Rabu, 09 April 2014

Idolicious #ProyekMenulis

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Proyek Menulis Letters of Happiness: Share your happiness with The Bay Bali & Get discovered!


Happy Reading guys! Enjoy it!

***


            Dia terduduk dengan menggeser titik kulminasi kepalanya ke bawah, peluh dingin seakan menegaskan tak ada keberanian yang menjadi pesiapannya saat itu, meresapi suasana pantai di atas panggung. Gitar electric dengan sentuhan merah masih berada dalam genggamannya, dengan sedikit corak-corak putih di badan gitar itu membuatnya semakin berkarisma saat memegangnya. Bilamana suara itu mengalun melodious, itu hal biasa. Tetapi, performance yang berlangsung itu menarik banyak hati.

            Sebuah penampilan yang mempertemukanku dengannya hari ini. Ralat, hanya aku yang menemukannya dari sini, dari deretan kursi penonton yang dipenuhi orang-orang yang terus bersorak, sebagian dari mereka menyerukan namanya –seakan mereka terlihat condong ingatan. Pikiranku berusaha merekam suasana ini, seolah ini telah melekat dengan lengket dalam ingatanku. Tetapi, aku tidak menginginkan ini tergelincir menjadi sebuah reminisensi. Hal itu akan membuatku terpaksa terperangkap di antara kerinduan.

            Suaranya belum melengking di udara. Semua orang mungkin akan meyakininya, dia takkan menyumbangkan sebuah nyanyian dengan suara minor. Namun, aku belum memastikan tentang gemeletap yang menjejak disini, tempat segala perasaan berpusat. Detak jantung ini seakan bergemelentam, mengalir tanpa irama dan enggan memberikan diksi. Kupastikan, ini bukan suasana biasa. Sepertinya, aku telah merasakan itu, sesuatu yang terasa asing bagiku.

            “Rena, ini lama sekali. Kapan seorang Stevant Algrio Luxeria akan melangsungkan penampilannya? Lihatlah, beberapa menit terbuang! Daripada seperti ini, aku lebih memilih untuk berlalu dan menikmati suasana The Bay Bali!” Keluh Alyssa, yang membuatku terpaksa harus mengalihkan pandangan.

            Tangannya mengail erat di tanganku, aku tak kuasa menolaknya. Barangkali ada sebuah tenaga yang bisa kusalurkan untuk menolaknya, hatiku seolah memilih untuk menikmati penampilan sosok itu, daripada meninggalkannya. Tetapi, aku takut ucapanku melencang jauh, mengucapkan butir-butir swakontradiksi tak berarah.

            Dengan lirih, aku mengukir sebuah senyuman yang menghias pahatan wajahku. Kepalaku ikut menggeleng. Tak dapat kupingkiri, Alyssa hanya memajukan bibirnya ke depan. Tetapi perempuan itu terlalu menggemaskan. Aku hanya bisa bersyukur, memiliki seorang sahabat yang mampu membaca suasana hatiku, yang bisa menyerap pikiranku dan tentu menyempurnakan langkahku. Kebahagiaan yang menurutku tidak bisa dimiliki semua orang yang seukuran denganku.

            Setelah berlalu dariku, Alyssa sibuk memainkan pasir pantai yang terlihat putih dan bersih. Tubuhnya lebih memilih posisi jongkok, daripada duduk. Tak ada sedikit pun iritabilitas yang bereaksi ketika beberapa pandangan yang berlalu di sekitarnya lebih memilih mengarahkan pandangan mereka ke arahnya. Beberapa detik selanjutnya, tawa renyahnya mengisi indera pendengaranku. Aku dengannya hanya terpaut jarak beberapa meter.

            Buru-buru kualihkan tatapanku kepada sosok itu lagi, mungkin sosok itu pula yang akan mengukir kebahagiaan baru untukku. Tetapi aku masih enggan menerima kenyataan yang terasa hambar ini, bagaimana pun perbedaan yang mengisi kisahku terlihat nyata. Diam-diam, aku sedikit mencuri suaranya untuk kurekam dalam memori ingatanku.

            “Eh, keren ya,” Tak kusadari, Alyssa sudah mendaratkan dirinya pada kursi kosong di sebelahku. Manik matanya terlihat lebih bersinar, seolah mendapatkan cahaya yang panjang; cahaya yang mengisi penuh ruang penglihatannya.

            Aku tersenyum untuk beberapa saat. Satu lagi kebahagiaan terisi, aku menemukan sosok itu meski kenyataannya sosok itu tak menemukanku di dalam keramaian berlatar senja itu. Masih sibuk kumainkan pikiranku untuk menjamah sisi-sisi kesempurnaan yang terpahat dalam wajah sosok itu.

            “Stevant Algrio Luxeria, namanya mewakili sisi kesempurnaan yang menjalar pada hidupnya. Langkah hidupnya tersukseskan kemampuannya, pahatan kesempurnaannya tergaris pada wajahnya dan takdirnya terukir indah dalam keabadian. Berbagai kesempurnaan mengalir di dinding-dinding kehidupannya.” Gumamku, sedikit bermajas. Tatapanku masih mengarah lurus kepadanya. Dia mulai tersenyum canggung, sesaat penampilan keduanya akan segera berlangsung.

            Hal yang kuharapkan saat ini adalah mampu menjabat erat tangannya, merekam segala sentuhan yang kupastikan akan menggetarkan lorong-lorong sepi dalam jiwaku. Namun kenyataan pahit memecah senyumanku, kalung abadi itu seolah menghalangiku. Itu yang membedakan takdirku dengannya.

            “Selamat menikmati suasana pantai untuk kalian semua. Saya akan membawakan lagu berikutnya. Lagu ini tematik dengan kehidupan, dan ini adalah ciptaan saya sendiri.” Dia tersenyum ketika mengakhiri ucapannya, yang disusul dengan petikan gitar pada nada pertama. Semua orang di sekitarku masih sibuk bersorak, sementara aku hanya bisa terpukau saat merekam wajahnya.

            Sedetik pun takkan terlupa, hingga masuk pada tahap menit yang merekam setiap pelukisan takdir yang memenuhi hidupnya. Satu jam pun takkan terlewati, hingga masuk pada hari berikutnya, melabuhkan kejadian ini pada dermaga ingatanku. Sampai setahun pun takkan kuikhlaskan hal ini berlalu dari memori otakku.

            Kini, dia telah merombak struktur hidupku yang dulu. Aku menyunggingkan senyuman lebar, mewakili makna terbesar yang menyawai suasana saat ini. Senja menampakkan taburan warna jingga, seolah mengisyaratkanku untuk tetap menjadi seorang spiriter. Lukisan sempurna yang disertasi garis takdirnya seolah mengingatkanku, dibalik pertemuan itu menunda kebersamaan. Entah untuk kapan.

            Lamunanku geger seketika, terbuyar karena seruan Alyssa. Membuat garis khayalku terhapus dan aku tak mampu meneruskan jejaknya. Ketika tatapanku menubruk objek itu, hasratku seakan melebihi pikiranku, aku ingin mengenalnya lebih dari sebatas perkenalan. Aku takkan menyerah, firasatku untuk bisa bersamanya menggantung nyata di puncak pikiranku. Aku yakin itu.

            Aku terdiam kembali, hingga sentilan di hidungku mengusik keasyikanku. Ternyata pelakunya Alyssa. Decakan yang mewakili kekesalanku membuat gelak tawanya semakin menggema, dan itu jelas membuatku ingin berlalu dari waktu sempit ini.

            Poniku terbenahi angin yang melaju di depanku, kecepatannya membuatku kembali menyelami alam bawah sadar. Aku masih disini, menanti harapan itu. Secara perlahan rasa itu mulai memenuhi hati. Semakin wajah dan suara melodiousnya terekam lama, semakin sering pula desiran ini menggeru hebat.

            Satu persatu kulalui cara untuk menikmati waktu sempit ini, waktu yang –mungkin– takkan terulang lagi. Suasana pantai The Bay Bali, deburan ombak, kilauan biru antara langit dan lautan, burung laying-layang putih, semua itu seolah menjadi saksi bisu tumbuhnya perasaan itu.

            “Haha, jangan cemberut seperti itu, dong, Ren. Lain waktu, kita akan bertemu lagi dengannya!” Ucap Alyssa. Benar saja, perempuan itu selalu tepat sasaran saat menerka pikiranku. Senyuman kecil terpatri di bibir mungilnya.

            Tak dapat kupingkiri, aku merasa sentimental setelah melewati waktu ini. Waktu yang terasa sebentar bagiku, berlalu menuju ke pergantian waktu senja. Dalam hati, aku hanya bisa pasrah meski sedikit tidak mengikhlaskan hal ini.

            “Kenapa, Sa?” Tanyaku pelan.

            Sekarang, giliran Alyssa yang mengumpatkan keraguan itu dalam hatinya. “Tapi maaf ya kalau lancang, kamu tidak menginginkan hari ini berakhir, kan?”

            Aku mengangguk lesu. “Tetapi, semua memang sudah tertulis dalam waktu. Sudah terjadwal sesuai keinginan dia, aku tahu itu.”

            Sekarang, aku dan Alyssa mulai berlalu dari deretan kursi penonton. Aku lebih memilih untuk menggeser aktivitasku yang sudah terjadwal. Kuikhlaskan hanya untuk menenangkan degupan kecil ini, tetap berdesir dalam ukiran sederhana itu; sesederhana aku menemukannya.

Lahir kebahagiaan tersendiri ketika aku mampu menemukannya. Tatapannya dan senyuman maut itu seolah menarikku untuk masuk ke dalam lubuk hatinya. Apa aku terlalu posesif? Rasanya tak terikat dengan hakikat hidup, aku hanya mengaguminya. Mungkin. Lahir kebahagiaan kecil ketika perasaan ini telah menjamah hati, tetapi aku dengannya terlalu terjaraki perbedaan. Biarkan aku menikmatinya, walau kadang sebuah fatamorgana takkan pernah terlepas dalam pikiranku.

            Beberapa hari berlalu. Aku masih berada di areal The Bay Bali. Liburan masih tersisa beberapa hari lagi. Tetapi aku terlihat berbeda, apalagi mengingat beberapa hari ini aku terkena serangan agripnia. Pikiran lemahku dipicu oleh bayangan yang takkan mungkin kuraih seutuhnya, bahkan kalung itu masih melingkar nyaman di lehernya. Aku ingin meminta dia melepaskannya, namun aku hanyalah objek yang tak kasat mata baginya. Tak lebih seperti mengharapkan sebuah fatamorgana di gurun yang kering dan tandus. Sepi tanpa irama.

            “Eh, ternyata Stevant masih berlibur disini ya? Wah.” Alyssa berseru dengan itonasi riang, pandanganku teralihkan mengikuti arah pandang perempuan itu. Perkataannya tak pernah menyimpang, tak pernah terhias sebuah kebohongan.

            Aku menggenggam sun oil yang sejak tadi akan kupakai, tetapi tatapanku masih mengarah kepada dia, aku dengannya hanya terpaut beberapa meter. Untuk yang ke berapa kali lagi, aku memupuk satu persatu harapan yang semakin hambar? Aku telah mengetahuinya jelas, harapan ini takkan terwujudkan. Tetapi, hati ini tak henti-hentinya menanam benih-benih harapan. Aku tahu, perasaan inilah yang menjadi alasannya. Entah ini sekedar perasaan atau sekedar kagum.

            Tetapi, kupastikan antara ‘hanya’ kagum dengan sebuah perasaan itu berbeda. Letak perbedaannya, takkan mungkin harapan demi harapan mengisi penuh pikiranku. Harapan yang tertumpah itu tertulis dalam skala besar, tak mungkin ku tinggalkan, namun tak mungkin juga bisa diraih.

            “Mungkin dia butuh liburan.” Ucapku, sesaat setelah merasa puas merekam gerak gerik tubuhnya yang membuat hasratku naik level. Entah untuk yang ke berapa kalinya, aku hanya bisa menghela nafas sedalam-dalamnya. Nafas sabar.

            Alyssa tersenyum. “Coba dekati dia, yuk, Ren!” Belum sempat aku melontarkan kata-kata sebagai jawaban, Alyssa telah berlari menuju tempat dimana dia akan melakukan aktivis yang sudah menjadi kebiasaan orang-orang di pantai pada umumnya. Berjemur.

            Dengan usaha keras, aku mencoba mendeportasi keraguan yang memenuhi langkahku. Getaran tanganku masih terus terasa, aku tidak bisa merasi tentang apa yang terjadi selama beberapa waktu ke depan. Aku hanya ingin memastikan, aku hanya butuh kepastian dan aku tetap menunggu dipastikan. Kenyataannya, garis takdir ini berubah. Apa lagi yang harus diterka?

            “Alyssa,” Ujarku ketika sampai di dekatnya. Aku hanya bisa meneguk salivaku saat desiran itu mulai terasa, ketika aliran darahku semakin kencang, bersamaan dengan degupan kencang yang memicu detak jantungku, disusul dengan peluh dingin yang mulai berkiprah di sekitar pelipisku. Aku tak dapat berkilah, perasaan ini,… Ah, aku telah terperangkap dalam kontak cinta!

            Beberapa saat setelah aku melontarkan sebuah nama, dia memandangku, tepatnya melihat ke arah genggamanku. Sejenis sunblock, yaitu krim atau minyak yang mengandung tabir surya untuk menahan sinar ultraviolet dari matahari, atau yang lebih dikenal dengan nama sun oil. Tatapannya terlihat limited edition, seolah ribuan bintang menghujam kedua bola matanya.

            “Kenapa, kak?” Tanyaku dengan canggung. “Ini?” Aku memastikan arah pandangnya, menembus genggaman pada tanganku. Sebuah sun oil yang belum kupakai, bukan sebuah sia-sia. Suhu tubuh pun mendadak aklasia.

            Rasanya nafasku mendadak terhenti, bersamaan dengan permintaannya yang mengisi ruang pendengaranku. Dengan sederhana, dia memerintahku untuk mengoleskan sun oil di punggungnya. Dia telah berbaring. Dia bukanlah sebuah nobara yang hidup di negeri sakura tanpa perlindungan, tetapi dia hanyalah sosok manusia liar yang memenuhi celah-celah hati, menghunus kegelapan yang menyentuh daerah kapilaritas jiwa, yang menghujami ribuan teduh pada lelahnya hati. Kelelahan akibat rasa itu.

            Setelahnya, aku hanya duduk memeluk lutut, menghitung deburan ombak yang saling bergulung dan berkejaran. Mungkin debur ombak bisa bertabir sebuah gemuruh alam, tetapi hatiku tak dapat bertabir sebuah ketegaran. Aku tak dapat menantang waktu yang membekaliku kenyataan pahit ini.

            “Eh, terima kasih ya. Ngomong-ngomong, aku belum tahu namamu!” Aku sempat menghindari suara itu. Hampir saja keterkejutanku mengacaukan garis-garis haluan pikiranku yang mengakar di ujung khayalan.
            Saat ini aku hanya mengenal dia sekedar pangkal. Aku tersenyum penuh makna. “Sama-sama. Namaku Rena Khansa Nazzura. Eh, penampilanmu kemarin extra luar biasa ya. The best on best in my life, my heart, my everything. You know that.”

            Sebuah kenyataan yang membuatku gerah nyatanya membuat persona yang ada terdesak, kenyataan membaur dimana. Bahkan udara rasanya telah berubah, seperti halnya sebuah layang-layang putih di tepian pantai; seakan memanasiku untuk cepat mengatakannya.

            “Aku menyukaimu. Tapi kuyakin, perbedaan yang ada pada kita terlalu pekat.” Sebelum dia berbicara meresponsnya, terlebih aku menambahnya, “jelas-jelas aku tidak bisa menerima kenyataan ini, kebahagiaan yang paling sederhana bagiku adalah bisa menikmati senyumanmu. Meski dalam jauh.”

            Tetapi, aku lebih memilih berdiri sendiri, daripada harus bersamanya menantang ujian yang menerpa layar kisah ini. Seakan menurunkan layar warna perak, aku menutup harapan yang telah memenuhi ruang hasratku setelah sebelumya berpikir dengan cara yang mendewasakan.

            Berlarut-larut kutelusuri setiap permukaan wajahnya, tetap saja kesempurnaan itu terasa nyata terpahat di wajahnya. Dan aku enggan untuk menapaki langkah kesempurnaan itu, bukan sebuah penyesalan jika aku berhenti menapaki langkah hidupnya.

            “Perbedaan?”

            Aku mengangguk. “Kita terpaut perbedaan yang,” Aku meneguk ludah, ucapanku terpaksa menggantung karena aku tak mampu meneruskannya. Kata-kata itu terlalu menyakitkan, membunuhku secara perlahan, melenyapkan harapan demi harapan yang tersisih dan menggeser perasaanku menuju kenetralan. Seperti sedia kala.

            Stevant mengarahkan kepalanya kepadaku. “Detailkan laju ucapanmu, jangan memendam sesuatu yang tak mungkin. Siapa tahu hal itu akan menjadi sebuah kepastian.”

            “Tapi tidak mungkin, ini suatu fatamorgana yang mencakup daerah luas.” Umpatku, tentunya dalam hati. Saat itu, aku tak kuasa untuk menurunkan tetes demi tetes butiran bening itu. Tapi kupahami, tiada guna bagiku. Sebab kutahu, tetesan ini takkan pernah menyentuhnya. Tetesan ini hanyalah sebuah air seperti umumnya, sebuah tetesan air mata, tetesan yang takkan menggerakkan simpatinya.

            Kehidupan ini memang tidak bisa masuk akal. Tetapi, tidak masuk akalnya kehidupan, bukan berarti kehidupan itu ironis. Beralut-larut kutapaki detik demi detik yang membasuh kehidupanku, tetapi kuasaku yang lemah. Tak ada benteng pertahanan untuk hati yang lemah sepertiku.

            “Iman. Aku melihatnya secara langsung pada kalung yang melingkar bebas di lehermu.” Lirihku. Segera kualihkan arah pandangku menuju Alyssa. Perempuan itu sedang keasyikan berenang di tepian pantai tanpa sepengetahuanku. Aku ingin bersamanya, tetapi aku telah menyelami dasar suasana ini.

            Sekiranya aku melanjutkan perasaan ini lebih dalam, aku takut luka menjadi taruhannya. Tepi pantai ini seakan menjadi saksi akhir cerita yang belum sempat dimulai.

            “Sepertinya kita takkan pernah bisa bersatu, menyatukan segala perbedaan yang ada, dan disatukan olehnya dalam lingkup kebahagiaan.” Begitulah katanya, sebuah litotes tak bermuara, dibangun sebuah argument bersyair sastra.

            Aku mengangguk lemah. “Seandainya kita mampu membutakan hati masing-masing untuk meleburkan perbedaan itu, bisakah kita menjadi insan yang berbeda hanya untuk bersatu?”

            Stevant masih terbujur kaku, sangkar pemikirannya masih dipenuhi sebuah ketegasan yang harus dipilihnya. Anggaplah, ini sebuah pendewasaan diri. Meski takdir telah menentukan kemana kita akan melangkah. Tetapi sadarilah, kebahagiaan yang kumiliki sesungguhnya belum pernah terasa.

            Tanpa diminta pun, kebahagiaan itu menyederhanakan perasaanku; sesederhana senyumanmu, sesederhana menikmati kesempurnaannya, sesederhana dirimu yang memicu kebahagiaanku.

            “Tanpa takdir atau pilihan yang akan menentukan jalan hidupmu dan juga hidupku, kurasa kata kita sudah mampu menyaingi kebahagiaan yang pernah bersemayam dalam hidupmu.” Stevant tersenyum simpul ke arahku.
            Tetapi ini bukan sebuah distorsi, kebahagiaan sederhana yang pernah aku miliki adalah dapat menikmati senyuman yang terpeta jelas pada garis wajahnya.

            “Meski mereka mengatakan cinta sempurna itu cinta yang dilandasi ketulusan, tetapi iman itu membutuhkan. Selalu saja iman yang menjadi nomor satu.” Ucapku dengan itonasi rendah, iramanya bahkan terasa melemah; selemah detak jantungku saat ini. Rasanya, seakan-akan detakannya terputus karena desakan itu.

            Di antara musim gugur dan semi, ada sebuah saksi yang membentang pasti di lintas waktu. Kebahagiaan dan kesedihan berlalu bersama musim. Musim, sepanjang apapun menyisakan dua hal, kenangan dan harapan. Tentang kenangan yang menggali masa lalu, kenangan yang menjadi cover dari masa lalu, kenangan yang memiliki sisi kebahagiaan tersendiri tatkala rindu menyeruputnya.

            Ketika kenangan terlambat berkilah di gerbang yang buntu, ada harapan yang siap mencerahkan sisi gelap keresahan ini. Ketika kebahagiaan terlambat berpijak di pusara waktu, ada kebahagiaan yang menghias sisi harapan itu.

            Bayangannya yang menutupiku menyisakan aku yang terpatung disini, terbatu karena hawa yang mulai berubah, terpaku karena pemandangan yang menyisihkan awan-awan kumulus, tertegun karena keadaan langit dan lautan yang berhadapan; bagaikan tak bertepi. Tetapi kupastikan, angan-anganku lapuk ditelan waktu.

            “Ukirlah kebahagiaan itu sebagai prioritas hidupmu, jangan samakan dengan kesedihan yang bersimbah di setiap musim.” Ucapnya perlahan sebelum memilih bangkit, dan bergegas menyiapkan semuanya.

            Lalu, bagaimana aku melewati kenangan yang menuliskan kisah kita dalam singkatnya waktu?

            “Bahagia itu sederhana, sesederhana aku menyaksikan senyumanmu. Bahagia itu bermakna, seberartinya kehadiranmu di hidupku. Bahagia itu berwarna, seindah perasaan yang tiba-tiba hadir karenamu.” Ucapku, sambil menjabat tangannya dengan erat.

            “Dan bahagia itu menyakitkan, adalah sebuah dilema ketika memilih mengikhlaskan untuk melepaskan daripada memiliki tanpa keutuhan.” Tambahnya.

            Alyssa masih terlihat memainkan ombak di tepian pantai. Karena perempuan itu juga, Stevant mengenaliku, menjamah kehidupanku, melafalkan namaku dengan lancar, seolah mengudarakan kebahagiaan terkecil dalam hidupku.

            Perasaan sempurna yang kumiliki seolah sirna. Iman yang meruntuhkannya. Tetapi setidaknya aku masih bisa bersyukur, enggan mengeluh karena takdir yang telah digariskan untukku dan dirinya.

            Kebahagiaan yang terbesar bagiku adalah mengenalnya dengan langsung, lewat kontak mata. Setelah langkahnya berlalu dari jejak, aku mulai ragu menyebut detak jantung yang bergemuruh ini sebagai sesak. Aku hanya ingin menyebutnya sebagai kebahagiaan awalku.

            Kebahagiaan yang pernah kuraih dalam detik adalah mampu melewati singkatnya waktu bersamanya. Kebahagiaan yang pernah kuperoleh dari waktu adalah mampu merasakan indahnya hidup saat ruangnya terpenuhi kehadiranmu. Kebahagiaan yang sempat kudapatkan dalam hidup adalah menemukan dia, yang pada akhirnya pergi.


            Ujung sebuah kebersamaan itu sebuah perpisahan, bukan? Begitu pun hidup, berujung dengan kematian. Seperti halnya cinta; datang untuk pergi. Tetapi kuyakini, kebahagiaan ini mengukir keabadian, menarik garis waktu di ujung layar hidupku, mengkoordinasi segala perasaan indah yang pernah kumiliki dan menyempurnakan kedewasaanku untuk saat ini.

***

Silakan bagi yang ingin memberikan penilaian terhadap karya ini, tulis teks pada kotak komentar yang telah tersedia. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar