku harus mengikhlaskan segala perasaan yang berkemungkinan ada.

            Walau nyatanya aku sangat ingin melihatnya, bercengkerama tentang keseharian yang terjadi antara kami, membunuh waktu yang terus bergulir di samping kita, menyaksikan matahari terbenam hingga senja menjemput, menikmati senyum bersama, tertawa dengan penuh arti dan menjalani semuanya dengan penuh kebahagiaan. Tapi, kuyakini itu hanyalah dulu. Mutlak keinginanku dulu.

            Mana sosok dia yang berjanji akan menjadi selimut saat dingin datang menyergapku? Mana sosok Rio yang katanya akan menjadi penenang saat kekacauan mengisi hidupku? Mana sosok Rio yang lebih memilih setia, melangkah bersamaku daripada membelakangiku, lalu berjalan pergi dengan santai? Mana, mana? Semuanya hanya menemukanku dengan titik harapan tinggi, tak jelas kemana dia mengarah. Hanya impian semata yang akan mendramakannya.

            “Ify,”

            “Apalagi, Yo? Gue gak mau lagi kayak dulu, gue terlalu sakit kalau terus-terusan nahan semuanya. Sekarang udah jelas kan, masing-masing di antara kita harus ada yang merasakan sakit demi mengarahkan kita ke arah yang lebih baik lagi. Dan itu gue, yang lebih memilih mundur dari kata kita, lalu berlalu menjadi sosok aku tanpa kata kita.” Terus terang, aku lebih memilih untuk mengakhiri pertemuan ini daripada menceritakan hal-hal yang mengait masa lalu.

            Bagiku terlalu sulit melupakan semuanya, memberlalukan segala kejadian sampai munculnya sakit itu di dasar hati. Aku terlalu lemah saat itu, terjatuh dengan mudah di belakangnya. Kemudian berpura-pura ceria di depannya, seolah aku telah menjadi sosok perempuan yang sok tegar. Aku tidak bisa membohongi hati kecilku, tapi ini yang terbaik.

            Rio masih terdiam, terlihat seolah masih mencerna kata-kata yang masih hangat memenuhi telinganya. Sementara aku mati-matian menahan air mata, sekuat mungkin aku menggigit bibir. Aku tidak ingin terlihat lemah untuk yang ke sekian kalinya, dan aku tidak ingin lagi menjadi sosok yang tidak bisa memperjuangkan perasaan sendiri.

            “Dulu hati aku remuk, dan kamu pelakunya. Dulu air mataku dengan mudah meluncur bebas, dan kamu alasannya. Dulu aku terlalu bahagia memiliki perasaan itu, kamu juga pemicunya. Sekarang? Hati aku mengeras, hati aku tertutup, hati aku tidak mudah untuk kamu masuki lagi, semua alasan ada pada dirimu.” Ucapku, seraya memperhalus gaya ucapanku. Sedikit lebih lirih.

            “Maafkan aku, Fy. Dulu kamu tidak pernah memberi tahu aku, kamu terlalu baik. Kamu juga tidak pernah menegurku,”

            “Cukup! Jangan salahkan gue, lo kan udah dewasa, Yo. Dan lo juga bisa mengontrol diri lo saat itu kalau lo masih bisa sadar dan menganggap keberadaan gue. Tapi itu dulu, dulu ya dulu, bukan sekarang. Sekarang, gue lebih memilih berlalu dari lo dengan senang hati.” Aku tersenyum simpul ke arahnya.

            Rio bungkam, tampak menyesali ucapannya sendiri. Tapi segalanya telah mengudara, semuanya telah menjadi sebuah kenyataan, semuanya bukan lagi sebuah telapak tangan yang mudah dibalikkan, semuanya memiliki kesan ‘nasi sudah menjadi bubur’ dan tidak mungkin bubur kembali menjadi nasi.

            Aku bangkit, seraya menatap lekat ke arahnya. Dia terlihat lebih menyesali dirinya sendiri, lebih menyalahkan dirinya sendiri dengan cara memukul-mukul tangan kanannya sendiri meski diluar kesadarannya.

            “Gue bukan lagi milik lo.” Ucapku selanjutnya.

            Saat aku memutar badan, Rio menggenggam tanganku dengan kuat, seolah tidak ingin merasakan kehilangan yang ke sekian kalinya. Dia menggeleng kuat saat aku memilih untuk mengarahkan kepalaku ke arahnya. Aku mencoba menatapnya, hanya untuk kali ini saja, sebelum aku sungguh-sungguh berniat menjauh dan menghindari dirinya.

            “Tapi perasaanku untukmu masih ada. Kamu harus mengerti juga bagaimana aku berusaha menghilangkan perasaan itu, kamu harus meresapi segala keinginanku.” Ujarnya seraya merengek.

            Aku tertawa renyah. “Terus-terus, setelah gue nurut lagi untuk kedua kalinya, dengan mudah lo lakuin lagi hal yang gak berguna itu? Kita udah pernah melewati semuanya dengan mata terbuka, dengan kesadaran kita juga. Dan telah ada banyak kata maaf untuk kita berdua, tapi dulu. Sekarang hanya tinggal lo dan gue.”

            “Tapi, Fy?”

            “Apa lagi?” Aku menatapnya menyeluruh, menyaksikan pahatan-pahatan sempurna yang terukir dalam wajahnya.

            “Peluk gue.” Pintanya seraya merentangkan kedua tangannya.

            PLAK! Aku menamparnya sekeras mungkin. “Ini balasan yang setimpal buat orang seukuran lo, bukan sebuah pelukan. Justru itu akan ngebuat perasaan lo sedikit lebih tenang, sementara gue nantinya akan menyesal karena ini. Gue udah membulatkan tekad gue buat menjauh dari lo, jadi gue minta jangan lagi nampakin diri lo di hidup gue. Bye.” Aku memutar badanku, lalu melangkah dengan perlahan meski sebenarnya sedikit tidak mengikhlaskan semuanya.


            Hari ini aku lebih lancar untuk mengutarakan maksud hatiku. Hari ini juga yang menjadi saksi berakhirnya kontak antara aku dan dirinya, dan tentang esok dan seterusnya hanya Tuhan yang tahu. Aku hanya akan berusaha sebisa mungkin menjadi yang terbaik.

***

Berikan komentar selayaknya, apabila ada sanggahan silakan ketik di komom komentar seperlunya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar