Happy Reading guys! Enjoy it!
***
Dia terduduk dengan menggeser titik
kulminasi kepalanya ke bawah, peluh dingin seakan menegaskan tak ada keberanian
yang menjadi pesiapannya saat itu, meresapi suasana pantai di atas panggung.
Gitar electric dengan sentuhan merah masih berada dalam genggamannya, dengan
sedikit corak-corak putih di badan gitar itu membuatnya semakin berkarisma saat
memegangnya. Bilamana suara itu mengalun melodious,
itu hal biasa. Tetapi, performance yang berlangsung itu menarik banyak hati.
Sebuah penampilan yang
mempertemukanku dengannya hari ini. Ralat, hanya aku yang menemukannya dari
sini, dari deretan kursi penonton yang dipenuhi orang-orang yang terus
bersorak, sebagian dari mereka menyerukan namanya –seakan mereka terlihat condong
ingatan. Pikiranku berusaha merekam suasana ini, seolah ini telah melekat
dengan lengket dalam ingatanku. Tetapi, aku tidak menginginkan ini tergelincir
menjadi sebuah reminisensi. Hal itu akan membuatku terpaksa terperangkap di
antara kerinduan.
Suaranya belum melengking di udara.
Semua orang mungkin akan meyakininya, dia takkan menyumbangkan sebuah nyanyian
dengan suara minor. Namun, aku belum memastikan tentang gemeletap yang menjejak
disini, tempat segala perasaan berpusat. Detak jantung ini seakan
bergemelentam, mengalir tanpa irama dan enggan memberikan diksi. Kupastikan,
ini bukan suasana biasa. Sepertinya, aku telah merasakan itu, sesuatu yang
terasa asing bagiku.
“Rena, ini lama sekali. Kapan
seorang Stevant Algrio Luxeria akan melangsungkan penampilannya? Lihatlah, beberapa
menit terbuang! Daripada seperti ini, aku lebih memilih untuk berlalu dan
menikmati suasana The Bay Bali!” Keluh Alyssa, yang membuatku terpaksa harus
mengalihkan pandangan.
Tangannya mengail erat di tanganku,
aku tak kuasa menolaknya. Barangkali ada sebuah tenaga yang bisa kusalurkan
untuk menolaknya, hatiku seolah memilih untuk menikmati penampilan sosok itu,
daripada meninggalkannya. Tetapi, aku takut ucapanku melencang jauh,
mengucapkan butir-butir swakontradiksi tak berarah.
Dengan lirih, aku mengukir sebuah
senyuman yang menghias pahatan wajahku. Kepalaku ikut menggeleng. Tak dapat
kupingkiri, Alyssa hanya memajukan bibirnya ke depan. Tetapi perempuan itu
terlalu menggemaskan. Aku hanya bisa bersyukur, memiliki seorang sahabat yang mampu
membaca suasana hatiku, yang bisa menyerap pikiranku dan tentu menyempurnakan
langkahku. Kebahagiaan yang menurutku tidak bisa dimiliki semua orang yang
seukuran denganku.
Setelah berlalu dariku, Alyssa sibuk
memainkan pasir pantai yang terlihat putih dan bersih. Tubuhnya lebih memilih
posisi jongkok, daripada duduk. Tak ada sedikit pun iritabilitas yang bereaksi
ketika beberapa pandangan yang berlalu di sekitarnya lebih memilih mengarahkan
pandangan mereka ke arahnya. Beberapa detik selanjutnya, tawa renyahnya mengisi
indera pendengaranku. Aku dengannya hanya terpaut jarak beberapa meter.
Buru-buru kualihkan tatapanku kepada
sosok itu lagi, mungkin sosok itu pula yang akan mengukir kebahagiaan baru
untukku. Tetapi aku masih enggan menerima kenyataan yang terasa hambar ini,
bagaimana pun perbedaan yang mengisi kisahku terlihat nyata. Diam-diam, aku
sedikit mencuri suaranya untuk kurekam dalam memori ingatanku.
“Eh, keren ya,” Tak kusadari, Alyssa
sudah mendaratkan dirinya pada kursi kosong di sebelahku. Manik matanya
terlihat lebih bersinar, seolah mendapatkan cahaya yang panjang; cahaya yang
mengisi penuh ruang penglihatannya.
Aku tersenyum untuk beberapa saat.
Satu lagi kebahagiaan terisi, aku menemukan sosok itu meski kenyataannya sosok
itu tak menemukanku di dalam keramaian berlatar senja itu. Masih sibuk
kumainkan pikiranku untuk menjamah sisi-sisi kesempurnaan yang terpahat dalam
wajah sosok itu.
“Stevant Algrio Luxeria, namanya
mewakili sisi kesempurnaan yang menjalar pada hidupnya. Langkah hidupnya tersukseskan
kemampuannya, pahatan kesempurnaannya tergaris pada wajahnya dan takdirnya
terukir indah dalam keabadian. Berbagai kesempurnaan mengalir di
dinding-dinding kehidupannya.” Gumamku, sedikit bermajas. Tatapanku masih
mengarah lurus kepadanya. Dia mulai tersenyum canggung, sesaat penampilan
keduanya akan segera berlangsung.
Hal yang kuharapkan saat ini adalah
mampu menjabat erat tangannya, merekam segala sentuhan yang kupastikan akan
menggetarkan lorong-lorong sepi dalam jiwaku. Namun kenyataan pahit memecah
senyumanku, kalung abadi itu seolah menghalangiku. Itu yang membedakan takdirku
dengannya.
“Selamat menikmati suasana pantai
untuk kalian semua. Saya akan membawakan lagu berikutnya. Lagu ini tematik
dengan kehidupan, dan ini adalah ciptaan saya sendiri.” Dia tersenyum ketika
mengakhiri ucapannya, yang disusul dengan petikan gitar pada nada pertama.
Semua orang di sekitarku masih sibuk bersorak, sementara aku hanya bisa terpukau
saat merekam wajahnya.
Sedetik pun takkan terlupa, hingga
masuk pada tahap menit yang merekam setiap pelukisan takdir yang memenuhi
hidupnya. Satu jam pun takkan terlewati, hingga masuk pada hari berikutnya,
melabuhkan kejadian ini pada dermaga ingatanku. Sampai setahun pun takkan
kuikhlaskan hal ini berlalu dari memori otakku.
Kini, dia telah merombak struktur
hidupku yang dulu. Aku menyunggingkan senyuman lebar, mewakili makna terbesar
yang menyawai suasana saat ini. Senja menampakkan taburan warna jingga, seolah
mengisyaratkanku untuk tetap menjadi seorang spiriter. Lukisan sempurna yang
disertasi garis takdirnya seolah mengingatkanku, dibalik pertemuan itu menunda
kebersamaan. Entah untuk kapan.
Lamunanku geger seketika, terbuyar
karena seruan Alyssa. Membuat garis khayalku terhapus dan aku tak mampu
meneruskan jejaknya. Ketika tatapanku menubruk objek itu, hasratku seakan
melebihi pikiranku, aku ingin mengenalnya lebih dari sebatas perkenalan. Aku
takkan menyerah, firasatku untuk bisa bersamanya menggantung nyata di puncak
pikiranku. Aku yakin itu.
Aku terdiam kembali, hingga sentilan
di hidungku mengusik keasyikanku. Ternyata pelakunya Alyssa. Decakan yang
mewakili kekesalanku membuat gelak tawanya semakin menggema, dan itu jelas
membuatku ingin berlalu dari waktu sempit ini.
Poniku terbenahi angin yang melaju
di depanku, kecepatannya membuatku kembali menyelami alam bawah sadar. Aku
masih disini, menanti harapan itu. Secara perlahan rasa itu mulai memenuhi
hati. Semakin wajah dan suara melodiousnya terekam lama, semakin sering pula
desiran ini menggeru hebat.
Satu persatu kulalui cara untuk
menikmati waktu sempit ini, waktu yang –mungkin– takkan terulang lagi. Suasana
pantai The Bay Bali, deburan ombak, kilauan biru antara langit dan lautan,
burung laying-layang putih, semua itu seolah menjadi saksi bisu tumbuhnya
perasaan itu.
“Haha, jangan cemberut seperti itu,
dong, Ren. Lain waktu, kita akan bertemu lagi dengannya!” Ucap Alyssa. Benar
saja, perempuan itu selalu tepat sasaran saat menerka pikiranku. Senyuman kecil
terpatri di bibir mungilnya.
Tak dapat kupingkiri, aku merasa
sentimental setelah melewati waktu ini. Waktu yang terasa sebentar bagiku,
berlalu menuju ke pergantian waktu senja. Dalam hati, aku hanya bisa pasrah
meski sedikit tidak mengikhlaskan hal ini.
“Kenapa, Sa?” Tanyaku pelan.
Sekarang, giliran Alyssa yang
mengumpatkan keraguan itu dalam hatinya. “Tapi maaf ya kalau lancang, kamu
tidak menginginkan hari ini berakhir, kan?”
Aku mengangguk lesu. “Tetapi, semua
memang sudah tertulis dalam waktu. Sudah terjadwal sesuai keinginan dia, aku
tahu itu.”
Sekarang, aku dan Alyssa mulai
berlalu dari deretan kursi penonton. Aku lebih memilih untuk menggeser
aktivitasku yang sudah terjadwal. Kuikhlaskan hanya untuk menenangkan degupan
kecil ini, tetap berdesir dalam ukiran sederhana itu; sesederhana aku menemukannya.
Lahir
kebahagiaan tersendiri ketika aku mampu menemukannya. Tatapannya dan senyuman
maut itu seolah menarikku untuk masuk ke dalam lubuk hatinya. Apa aku terlalu
posesif? Rasanya tak terikat dengan hakikat hidup, aku hanya mengaguminya. Mungkin.
Lahir kebahagiaan kecil ketika perasaan ini telah menjamah hati, tetapi aku
dengannya terlalu terjaraki perbedaan. Biarkan aku menikmatinya, walau kadang
sebuah fatamorgana takkan pernah terlepas dalam pikiranku.
Beberapa
hari berlalu. Aku masih berada di areal The Bay Bali. Liburan masih tersisa
beberapa hari lagi. Tetapi aku terlihat berbeda, apalagi mengingat beberapa
hari ini aku terkena serangan agripnia. Pikiran lemahku dipicu oleh bayangan
yang takkan mungkin kuraih seutuhnya, bahkan kalung itu masih melingkar nyaman
di lehernya. Aku ingin meminta dia melepaskannya, namun aku hanyalah objek yang
tak kasat mata baginya. Tak lebih seperti mengharapkan sebuah fatamorgana di
gurun yang kering dan tandus. Sepi tanpa irama.
“Eh, ternyata Stevant masih berlibur
disini ya? Wah.” Alyssa berseru dengan itonasi riang, pandanganku teralihkan
mengikuti arah pandang perempuan itu. Perkataannya tak pernah menyimpang, tak
pernah terhias sebuah kebohongan.
Aku menggenggam sun oil yang sejak
tadi akan kupakai, tetapi tatapanku masih mengarah kepada dia, aku dengannya
hanya terpaut beberapa meter. Untuk yang ke berapa kali lagi, aku memupuk satu
persatu harapan yang semakin hambar? Aku telah mengetahuinya jelas, harapan ini
takkan terwujudkan. Tetapi, hati ini tak henti-hentinya menanam benih-benih
harapan. Aku tahu, perasaan inilah yang menjadi alasannya. Entah ini sekedar
perasaan atau sekedar kagum.
Tetapi, kupastikan antara ‘hanya’
kagum dengan sebuah perasaan itu berbeda. Letak perbedaannya, takkan mungkin
harapan demi harapan mengisi penuh pikiranku. Harapan yang tertumpah itu
tertulis dalam skala besar, tak mungkin ku tinggalkan, namun tak mungkin juga
bisa diraih.
“Mungkin dia butuh liburan.” Ucapku,
sesaat setelah merasa puas merekam gerak gerik tubuhnya yang membuat hasratku
naik level. Entah untuk yang ke berapa kalinya, aku hanya bisa menghela nafas
sedalam-dalamnya. Nafas sabar.
Alyssa tersenyum. “Coba dekati dia,
yuk, Ren!” Belum sempat aku melontarkan kata-kata sebagai jawaban, Alyssa telah
berlari menuju tempat dimana dia akan melakukan aktivis yang sudah menjadi
kebiasaan orang-orang di pantai pada umumnya. Berjemur.
Dengan usaha keras, aku mencoba
mendeportasi keraguan yang memenuhi langkahku. Getaran tanganku masih terus
terasa, aku tidak bisa merasi tentang apa yang terjadi selama beberapa waktu ke
depan. Aku hanya ingin memastikan, aku hanya butuh kepastian dan aku tetap
menunggu dipastikan. Kenyataannya, garis takdir ini berubah. Apa lagi yang
harus diterka?
“Alyssa,” Ujarku ketika sampai di
dekatnya. Aku hanya bisa meneguk salivaku saat desiran itu mulai terasa, ketika
aliran darahku semakin kencang, bersamaan dengan degupan kencang yang memicu
detak jantungku, disusul dengan peluh dingin yang mulai berkiprah di sekitar
pelipisku. Aku tak dapat berkilah, perasaan ini,… Ah, aku telah terperangkap
dalam kontak cinta!
Beberapa saat setelah aku
melontarkan sebuah nama, dia memandangku, tepatnya melihat ke arah genggamanku.
Sejenis sunblock, yaitu krim atau minyak yang mengandung tabir surya untuk
menahan sinar ultraviolet dari matahari, atau yang lebih dikenal dengan nama
sun oil. Tatapannya terlihat limited edition, seolah ribuan bintang menghujam
kedua bola matanya.
“Kenapa, kak?” Tanyaku dengan
canggung. “Ini?” Aku memastikan arah pandangnya, menembus genggaman pada
tanganku. Sebuah sun oil yang belum kupakai, bukan sebuah sia-sia. Suhu tubuh
pun mendadak aklasia.
Rasanya nafasku mendadak terhenti,
bersamaan dengan permintaannya yang mengisi ruang pendengaranku. Dengan
sederhana, dia memerintahku untuk mengoleskan sun oil di punggungnya. Dia telah
berbaring. Dia bukanlah sebuah nobara yang hidup di negeri sakura tanpa
perlindungan, tetapi dia hanyalah sosok manusia liar yang memenuhi celah-celah
hati, menghunus kegelapan yang menyentuh daerah kapilaritas jiwa, yang
menghujami ribuan teduh pada lelahnya hati. Kelelahan akibat rasa itu.
Setelahnya, aku hanya duduk memeluk
lutut, menghitung deburan ombak yang saling bergulung dan berkejaran. Mungkin
debur ombak bisa bertabir sebuah gemuruh alam, tetapi hatiku tak dapat bertabir
sebuah ketegaran. Aku tak dapat menantang waktu yang membekaliku kenyataan
pahit ini.
“Eh, terima kasih ya. Ngomong-ngomong,
aku belum tahu namamu!” Aku sempat menghindari suara itu. Hampir saja
keterkejutanku mengacaukan garis-garis haluan pikiranku yang mengakar di ujung
khayalan.
Saat ini aku hanya mengenal dia
sekedar pangkal. Aku tersenyum penuh makna. “Sama-sama. Namaku Rena Khansa
Nazzura. Eh, penampilanmu kemarin extra luar biasa ya. The best on best in my
life, my heart, my everything. You know that.”
Sebuah kenyataan yang membuatku
gerah nyatanya membuat persona yang ada terdesak, kenyataan membaur dimana.
Bahkan udara rasanya telah berubah, seperti halnya sebuah layang-layang putih
di tepian pantai; seakan memanasiku untuk cepat mengatakannya.
“Aku menyukaimu. Tapi kuyakin,
perbedaan yang ada pada kita terlalu pekat.” Sebelum dia berbicara
meresponsnya, terlebih aku menambahnya, “jelas-jelas aku tidak bisa menerima
kenyataan ini, kebahagiaan yang paling sederhana bagiku adalah bisa menikmati
senyumanmu. Meski dalam jauh.”
Tetapi, aku lebih memilih berdiri
sendiri, daripada harus bersamanya menantang ujian yang menerpa layar kisah
ini. Seakan menurunkan layar warna perak, aku menutup harapan yang telah
memenuhi ruang hasratku setelah sebelumya berpikir dengan cara yang
mendewasakan.
Berlarut-larut kutelusuri setiap
permukaan wajahnya, tetap saja kesempurnaan itu terasa nyata terpahat di
wajahnya. Dan aku enggan untuk menapaki langkah kesempurnaan itu, bukan sebuah
penyesalan jika aku berhenti menapaki langkah hidupnya.
“Perbedaan?”
Aku mengangguk. “Kita terpaut
perbedaan yang,” Aku meneguk ludah, ucapanku terpaksa menggantung karena aku
tak mampu meneruskannya. Kata-kata itu terlalu menyakitkan, membunuhku secara
perlahan, melenyapkan harapan demi harapan yang tersisih dan menggeser
perasaanku menuju kenetralan. Seperti sedia kala.
Stevant mengarahkan kepalanya
kepadaku. “Detailkan laju ucapanmu, jangan memendam sesuatu yang tak mungkin. Siapa
tahu hal itu akan menjadi sebuah kepastian.”
“Tapi tidak mungkin, ini suatu
fatamorgana yang mencakup daerah luas.” Umpatku, tentunya dalam hati. Saat itu,
aku tak kuasa untuk menurunkan tetes demi tetes butiran bening itu. Tapi
kupahami, tiada guna bagiku. Sebab kutahu, tetesan ini takkan pernah
menyentuhnya. Tetesan ini hanyalah sebuah air seperti umumnya, sebuah tetesan
air mata, tetesan yang takkan menggerakkan simpatinya.
Kehidupan ini memang tidak bisa
masuk akal. Tetapi, tidak masuk akalnya kehidupan, bukan berarti kehidupan itu
ironis. Beralut-larut kutapaki detik demi detik yang membasuh kehidupanku,
tetapi kuasaku yang lemah. Tak ada benteng pertahanan untuk hati yang lemah
sepertiku.
“Iman. Aku melihatnya secara
langsung pada kalung yang melingkar bebas di lehermu.” Lirihku. Segera
kualihkan arah pandangku menuju Alyssa. Perempuan itu sedang keasyikan berenang
di tepian pantai tanpa sepengetahuanku. Aku ingin bersamanya, tetapi aku telah
menyelami dasar suasana ini.
Sekiranya aku melanjutkan perasaan ini
lebih dalam, aku takut luka menjadi taruhannya. Tepi pantai ini seakan menjadi
saksi akhir cerita yang belum sempat dimulai.
“Sepertinya kita takkan pernah bisa
bersatu, menyatukan segala perbedaan yang ada, dan disatukan olehnya dalam
lingkup kebahagiaan.” Begitulah katanya, sebuah litotes tak bermuara, dibangun
sebuah argument bersyair sastra.
Aku mengangguk lemah. “Seandainya
kita mampu membutakan hati masing-masing untuk meleburkan perbedaan itu,
bisakah kita menjadi insan yang berbeda hanya untuk bersatu?”
Stevant masih terbujur kaku, sangkar
pemikirannya masih dipenuhi sebuah ketegasan yang harus dipilihnya. Anggaplah,
ini sebuah pendewasaan diri. Meski takdir telah menentukan kemana kita akan
melangkah. Tetapi sadarilah, kebahagiaan yang kumiliki sesungguhnya belum
pernah terasa.
Tanpa diminta pun, kebahagiaan itu
menyederhanakan perasaanku; sesederhana senyumanmu, sesederhana menikmati
kesempurnaannya, sesederhana dirimu yang memicu kebahagiaanku.
“Tanpa takdir atau pilihan yang akan
menentukan jalan hidupmu dan juga hidupku, kurasa kata kita sudah mampu
menyaingi kebahagiaan yang pernah bersemayam dalam hidupmu.” Stevant tersenyum
simpul ke arahku.
Tetapi ini bukan sebuah distorsi,
kebahagiaan sederhana yang pernah aku miliki adalah dapat menikmati senyuman
yang terpeta jelas pada garis wajahnya.
“Meski mereka mengatakan cinta
sempurna itu cinta yang dilandasi ketulusan, tetapi iman itu membutuhkan.
Selalu saja iman yang menjadi nomor satu.” Ucapku dengan itonasi rendah,
iramanya bahkan terasa melemah; selemah detak jantungku saat ini. Rasanya,
seakan-akan detakannya terputus karena desakan itu.
Di antara musim gugur dan semi, ada
sebuah saksi yang membentang pasti di lintas waktu. Kebahagiaan dan kesedihan
berlalu bersama musim. Musim, sepanjang apapun menyisakan dua hal, kenangan dan
harapan. Tentang kenangan yang menggali masa lalu, kenangan yang menjadi cover
dari masa lalu, kenangan yang memiliki sisi kebahagiaan tersendiri tatkala
rindu menyeruputnya.
Ketika kenangan terlambat berkilah
di gerbang yang buntu, ada harapan yang siap mencerahkan sisi gelap keresahan
ini. Ketika kebahagiaan terlambat berpijak di pusara waktu, ada kebahagiaan
yang menghias sisi harapan itu.
Bayangannya yang menutupiku
menyisakan aku yang terpatung disini, terbatu karena hawa yang mulai berubah,
terpaku karena pemandangan yang menyisihkan awan-awan kumulus, tertegun karena
keadaan langit dan lautan yang berhadapan; bagaikan tak bertepi. Tetapi
kupastikan, angan-anganku lapuk ditelan waktu.
“Ukirlah kebahagiaan itu sebagai
prioritas hidupmu, jangan samakan dengan kesedihan yang bersimbah di setiap
musim.” Ucapnya perlahan sebelum memilih bangkit, dan bergegas menyiapkan
semuanya.
Lalu, bagaimana aku melewati
kenangan yang menuliskan kisah kita dalam singkatnya waktu?
“Bahagia itu sederhana, sesederhana
aku menyaksikan senyumanmu. Bahagia itu bermakna, seberartinya kehadiranmu di
hidupku. Bahagia itu berwarna, seindah perasaan yang tiba-tiba hadir karenamu.”
Ucapku, sambil menjabat tangannya dengan erat.
“Dan bahagia itu menyakitkan, adalah
sebuah dilema ketika memilih mengikhlaskan untuk melepaskan daripada memiliki
tanpa keutuhan.” Tambahnya.
Alyssa masih terlihat memainkan
ombak di tepian pantai. Karena perempuan itu juga, Stevant mengenaliku, menjamah
kehidupanku, melafalkan namaku dengan lancar, seolah mengudarakan kebahagiaan
terkecil dalam hidupku.
Perasaan sempurna yang kumiliki
seolah sirna. Iman yang meruntuhkannya. Tetapi setidaknya aku masih bisa
bersyukur, enggan mengeluh karena takdir yang telah digariskan untukku dan
dirinya.
Kebahagiaan yang terbesar bagiku
adalah mengenalnya dengan langsung, lewat kontak mata. Setelah langkahnya
berlalu dari jejak, aku mulai ragu menyebut detak jantung yang bergemuruh ini
sebagai sesak. Aku hanya ingin menyebutnya sebagai kebahagiaan awalku.
Kebahagiaan yang pernah kuraih dalam
detik adalah mampu melewati singkatnya waktu bersamanya. Kebahagiaan yang
pernah kuperoleh dari waktu adalah mampu merasakan indahnya hidup saat ruangnya
terpenuhi kehadiranmu. Kebahagiaan yang sempat kudapatkan dalam hidup adalah
menemukan dia, yang pada akhirnya pergi.
Ujung sebuah kebersamaan itu sebuah
perpisahan, bukan? Begitu pun hidup, berujung dengan kematian. Seperti halnya
cinta; datang untuk pergi. Tetapi kuyakini, kebahagiaan ini mengukir keabadian,
menarik garis waktu di ujung layar hidupku, mengkoordinasi segala perasaan
indah yang pernah kumiliki dan menyempurnakan kedewasaanku untuk saat ini.
***
Silakan bagi yang ingin memberikan penilaian terhadap karya ini, tulis teks pada kotak komentar yang telah tersedia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar