Perubahan demi perubahan itu mulai
terasa nyata, bahkan sisa dari perubahan itu menimbulkan gejala yang tidak bisa
dihindari, efek-efek yang menyakitkan dan berseling dengan keresahan. Namun
meski begitu pada tiangnya, perlahan perubahan itu akan menjadi motivasi
terbesar. Tanpa perlu diusahakan lagi, perubahan itu bukanlah sesuatu yang
harus merubah kehidupannya menjadi terbalik dengan arah perbedaan yang
terwarnai kekacauan. Selamanya akan tetap seperti itu, takkan pernah ada
perubahan.
Dulu, persahabatan itu adalah
genggaman terkuat dimana harapan demi harapan bisa tercurahkan kepada genggaman
itu. Dulu, persahabatan adalah sesuatu yang memiliki peran terpenting dalam
hidup. Dan dulu, persahabatan adalah sebuah kebahagiaan besar yang selalu mengalir
di antara keindahan dunia. Bahkan dulu, persahabatan adalah segala-galanya,
segila-gilanya, dan seramai-ramainya, sesolidaritasnya, apapun dan bagaimanapun
keadaannya, tetap saja persahabatan memegang teguh asas hidup dengan tekanan
mental yang khas dengan kedewasaan. Namun dulu, kini tergantikan dengan dalu
yang selalu dihantui pikiran-pikiran gelap tak berarah.
Tak ingin rasa itu mengubah
segalanya. Takkan pernah ada perubahan terbesar ketika sebuah perasaan mulai
hadir menghampari putaran waktu ke depan. Bukan lagi perasaan yang sederhana,
sesederhana caranya menghadirkan perubahan-perubahan kecil yang berefek besar
itu. Mungkin jika takdir terus berkata, perasaan itu akan membunuh dan menjadi
pembunuh tersadis dalam kehidupannya. Sistem irigasi kehidupannya akan berubah,
tergeletak kasar dalam kebahagiaan yang nyaris mati.
“Fy, lagi mikirin apa, sih?” Tanya
Shilla, seseorang yang sedari tadi memperhatikan tatapan Ify yang terasa asing.
Bukan terasa asing lagi, bahkan seperti memicu pikirannya. Shilla berfirasat,
tatapan Ify adalah pikiran Ify saat ini. Pada saat itulah, Shilla mulai melirik
ke arah laki-laki yang sedang berkumpul bersama teman-teman dalam satu club
besar di sekolahnya.
“Kenapa ya, kita menyukai orang yang
sama?” Gumam Shilla dengan perlahan, namun masih terdengar jelas di telinga
Ify. Bahkan kata-kata itu seolah menjadi cambuk dalam hatinya, sebuah
pertanyaan yang lebih mengarah kepada pernyataan.
Diam-diam, jari-jemari Ify bergetar
perlahan. Tentang apa yang harus diperbuat, rasanya sudah terblokir dengan
pikirannya yang mulai memanas. Mengapa harus ada posisi yang sama dalam sebuah
takdir? Dan untuk apa takdir yang sama itu harus membunuhnya secara perlahan,
menjelma menjadi jarum kecil dengan ketajaman yang luar biasa, dan menancap
pada permukaan hidupnya? Sebuah ilgok yang tak terjawab baginya.
Terkadang sebuah takdir menempatkan
posisi setiap insan pada sebuah dilema, Ify pernah merasakan hal itu secara
sadar. Meski kenyataan lebih mempertimbangkan pada kesakitan, di sisi lain Ify
harus belajar mengikhlaskan sesuatu yang lebih berharga daripada itu;
mempertahankan sebuah keutuhan yang secara perlahan akan terasa merenggang dari
juluran waktu.
“Aku gak akan marah, Shil. Aku lebih
mengikhlaskan Rio bersamamu, bukan bersamaku untuk di sampingku.” Ucapnya penuh
dusta. Sela-sela jeda ucapannya tertancap sebuah nafas tak terelakan, sebuah
ketidakrelaan –sesuatu yang sulit untuk dilenyapkan saat itu. Tetapi Ify harus
lebih bijak menilai semuanya. Ini adalah sesuatu yang harus dilakukannya, tanpa
harus ada yang terluka dalam kasus ini.
Shilla menghela nafas pelan, tanpa
sadar pikirannya telah teriris egonya. Ego itu membelenggu di antara hamparan
harapan yang membentang dalam pikirannya, berlarian menuju tekad bulat yang
semestinya sudah tercapai. Maafkan gue,
Fy,…
“Dibanding laki-laki itu, aku lebih
menghargai hubungan ini. Karena aku tahu, persahabatan kita jauh lebih berarti
daripada status pacaran yang seandainya dimiliki aku. Bahkan aku juga tahu,
dengan perlahan keegoisan akan muncul ketika kita sudah mulai pa-ca-ran,”
Ucapnya dengan itonasi rendah, seakan tidak ingin kehilangan sesuatu yang sudah
melekat kental pada dirinya.
Mendadak Shilla sentimental. Entah
dorongan darimana, Shilla lebih menginginkan sebuah perpisahan yang terhiasi
senyum kebahagiaan daripada sebuah perpisahan tanpa makna; hanya keegoisan yang
membuatnya kembali kepada masa-masa sebelum semuanya terjadi. Tentu sebelum ada
interaksi antara dirinya dengan orang-orang yang berada di sekolahnya.
Saat ini, Shilla merasa tubuhnya
mencelat. “Perasaan ini gak penting, gue gak mau ngerubah apapun termasuk apa
yang telah kita lewati bersama.”
Dan, perpisahan itu semakin dekat.
Sekitar beberapa bulan lagi mereka melepas seragam putih abu-abu yang selama
tiga tahun ke belakang ini hampir menjadi pakaian khas pagi setiap harinya.
“Aku juga tidak pernah menginginkan,
masing-masing di antara kita ada yang lebih egois.” Ify menghela nafas dalam.
“Dengan cara, diam-diam membunuh dan melukai perasaan yang sama, yang kita
miliki, kepada seseorang yang sama juga.”
Shilla menarik nafas berat. “Aku
janji.”
Mendengar janji kecil itu, Ify hanya
bisa tersenyum. Sebuah kebahagiaan kecil di antara hawa sesak yang
menyelimutinya saat ini, menjadi atmosfer perasaannya, mendesak kasar tatkala
keikhlasan sedang diusahakannya menjadi landasan kehidupannya untuk saat ini,
esok dan ke depannya.
***
Sore itu, Ify baru saja selesai
membahas tentang festival musik dan kreasi seni yang sudah menjadi tradisi
tahunan di sekolahnya. Banyak pengurus OSIS yang lebih merelakan waktunya untuk
menyelami kegiatan tersebut, meski dalam keadaan terpaksa. Saat itu lebih
banyak waktu luang yang terbuang, daripada sisa waktu yang digunakan untuk
istirahat. Bahkan tidak jarang, mereka tidur kurang efektik karena beberapa
golden rules yang tidak boleh dilarang.
Sementara Ify, selaku ketua dari
club dance lebih memilih jadwal hari ini untuk pembahasan mengenai festival
itu. Apalagi, dancer di sekolahnya kadang menjadi penampilan pembuka dengan
iringan alat musik dalam berbagai variasi. Semua orang akan menikmati malam itu
dengan tanggapan yang berbeda, lebih kepada kesempurnaan malam yang tak
terlupakan, seolah menjadi memori yang tidak bisa dilupakan.
“Lo belum pulang, Fy?” Ify hanya
tercengang ketika mendapati seorang laki-laki yang begitu familiar dalam
pikirannya, dengan mudahnya berada dalam jarak beberapa centi dalam tatapannya.
Laki-laki itu tidak asing lagi, setiap
kali waktu kosong ada pada dirinya, pastilah pikirannya terkontaminasi dengan
bayangan laki-laki itu. Kadang sebagian dari memorinya terpenuhi nama yang
tidak mengukir kebahagiaan abadi dalam hatinya. Tidak mungkin.
“Rio,”
Ify masih belum bisa meminimalisir perasaannya saat ini, kecamuk atas paduan
rasa yang berbeda di antara keterkejutan dengan kecanggungan yang mendalam.
“Lagi apa disini?” Tanyanya, sekedar menurunkan irama jantungnya yang berpacu
cepat.
Pandangan Ify masih menatap waspada
ke arah sekelilingnya. Jari-jemarinya bergetar tanpa irama, bagai sebuah melodi
tanpa dawai. Harapannya terisi penuh dengan kekhawatiran besar, ketakutan yang
seolah menjadi penyempit pikirannya dan sebuah kebahagiaan sisa dari siklus
gabungan suasana fisik dan batinnya saat ini.
Tanpa gencar, Ify masih canggung
berdiri di depan laki-laki yang sudah menghadirkan perasaan suka untuk dirinya,
juga untuk Shilla sendiri.
“Ify,” Rio mendekatkan wajahnya,
fokus dalam beberapa satuan centi di depan wajah Ify. Jarak masih menjadi
perantara untuk paduan tatapan mereka, masing-masing memiliki perbedaan rasa
dan letaknya pada suasana hati keduanya. “Gue suka lo,” Ucap Rio pelan,
kemudian menjauhkan kepalanya dari tatapan Ify. Jarak menjadi semakin renggang
di antara keduanya, seiring dengan Rio yang mulai menunduk.
Untuk beberapa saat, Ify memejamkan
matanya dengan kuat tanpa perduli bagaimana orang-orang di sekitarnya yang
melemparkan tatapan ke arahnya. Ini tidak seharusnya ada, tidak seharusnya Ify
memiliki perasaan yang terbalas. Jangan sampai harus ada yang terluka dalam
keadaan ini, termasuk Rio dan Shilla. Bagaimana
caranya aku menyampaikan perasaan ini tanpa harus melukai perasaan Shilla? Dan
bagaimana juga caranya aku menghargai pengakuan Rio dengan penolakan halus
tanpa harus melukai Rio?
Tanpa sadar, otaknya telah
memerintahkan jari-jemarinya bergerak mengusap wajah laki-laki itu. Merasakan
kesan kasar halusnya permukaan wajah itu, meski tatapannya hanya terpaut kepada
rambut yang diberi olesan gell di bagian depan. Perlahan tangannya mengangkat
dagu laki-laki itu hingga wajahnya mengarah kepadanya.
“Gue gak bisa bayangin bagaimana,”
Rio belum sempat menyelesaikan ucapannya, namun Ify sudah memberi isyarat
kepadanya untuk tidak berbicara. Lewat gelengan kepalanya, Rio bisa mengerti
apa yang tidak diucapkan perempuan itu.
“Sebisa mungkin, kamu harus pandai
untuk membuang perasaan itu jauh-jauh.” Ify tersenyum tipis, menarik kesimpulan
dari apa yang ada dalam pikirannya. Butuh waktu yang panjang bagi seseorang
seperti dirinya untuk merenungkan bagaimana caranya mengoptimalkan semua itu
tanpa harus ada yang terluka. “Jangan mengacaukan hidupku,”
Rio menatap Ify tak percaya.
“Maksudnya?”
“Kamu sudah tahu kan semua tentang
aku? Aku sudah lama bersahabat dengan Shilla dan Sivia, dan aku juga tidak
pernah menginginkan perubahan dan kerenggangan ada dalam persahabatan kami. Dan
aku merasa perasaan yang saat ini aku miliki akan berevolusi pada cerita
persahabatanku.” Ify hanya terpaku setelahnya, menyaksikan raut wajah Rio yang
sangat sulit ditebaknya.
Pikiran Rio masih tercetuskan
pendapat-pendapat kecil untuk mencerna perkataan Ify. Ada saatnya Rio bisa
menerima kenyataan dan ada saatnya Rio tidak bisa mengikhlaskan sesuatu yang
sudah memenuhi haknya.
Ify masih bisa bersikap fleksibel
dalam kasus ini, mencoba menerjemahkan keinginan yang memenuhi harapannya. Meski
tak sepenuhnya hal itu bisa dilakukan, Ify berharap kali ini topeng yang
dipakainya bisa menutupi keadaannya saat ini, setidaknya membuat dirinya lebih
tenang saat ini.
“Dengar, aku juga menyukaimu,
Ferlindo Grio Fahlevi. tapi ada seseorang yang lebih menyayangimu, menyukaimu,
mencintaimu. Menginginkanmu menjadi pendamping dalam hidupnya, mengharapkanmu
selalu memenuhi ruang-ruang kesepian dalam hidupnya, membesarkan namamu ketika
keinginannya meledak dalam hati kecilnya.” Ify menggigit bibir bawahnya,
berusaha menahan tangis yang nyaris membendung matanya.
Mendengar pengakuan kecil itu, Rio
menghambur kepada tubuh Ify, membawa perempuan itu ke dalam rengkuhannya dan
mengeratkan kedua tangannya yang melingkari tubuh perempuan itu. Sesekali
tubuhnya mengusap perlahan puncak kepalanya, membawanya ke dalam kedamaian dan
membiarkan perempuan itu terpekur dalam belaian hangatnya.
Biarkanlah untuk saat ini Ify
merasakan hangatnya sentuhan dari hati laki-laki itu, meski kenyataannya Ify
takkan pernah bisa memenuhi pemberian kasih putih dalam hidupnya. Segalanya
akan bernilai indah jika ditolerir dengan pemahaman, tetapi ketika pemahaman
lebih mengoptimalkan apa yang lebih baik, haruskah luka yang menjadi
taruhannya?
“Ngomong sama gue, siapa dia? Apa
masih ada yang bisa lebih baik dari lo, Agria Ferya Hillify? Gue rasa, gak ada
yang bisa menandingi lo.” Rio sebisa mungkin mengeratkan tangannya, seolah
tidak pernah ingin membiarkan perempuan itu terlepas dari dekapannya.
Saat yang bersamaan, Ify masih belum
bisa melambungkan tinggi di udara nama itu lewat ucapannya, Lidahnya masih kelu
untuk melafalkan nama itu, nama yang ada dalam kisah hidupnya, nama yang
beberapa saat ini menjadi pelengkap dalam unsur keutuhannya dan juga nama yang
sudah menjadi bagian dari perjalanan hidupnya. Tak lain adalah Shilla.
Beda dengan Rio, sementara Rio masih
menebak-nebak isi ucapan Ify, seseorang yang mampu menandingi Ify sendiri. Siapa yang layak menandingi lo, Fy? Rio
masih membenturkan pikirannya menuju pikiran yang lebih terbuka dan lebih
dewasa, tapi bagaimana jika kenyataannya membuat Rio sendiri terluka?
“Kamu sudah membekuk hatiku, juga
sahabatku. Dan kamu sudah menghadirkan perubahan-perubahan dalam hidupku, tapi
aku tidak mau mengkhianati dan juga dikhianati perubahan-perubahan itu. Kita,
masih teman, bukan?” Ify tersenyum simpul ketika sebuah keputusan begitu fasih
mengalir lewat ucapannya.
“Teman?” Ify mengangguk.
Akan terasa lebih menyenangkan
ketika langkah yang lebih dewasa bisa tertangkap pikiran secara bulat, tanpa
harus mengenal rasa sakit yang bisa merombak benteng kebahagiaan dan memuarakan
segenap serpihan kehancuran yang menjurang di dasar hati. Semua itu tidak lepas
dari mental yang kuat dan komitmen yang teguh.
Namun, takdir berkata beda. Semua
harus terjadi, saat itu harus ada yang terluka karena ego dan kesalahpahaman
yang terjadi.
“Ify? Rio?”
Ify hanya bisa menyaksikan perubahan
raut wajah Shilla setelah sebelumnya berusaha sebisa mungkin melepaskan
tubuhnya dari kuatnya dekapan Rio. Perempuan itu seperti kehilangan arah ketika
melihat sahabatnya sendiri harus tenggelam di antara ribuan panah-panah kecil.
Tidak mungkin bisa dibiarkannya untuk mendalami rasa itu, tidak mungkin bisa.
“Shill, ini,”
Shilla menggeleng, sambil berusaha
tegar menahan air mata yang sudah membendung matanya. “Kalian, jadian? Longlast
ya.” Shilla tersenyum tipis, ditatapinya laki-laki itu yang juga sedang
menatapnya dengan ekspresi canggung. Ekspresi yang sulit untuk dicerna, tetapi
biarkan untuk saat ini dirinya terhanyut dari tatapan teduh menyesakkan itu.
“Shill,” Rio baru saja mengudarakan
tangan kanannya, namun Shilla segera menepisnya dengan pelan. Sambil menatap
lirih, Shilla membiarkan air mata meluap saat itu juga karena benteng
pertahannya benar-benar sudah luruh. “Tetaplah menjadi bintang dalam kehidupan
Ify, tetaplah menjadi sinar penerang langkah Ify dan tetaplah menjadi kilauan
kebahagiaan yang memenuhi ruang-ruang kehidupan Ify.”
Ucapan itu, kata-kata itu, membuat
Ify tidak kuasa menahan air matanya. Ini yang dinamakan luka? Apa ini yang
seharusnya terjadi di antara dua orang sahabat yang merasakan perasaan yang
sama, tetapi memiliki keberuntungan yang berbeda? Apa air mata yang harus
menjadi taruhannya ketika luka benar-benar telah menjadi saksi bisu kisah itu?
Ify melangkahkan kakinya, mendekati
Shilla yang terdiam dalam tangisnya yang tak berirama. Namun baru saja Ify akan
menepuk pundaknya, Shilla terlebih tangkas memegang kuat tangannya dan Ify bisa
merasakan pegangan erat itu.
“Persahabatan kita masih ada, kan?
Dan semoga lo gak bakal pernah egois sama gue dan juga Sivia.” Shilla menatap
Ify dalam. “Hidup gue kayaknya udah gak berarti lagi, karena sekarang lo udah
memiliki seseorang yang jauh lebih berarti dari seorang sahabat, bukan?” Shilla
tersenyum miris.
“Sivia,” Lantas Ify teringat kepada
pesan Sivia, tentang segala kondisi yang akan terjadi di antara persahabatan
itu. Sebuah persahabatan yang sudah dibangunnya dengan susah payah kini nyaris
hancur karena perubahan itu. “Tapi, Shil,”
“Kenapa? Selamat ya. Semoga lo bisa
bahagia bareng dia.”
Saat Ify berniat untuk membalas
ucapannya, Shilla sudah berlalu dari tempatnya berdiri, berlari dengan sangat
cepat. Saat itu Ify hanya bisa menyesali waktu yang sedari tadi mempertemukan
dirinya dengan laki-laki itu, waktu yang pada akhirnya menimbulkan
kesalahpahaman dan waktu yang membuat semuanya terluka. Dirinya, Rio dan juga
Shilla. Ify tidak mungkin bisa terlepas dari peranan Shilla, Rio dan termasuk
Sivia yang belum mengetahui kejadian ini.
“Fy.” Rio menepuk pundak Ify,
kemudian mencengkeram kuat bahu perempuan itu. Saat ini ia hanya berusaha
menguatkan perempuan itu, meski air mata tanda kelemahannya sudah meleleh
membanjiri kedua pipinya. Tapi kenyataan itu sulit diterima, kenyataan itu
sudah terjadi dan membunuhnya.
“Maaf, Rio. Seharusnya aku tidak
pernah memiliki perasaan yang sama seperti Shilla, perasaan yang tertuju khusus
untukmu. Aku memang salah.”
“Gak, Fy. Lo gak salah, gue yang
salah. Kenapa gue gak tahu dari awal kalau Shilla suka sama gue, dengan seperti
itu gue bisa membuat Shilla lebih mengerti kalo gue lebih membutuhkan elo
daripada dia. Tapi gue nyesel, kenapa harus tahu sekarang. Gue bener-bener
nyesel.” Kejujuran terungkap dari dasar hati Rio, meski begitu penyesalan masih
terasa lengket dengan suasana hatinya saat ini.
Hati Ify benar-benar terhenyak,
rasanya sangat sulit untuk menerima kenyataan baru ini. Dan kenyataan ini tidak
akan pernah bisa mengembalikan keutuhan yang lalu sepertinya. Mungkin harus ada
salah satu di antara mereka yang harus pergi dari kehidupannya, entah Rio
ataupun Shilla. Tetapi, Ify lebih memilih Shilla untuk tetap bersamanya,
sementara Rio terlepas dari kehidupannya.
“Aku harus pergi, maaf.”
Tanpa memberikan kesempatan lagi
untuk Rio berkata-kata, secepat kilat Ify meninggalkan Rio tanpa ada niatan
untuk menoleh sekali lagi ke belakang, menikmati tatapan yang terakhir kalinya
di atas luka yang saat ini menderu. Ini adalah awal tanda langkah yang baru,
yang menyesakkan dan melukainya secara perlahan. Aku membencimu, hidup.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar