Rabu, 26 Maret 2014

Good Bye! -Because Of You- [1/2]

            Perubahan demi perubahan itu mulai terasa nyata, bahkan sisa dari perubahan itu menimbulkan gejala yang tidak bisa dihindari, efek-efek yang menyakitkan dan berseling dengan keresahan. Namun meski begitu pada tiangnya, perlahan perubahan itu akan menjadi motivasi terbesar. Tanpa perlu diusahakan lagi, perubahan itu bukanlah sesuatu yang harus merubah kehidupannya menjadi terbalik dengan arah perbedaan yang terwarnai kekacauan. Selamanya akan tetap seperti itu, takkan pernah ada perubahan.

            Dulu, persahabatan itu adalah genggaman terkuat dimana harapan demi harapan bisa tercurahkan kepada genggaman itu. Dulu, persahabatan adalah sesuatu yang memiliki peran terpenting dalam hidup. Dan dulu, persahabatan adalah sebuah kebahagiaan besar yang selalu mengalir di antara keindahan dunia. Bahkan dulu, persahabatan adalah segala-galanya, segila-gilanya, dan seramai-ramainya, sesolidaritasnya, apapun dan bagaimanapun keadaannya, tetap saja persahabatan memegang teguh asas hidup dengan tekanan mental yang khas dengan kedewasaan. Namun dulu, kini tergantikan dengan dalu yang selalu dihantui pikiran-pikiran gelap tak berarah.

            Tak ingin rasa itu mengubah segalanya. Takkan pernah ada perubahan terbesar ketika sebuah perasaan mulai hadir menghampari putaran waktu ke depan. Bukan lagi perasaan yang sederhana, sesederhana caranya menghadirkan perubahan-perubahan kecil yang berefek besar itu. Mungkin jika takdir terus berkata, perasaan itu akan membunuh dan menjadi pembunuh tersadis dalam kehidupannya. Sistem irigasi kehidupannya akan berubah, tergeletak kasar dalam kebahagiaan yang nyaris mati.

            “Fy, lagi mikirin apa, sih?” Tanya Shilla, seseorang yang sedari tadi memperhatikan tatapan Ify yang terasa asing. Bukan terasa asing lagi, bahkan seperti memicu pikirannya. Shilla berfirasat, tatapan Ify adalah pikiran Ify saat ini. Pada saat itulah, Shilla mulai melirik ke arah laki-laki yang sedang berkumpul bersama teman-teman dalam satu club besar di sekolahnya.

            “Kenapa ya, kita menyukai orang yang sama?” Gumam Shilla dengan perlahan, namun masih terdengar jelas di telinga Ify. Bahkan kata-kata itu seolah menjadi cambuk dalam hatinya, sebuah pertanyaan yang lebih mengarah kepada pernyataan.

            Diam-diam, jari-jemari Ify bergetar perlahan. Tentang apa yang harus diperbuat, rasanya sudah terblokir dengan pikirannya yang mulai memanas. Mengapa harus ada posisi yang sama dalam sebuah takdir? Dan untuk apa takdir yang sama itu harus membunuhnya secara perlahan, menjelma menjadi jarum kecil dengan ketajaman yang luar biasa, dan menancap pada permukaan hidupnya? Sebuah ilgok yang tak terjawab baginya.

            Terkadang sebuah takdir menempatkan posisi setiap insan pada sebuah dilema, Ify pernah merasakan hal itu secara sadar. Meski kenyataan lebih mempertimbangkan pada kesakitan, di sisi lain Ify harus belajar mengikhlaskan sesuatu yang lebih berharga daripada itu; mempertahankan sebuah keutuhan yang secara perlahan akan terasa merenggang dari juluran waktu.

            “Aku gak akan marah, Shil. Aku lebih mengikhlaskan Rio bersamamu, bukan bersamaku untuk di sampingku.” Ucapnya penuh dusta. Sela-sela jeda ucapannya tertancap sebuah nafas tak terelakan, sebuah ketidakrelaan –sesuatu yang sulit untuk dilenyapkan saat itu. Tetapi Ify harus lebih bijak menilai semuanya. Ini adalah sesuatu yang harus dilakukannya, tanpa harus ada yang terluka dalam kasus ini.

            Shilla menghela nafas pelan, tanpa sadar pikirannya telah teriris egonya. Ego itu membelenggu di antara hamparan harapan yang membentang dalam pikirannya, berlarian menuju tekad bulat yang semestinya sudah tercapai. Maafkan gue, Fy,…

            “Dibanding laki-laki itu, aku lebih menghargai hubungan ini. Karena aku tahu, persahabatan kita jauh lebih berarti daripada status pacaran yang seandainya dimiliki aku. Bahkan aku juga tahu, dengan perlahan keegoisan akan muncul ketika kita sudah mulai pa-ca-ran,” Ucapnya dengan itonasi rendah, seakan tidak ingin kehilangan sesuatu yang sudah melekat kental pada dirinya.

            Mendadak Shilla sentimental. Entah dorongan darimana, Shilla lebih menginginkan sebuah perpisahan yang terhiasi senyum kebahagiaan daripada sebuah perpisahan tanpa makna; hanya keegoisan yang membuatnya kembali kepada masa-masa sebelum semuanya terjadi. Tentu sebelum ada interaksi antara dirinya dengan orang-orang yang berada di sekolahnya.

            Saat ini, Shilla merasa tubuhnya mencelat. “Perasaan ini gak penting, gue gak mau ngerubah apapun termasuk apa yang telah kita lewati bersama.”

            Dan, perpisahan itu semakin dekat. Sekitar beberapa bulan lagi mereka melepas seragam putih abu-abu yang selama tiga tahun ke belakang ini hampir menjadi pakaian khas pagi setiap harinya.

            “Aku juga tidak pernah menginginkan, masing-masing di antara kita ada yang lebih egois.” Ify menghela nafas dalam. “Dengan cara, diam-diam membunuh dan melukai perasaan yang sama, yang kita miliki, kepada seseorang yang sama juga.”

            Shilla menarik nafas berat. “Aku janji.”

            Mendengar janji kecil itu, Ify hanya bisa tersenyum. Sebuah kebahagiaan kecil di antara hawa sesak yang menyelimutinya saat ini, menjadi atmosfer perasaannya, mendesak kasar tatkala keikhlasan sedang diusahakannya menjadi landasan kehidupannya untuk saat ini, esok dan ke depannya.

***

            Sore itu, Ify baru saja selesai membahas tentang festival musik dan kreasi seni yang sudah menjadi tradisi tahunan di sekolahnya. Banyak pengurus OSIS yang lebih merelakan waktunya untuk menyelami kegiatan tersebut, meski dalam keadaan terpaksa. Saat itu lebih banyak waktu luang yang terbuang, daripada sisa waktu yang digunakan untuk istirahat. Bahkan tidak jarang, mereka tidur kurang efektik karena beberapa golden rules yang tidak boleh dilarang.

            Sementara Ify, selaku ketua dari club dance lebih memilih jadwal hari ini untuk pembahasan mengenai festival itu. Apalagi, dancer di sekolahnya kadang menjadi penampilan pembuka dengan iringan alat musik dalam berbagai variasi. Semua orang akan menikmati malam itu dengan tanggapan yang berbeda, lebih kepada kesempurnaan malam yang tak terlupakan, seolah menjadi memori yang tidak bisa dilupakan.

            “Lo belum pulang, Fy?” Ify hanya tercengang ketika mendapati seorang laki-laki yang begitu familiar dalam pikirannya, dengan mudahnya berada dalam jarak beberapa centi dalam tatapannya.

Laki-laki itu tidak asing lagi, setiap kali waktu kosong ada pada dirinya, pastilah pikirannya terkontaminasi dengan bayangan laki-laki itu. Kadang sebagian dari memorinya terpenuhi nama yang tidak mengukir kebahagiaan abadi dalam hatinya. Tidak mungkin.

            “Rio,” Ify masih belum bisa meminimalisir perasaannya saat ini, kecamuk atas paduan rasa yang berbeda di antara keterkejutan dengan kecanggungan yang mendalam. “Lagi apa disini?” Tanyanya, sekedar menurunkan irama jantungnya yang berpacu cepat.

            Pandangan Ify masih menatap waspada ke arah sekelilingnya. Jari-jemarinya bergetar tanpa irama, bagai sebuah melodi tanpa dawai. Harapannya terisi penuh dengan kekhawatiran besar, ketakutan yang seolah menjadi penyempit pikirannya dan sebuah kebahagiaan sisa dari siklus gabungan suasana fisik dan batinnya saat ini.

            Tanpa gencar, Ify masih canggung berdiri di depan laki-laki yang sudah menghadirkan perasaan suka untuk dirinya, juga untuk Shilla sendiri.

            “Ify,” Rio mendekatkan wajahnya, fokus dalam beberapa satuan centi di depan wajah Ify. Jarak masih menjadi perantara untuk paduan tatapan mereka, masing-masing memiliki perbedaan rasa dan letaknya pada suasana hati keduanya. “Gue suka lo,” Ucap Rio pelan, kemudian menjauhkan kepalanya dari tatapan Ify. Jarak menjadi semakin renggang di antara keduanya, seiring dengan Rio yang mulai menunduk.

            Untuk beberapa saat, Ify memejamkan matanya dengan kuat tanpa perduli bagaimana orang-orang di sekitarnya yang melemparkan tatapan ke arahnya. Ini tidak seharusnya ada, tidak seharusnya Ify memiliki perasaan yang terbalas. Jangan sampai harus ada yang terluka dalam keadaan ini, termasuk Rio dan Shilla. Bagaimana caranya aku menyampaikan perasaan ini tanpa harus melukai perasaan Shilla? Dan bagaimana juga caranya aku menghargai pengakuan Rio dengan penolakan halus tanpa harus melukai Rio?

            Tanpa sadar, otaknya telah memerintahkan jari-jemarinya bergerak mengusap wajah laki-laki itu. Merasakan kesan kasar halusnya permukaan wajah itu, meski tatapannya hanya terpaut kepada rambut yang diberi olesan gell di bagian depan. Perlahan tangannya mengangkat dagu laki-laki itu hingga wajahnya mengarah kepadanya.

            “Gue gak bisa bayangin bagaimana,” Rio belum sempat menyelesaikan ucapannya, namun Ify sudah memberi isyarat kepadanya untuk tidak berbicara. Lewat gelengan kepalanya, Rio bisa mengerti apa yang tidak diucapkan perempuan itu.

            “Sebisa mungkin, kamu harus pandai untuk membuang perasaan itu jauh-jauh.” Ify tersenyum tipis, menarik kesimpulan dari apa yang ada dalam pikirannya. Butuh waktu yang panjang bagi seseorang seperti dirinya untuk merenungkan bagaimana caranya mengoptimalkan semua itu tanpa harus ada yang terluka. “Jangan mengacaukan hidupku,”

            Rio menatap Ify tak percaya. “Maksudnya?”

            “Kamu sudah tahu kan semua tentang aku? Aku sudah lama bersahabat dengan Shilla dan Sivia, dan aku juga tidak pernah menginginkan perubahan dan kerenggangan ada dalam persahabatan kami. Dan aku merasa perasaan yang saat ini aku miliki akan berevolusi pada cerita persahabatanku.” Ify hanya terpaku setelahnya, menyaksikan raut wajah Rio yang sangat sulit ditebaknya.

            Pikiran Rio masih tercetuskan pendapat-pendapat kecil untuk mencerna perkataan Ify. Ada saatnya Rio bisa menerima kenyataan dan ada saatnya Rio tidak bisa mengikhlaskan sesuatu yang sudah memenuhi haknya.

            Ify masih bisa bersikap fleksibel dalam kasus ini, mencoba menerjemahkan keinginan yang memenuhi harapannya. Meski tak sepenuhnya hal itu bisa dilakukan, Ify berharap kali ini topeng yang dipakainya bisa menutupi keadaannya saat ini, setidaknya membuat dirinya lebih tenang saat ini.

            “Dengar, aku juga menyukaimu, Ferlindo Grio Fahlevi. tapi ada seseorang yang lebih menyayangimu, menyukaimu, mencintaimu. Menginginkanmu menjadi pendamping dalam hidupnya, mengharapkanmu selalu memenuhi ruang-ruang kesepian dalam hidupnya, membesarkan namamu ketika keinginannya meledak dalam hati kecilnya.” Ify menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan tangis yang nyaris membendung matanya.

            Mendengar pengakuan kecil itu, Rio menghambur kepada tubuh Ify, membawa perempuan itu ke dalam rengkuhannya dan mengeratkan kedua tangannya yang melingkari tubuh perempuan itu. Sesekali tubuhnya mengusap perlahan puncak kepalanya, membawanya ke dalam kedamaian dan membiarkan perempuan itu terpekur dalam belaian hangatnya.

            Biarkanlah untuk saat ini Ify merasakan hangatnya sentuhan dari hati laki-laki itu, meski kenyataannya Ify takkan pernah bisa memenuhi pemberian kasih putih dalam hidupnya. Segalanya akan bernilai indah jika ditolerir dengan pemahaman, tetapi ketika pemahaman lebih mengoptimalkan apa yang lebih baik, haruskah luka yang menjadi taruhannya?

            “Ngomong sama gue, siapa dia? Apa masih ada yang bisa lebih baik dari lo, Agria Ferya Hillify? Gue rasa, gak ada yang bisa menandingi lo.” Rio sebisa mungkin mengeratkan tangannya, seolah tidak pernah ingin membiarkan perempuan itu terlepas dari dekapannya.

            Saat yang bersamaan, Ify masih belum bisa melambungkan tinggi di udara nama itu lewat ucapannya, Lidahnya masih kelu untuk melafalkan nama itu, nama yang ada dalam kisah hidupnya, nama yang beberapa saat ini menjadi pelengkap dalam unsur keutuhannya dan juga nama yang sudah menjadi bagian dari perjalanan hidupnya. Tak lain adalah Shilla.

            Beda dengan Rio, sementara Rio masih menebak-nebak isi ucapan Ify, seseorang yang mampu menandingi Ify sendiri. Siapa yang layak menandingi lo, Fy? Rio masih membenturkan pikirannya menuju pikiran yang lebih terbuka dan lebih dewasa, tapi bagaimana jika kenyataannya membuat Rio sendiri terluka?

            “Kamu sudah membekuk hatiku, juga sahabatku. Dan kamu sudah menghadirkan perubahan-perubahan dalam hidupku, tapi aku tidak mau mengkhianati dan juga dikhianati perubahan-perubahan itu. Kita, masih teman, bukan?” Ify tersenyum simpul ketika sebuah keputusan begitu fasih mengalir lewat ucapannya.

            “Teman?” Ify mengangguk.

            Akan terasa lebih menyenangkan ketika langkah yang lebih dewasa bisa tertangkap pikiran secara bulat, tanpa harus mengenal rasa sakit yang bisa merombak benteng kebahagiaan dan memuarakan segenap serpihan kehancuran yang menjurang di dasar hati. Semua itu tidak lepas dari mental yang kuat dan komitmen yang teguh.

            Namun, takdir berkata beda. Semua harus terjadi, saat itu harus ada yang terluka karena ego dan kesalahpahaman yang terjadi.

            “Ify? Rio?”

            Ify hanya bisa menyaksikan perubahan raut wajah Shilla setelah sebelumnya berusaha sebisa mungkin melepaskan tubuhnya dari kuatnya dekapan Rio. Perempuan itu seperti kehilangan arah ketika melihat sahabatnya sendiri harus tenggelam di antara ribuan panah-panah kecil. Tidak mungkin bisa dibiarkannya untuk mendalami rasa itu, tidak mungkin bisa.

            “Shill, ini,”

            Shilla menggeleng, sambil berusaha tegar menahan air mata yang sudah membendung matanya. “Kalian, jadian? Longlast ya.” Shilla tersenyum tipis, ditatapinya laki-laki itu yang juga sedang menatapnya dengan ekspresi canggung. Ekspresi yang sulit untuk dicerna, tetapi biarkan untuk saat ini dirinya terhanyut dari tatapan teduh menyesakkan itu.

            “Shill,” Rio baru saja mengudarakan tangan kanannya, namun Shilla segera menepisnya dengan pelan. Sambil menatap lirih, Shilla membiarkan air mata meluap saat itu juga karena benteng pertahannya benar-benar sudah luruh. “Tetaplah menjadi bintang dalam kehidupan Ify, tetaplah menjadi sinar penerang langkah Ify dan tetaplah menjadi kilauan kebahagiaan yang memenuhi ruang-ruang kehidupan Ify.”

            Ucapan itu, kata-kata itu, membuat Ify tidak kuasa menahan air matanya. Ini yang dinamakan luka? Apa ini yang seharusnya terjadi di antara dua orang sahabat yang merasakan perasaan yang sama, tetapi memiliki keberuntungan yang berbeda? Apa air mata yang harus menjadi taruhannya ketika luka benar-benar telah menjadi saksi bisu kisah itu?

            Ify melangkahkan kakinya, mendekati Shilla yang terdiam dalam tangisnya yang tak berirama. Namun baru saja Ify akan menepuk pundaknya, Shilla terlebih tangkas memegang kuat tangannya dan Ify bisa merasakan pegangan erat itu.

            “Persahabatan kita masih ada, kan? Dan semoga lo gak bakal pernah egois sama gue dan juga Sivia.” Shilla menatap Ify dalam. “Hidup gue kayaknya udah gak berarti lagi, karena sekarang lo udah memiliki seseorang yang jauh lebih berarti dari seorang sahabat, bukan?” Shilla tersenyum miris.

            “Sivia,” Lantas Ify teringat kepada pesan Sivia, tentang segala kondisi yang akan terjadi di antara persahabatan itu. Sebuah persahabatan yang sudah dibangunnya dengan susah payah kini nyaris hancur karena perubahan itu. “Tapi, Shil,”

            “Kenapa? Selamat ya. Semoga lo bisa bahagia bareng dia.”

            Saat Ify berniat untuk membalas ucapannya, Shilla sudah berlalu dari tempatnya berdiri, berlari dengan sangat cepat. Saat itu Ify hanya bisa menyesali waktu yang sedari tadi mempertemukan dirinya dengan laki-laki itu, waktu yang pada akhirnya menimbulkan kesalahpahaman dan waktu yang membuat semuanya terluka. Dirinya, Rio dan juga Shilla. Ify tidak mungkin bisa terlepas dari peranan Shilla, Rio dan termasuk Sivia yang belum mengetahui kejadian ini.

            “Fy.” Rio menepuk pundak Ify, kemudian mencengkeram kuat bahu perempuan itu. Saat ini ia hanya berusaha menguatkan perempuan itu, meski air mata tanda kelemahannya sudah meleleh membanjiri kedua pipinya. Tapi kenyataan itu sulit diterima, kenyataan itu sudah terjadi dan membunuhnya.

            “Maaf, Rio. Seharusnya aku tidak pernah memiliki perasaan yang sama seperti Shilla, perasaan yang tertuju khusus untukmu. Aku memang salah.”

            “Gak, Fy. Lo gak salah, gue yang salah. Kenapa gue gak tahu dari awal kalau Shilla suka sama gue, dengan seperti itu gue bisa membuat Shilla lebih mengerti kalo gue lebih membutuhkan elo daripada dia. Tapi gue nyesel, kenapa harus tahu sekarang. Gue bener-bener nyesel.” Kejujuran terungkap dari dasar hati Rio, meski begitu penyesalan masih terasa lengket dengan suasana hatinya saat ini.

            Hati Ify benar-benar terhenyak, rasanya sangat sulit untuk menerima kenyataan baru ini. Dan kenyataan ini tidak akan pernah bisa mengembalikan keutuhan yang lalu sepertinya. Mungkin harus ada salah satu di antara mereka yang harus pergi dari kehidupannya, entah Rio ataupun Shilla. Tetapi, Ify lebih memilih Shilla untuk tetap bersamanya, sementara Rio terlepas dari kehidupannya.

            “Aku harus pergi, maaf.”

            Tanpa memberikan kesempatan lagi untuk Rio berkata-kata, secepat kilat Ify meninggalkan Rio tanpa ada niatan untuk menoleh sekali lagi ke belakang, menikmati tatapan yang terakhir kalinya di atas luka yang saat ini menderu. Ini adalah awal tanda langkah yang baru, yang menyesakkan dan melukainya secara perlahan. Aku membencimu, hidup.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar