Rabu, 26 Maret 2014

Good Bye! -Because Of You- [2/2]

            Berartinya kehidupan, tidak semestinya memberi makna lebih dalam kesehariannya. Bermaknanya sebuah perasaan, tidak semestinya menghadirkan luka dengan bercak-bercak serpihan yang tergores kepedihan. Bukan hal biasa ketika sebuah perasaan tersaingi tanpa sepengetahuan, sementara kekalahan terasa menekan perasaan itu. Semakin mendesak, semakin memenuhi rongga pernafasan, menghadirkan sebuah kesesakan dan benar-benar menghadirkan kepedihan.

            Bukan salah perasaan yang tiba-tiba datang, bukan salah dirinya yang kemudian membesar-besarkan perasaan itu, bukan salah laki-laki itu yang membuat tatapannya menembus garis khayalnya menembus batas mimpi, dan bukan juga sahabatnya yang juga memiliki perasaan yang berbeda. Tetapi takdir-Nya, lebih perih dan menusuk lewat celah-celah jiwa. Semakin perasaan itu di depan, kecamuk rindu semakin bergairah.

            Saat itu, hanya tangisan yang mampu menemani. Waktu seolah mengkhianati perjanjian itu, terlebih karena takdir-Nya yang kemudian menyisihkan posisi yang berbeda di antara garis takdir yang lainnya. Perpaduan rasa itu masih klise, tetapi masih menimbulkan konflik batin yang dalam. Perih bersama kesulitan terangkai lewat lapisan air mata yang berbeda atmosfer, panas dan menyesakkan.

            “Shilla,” Ify memberanikan diri menyapanya, meski kejadian beberapa jam yang lalu masih melekat kuat dalam pikiran Shilla. Tanpa pikir panjang, Ify langsung menyamakan posisinya seperti Shilla, duduk di samping Shilla tanpa alas apapun. “Kita masih sahabat kan?” Tanyanya dengan nada bergetar.

            Sementara Shilla yang masih terlarut dalam pikirannya belum bisa menjelaskan secara rinci tentang bagaimana keadaannya saat ini, termasuk tentang kelangsungan sosial antara dirinya dan juga Ify, yang tergabung dalam kisah persahabatan. Rasanya, tidak pernah menginginkan ada kata perpisahan dalam persahabatan yang selama bertahun-tahun menyelimuti kehidupannya. Tetapi apa boleh buat ketika pengkhianatan mulai tumbuh menjadi benih-benih kekacauan?

            “Aku masih berharap, kita masih sahabatan. Iya, kan, Shil?” Ify kembali bertanya, setelah sebelumnya menghela nafas berat. Tangannya bergerak perlahan menyusuri punggung tangan kanan Shilla. Tangannya basah. Ify bisa memastikan bahwa tangan itu bekas sekaan air matanya. “Gak ada yang perlu kita tangisi, kok, Shil.”

            “Perasaan lo terlalu berbahaya bagi gue, Fy.” Lirihnya di sela-sela isakan tangisnya.

            Mendengarkan sahabatnya yang baru saja mengeluarkan kata-katanya, Ify tak langsung membalasnya dengan argument yang ada dalam pikirannya. Shilla memaknai ucapan itu pun bukan untuk sembarang hati, pikirnya. Menyadari hawa sesak masih dikelabuinya dari dasar hatinya, Ify tak terus terang menggigit bibir bawahnya menahan tangisnya yang sebentar lagi pecah.

            “Kita terjebak dalam perasaan yang sama, tetapi memiliki kesalahan yang besar.”

            Shilla mampu memaknai ucapan sederhana itu, sesederhana cara Ify mengkhianati dirinya. Saat ini pikirannya belum bisa memastikan tentang penyebab Ify bertekad untuk mengkhianati dirinya dengan mudah, lalu merebut Rio secara mudah, dan melukai perasaannya dengan terampil. Tetapi saat ini Shilla masih belum bertekad untuk menjauhi Ify.

            “Mungkin kalau Via ada bersama kita, lo gak akan pernah berani mengkhianati gue bahkan sampai melukai perasaan gue diam-diam. Tahu kayak gini, Via gak bakal nganggap lo sahabatnya lagi, mungkin gue juga.” Ucap Shilla dengan tenang, tangisnya berhenti untuk beberapa saat.

            Ify menganga tak percaya saat sebuah firasat buruk memenuhi ruang pikirnya. Siasat apa yang akan digunakan sahabatnya itu? “Shil, ini gak masuk akal. Kamu menyadari kalau aku masih sahabatmu, kan? Aku juga seperti itu. Tapi tolong jangan gunakan siasat buruk untuk memenangkan egomu, sampai akhirnya aku yang harus terluka disini.”

            “Kalau begitu, kita akan imbang. Suatu saat nanti lo bakal ngerasain bagaimana sakit yang saat ini gue rasa dan gue akan dengan mudah merasakan kebahagiaan bersama orang yang udah gue pilih.” Shilla tersenyum penuh kemenangan, niat curangnya mulai bergelayutan dalam pikirannya.

            Mengapa keadaannya harus sedemikian rupa? Takdir ini terlalu indah untuk dilupakan, tetapi terlalu sakit untuk dipertahankan. Ya, takdir tentang perasaan itu menjebaknya secara perlahan dalam lubang kehancuran, kemudian mempertahankan posisinya pada keadaan sulit. Sebuah dilema besar ketika hidup ditempatkan pada dua pilihan; persahabatan dan perasaan itu.

            Dengan memejamkan mata sejenak, Ify rasa semua akan berlalu dengan cepat. Kemudian dibukanya perlahan, namun rasa sakit yang juga memberontak dalam dadanya semakin memperkuat kenyataan. Kenyataan inilah yang membuatnya sulit untuk beradaptasi, menyeleksi satu rasa yang positif dan mengoptimalkan laju kehidupannya untuk saat ini, esok dan ke depannya.

            “Jangan pernah mengatakan bahwa kamu akan melaporkan ini kepada Via.” Ucap Ify dengan penuh kekhawatiran. Wajahnya berubah lebih murung daripada sebelumnya, hal itu jelas terlihat sejak Ify memikirkan tentang apa yang telah diucapakannya baru saja. “Jangan pernah, Shil.”

            Shilla mengerti, dengan cepat tanggap kesadarannya terkontrol. Perempuan itu membutuhkan jati dirinya untuk menyesuaikan kondisi saat ini. Perempuan itu tidak layak merasakan hal setimpal, tetapi mengingat keperihan yang semakin mendalam itu rasanya tidak mudah untuk diikhlaskan berlalu begitu saja.

            “Aku akan mengatakan kepada Rio tentang hal ini, aku akan menyerahkan Rio untukmu karena yang aku tahu hanyalah kamu, sahabatku, yang memiliki perasaan lebih terhadap laki-laki itu. Tetapi aku, hanya sekedar perasaan kagum.” Ify tersenyum tipis, tangannya bergerak mengusap pelan bahu sahabatnya.

            Maafkan aku, Fy, mungkin di antara kita harus ada yang mendalami perasaan masing-masing. Tetapi, dibalik perasaan itu juga kita akan mengenal luka dan keperihan. Semua terkuak ketika perasaan mulai berevolusi lewat ucapan. Shilla terpekur untuk beberapa saat, lamunan panjangnya masih bergelayut manja menembus waktu. Tanpa kenal keadaan dan juga ekspresi Ify yang kemudian berubah total.

            Suatu saat nanti kembalilah, sendirian sosok perempuan itu berjalan di bawah senja. Menapaki langkah sepi di antara ribuan jarum yang menancap di permukaan hidupnya. Senyuman tak lepas dari wajahnya, menghias keperihan yang saat ini bergelora dalam jiwanya. Perlahan, berjalan melawan arah dan semakin jauh.

            “Jangan pergi, Fy!” Shilla berteriak cepat.

            “Aku disini,” Ify tersenyum pahit ketika melafalkan kata itu, antara persahabatan dan perasaannya itu tidak mungkin bisa diseimbangkan. Pasti ada salah satu yang lebih dari dua unsur itu.

            Menyadari keberadaan Ify yang masih duduk di sampingnya, Shilla menyadari bahwa seseorang yang tengah berjalan di bawah senja itu hanyalah lamunannya saja yang menembus pikiran panjangnya.

            “Kamu ingin Rio mengerti dan ada di samping kamu, kan? Aku akan bisa membuat Rio seperti itu.” Ify tersenyum simpul melihat Shilla yang mengangguk antusias sembari tersenyum dengan ceria. Air matanya mulai mengering seiring dengan benih-benih kebahagiaan yang mulai terwakili raut wajahnya.

***

            “Aku harap kamu mengerti keadaan aku saat ini, seenggaknya kamu bisa menjadi pusat kebahagiaan sahabatku, Yo. Menjadi perisai hidupnya yang terlalu berliku, dan menjadikan perasaan yang dimilikinya menjadi sandaran kebahagiaan untuknya.” Ify melafalkan permintaannya secara langsung.

            Siang itu, hanya ada dirinya dan juga Rio yang duduk di bangku taman. Merasakan angin yang mulai menyapu lembut wajahnya, sebagian rambutnya mengikuti irama laju kelembutannya. Sementara perasaan itu masih berdesir hebat, menimbulkan konflik batin yang meresahkan.

            Dalam pikiran Rio, semua yang diucapkan Ify termasuk permintaan itu bukan murni keinginan Ify. Itu hanyalah sejenis alasan untuk mempertahankan persahabatannya dan juga menyeimbangkan antara keinginannya dengan keinginan sahabatnya yang semestinya diutamakan.

            “Jangan terlalu terpengaruh keegoisan orang lain, Fy. Seorang sahabat pun kadang menjadi musuh terbesar kita, musuh yang menjadi penaruh keirian, musuh besar yang selalu merenggut waktu yang semestinya dihiasi kebahagiaan setiap waktunya.” Rio berargumen, mencoba meluruskan niatan Ify yang menurutnya setengah gila itu.

            Rio memang benar, justru Ify telah terpengaruh oleh keegoisan yang dimiliki Shilla. Tetapi meski begitu, Ify harus mengutamakan kebahagiaan Shilla.

            “Membahagiakan orang lain, termasuk sahabat yang kita junjung tinggi itu memang perlu. Tetapi membahagiakan diri sendiri jauh lebih penting.” Rio menghela nafas perlahan. “Karena itu, jangan berusaha sekeras mungkin membahagiakan orang lain jika pada akhirnya kita sendiri belum bisa merasakan sisa kebahagiaan itu secuil pun.”

            “Kamu benar. Tapi, Yo, aku mohon. Untuk kali ini saja, bahagiakan Shilla. Aku tidak mungkin menjadi pengkhianat besar dalam kehidupannya.” Ify menggenggam kuat tangan Rio, seolah meminta sebuah pengabulan yang nyata.

            Keinginan itu seharusnya tidak pernah ada, karena prinsipnya keinginan itu juga akan menyisihkan luka suatu saat nanti; saat kebahagiaan berpihak dalam keinginannya, sementara luka menyelimuti dirinya sendiri lewat tatapannya.

            “Aku akan memenuhi itu demi kamu, Fy. Ingat demi kamu, bukan karena dia.” Ucap Rio. Pikirannya masih diganggu oleh kebimbangan tak berkeseimbangan, antara ingin meneruskan perasaan itu dengan merelakan melepaskan keinginannya.

            Ify tersenyum untuk beberapa saat. Sebuah senyuman yang terlihat sederhana, terukir tipis dari bibirnya. “Thanks.” Rio mengangguk, kemudian Ify segera meninggalkan taman dengan genangan air matanya yang membuat pandangannya kabur. Untungnya, Ify bisa menyeka air mata itu sebelum membashi kedua pipinya.

***

            Malam itu seolah menjadi puncak kebahagiaan dan kesenangan untuk beberapa siswa yang beberapa saat lalu tenggelam dalam butiran soal yang sulit untuk dipecahkan, meski sebagian lagi bisa dijawabnya. Kegiatan yang rutin dilaksanakan tiap tahun itu tidak mungkin bisa dihilangkan untuk satu tahun saja.

            Sepasang kekasih masih menampilkan talentanya masing-masing, sebuah duet yang akan menjadi penutup kebahagiaan mereka pada masa SMA. Mungkin saja, tetapi lebih menyesakkan lagi bagi seseorang yang hanya bisa tersenyum dalam diam, namun jauh di dalam hatinya kesakitan itu meresap ke dasar hatinya.

            Keikhlasan sudah diberikannya, bahkan hanya untuk merelakan perasaan itu lepas pun saat itu sulit. Namun Ify sadar, kebahagiaan itu sudah semestinya milik mereka berdua meski terkadang tatapan Rio terlihat berbeda ketika bersama Shilla daripada saat-saat bersama dirinya. Terkadang ada waktu sempit yang bisa digunakan Ify hanya untuk sekedar menyapa, atau waktu sempit Rio yang digunakan untuk mengobrol pendek.

            Dengan langkah pelan, Ify tersenyum lirih. Sejurus kemudian, ia sudah melangkahkan kakinya menuju panggung. Tanpa meminta untuk menyanyikan sebuah lagu malam itu pun, Ify sudah membulatkan niatnya. Untuk saat ini, biarkan sejenak asa terputuskan karena hal itu. Hanya karena sebuah perasaan yang awalnya terjamah, namun pada akhirnya jatuh. Lagi-lagi tergeser dari arah kebahagiaan.

            Ify menatap deretan kursi penonton, sekilas kemudian tatapannya lelah. Peluh dingin saat itu mulai bersimbah di antara pelipis, sebagian lagi menembus alis tipisnya. Itu bukan peluh kegugupan, melainkan sebuah peluh yang keluar karena perasaan itu. Perasaan gugup di antara kebimbangan, apa yang harus dinyanyikannya saat ini? Tak mungkin Ify menyanyikan lagu yang mellow, karena Shilla dan Rio akan mengetahui alasan itu.

***

            Hari kelulusan tiba. Mungkin sebagian dari mereka merasa bahwa takdir semakin mendekat, bagaimanapun langkah itu mengiringi laju kehidupan. Sebagian lagi ada yang tidak mengikhlaskan takdir itu, takdir yang terasa begitu cepat. Namun, di satu sisi perpisahan memang selalu ada jika pertemuan itu ada.

            Saat itu, semua orang sedang mengerumuni papan mading yang memajang nama-nama peserta. Tentu saja peserta yang mengikuti ujian nasional beberapa waktu lalu. Akan terasa menyenangkan jika hasil yang diperoleh dari sebuah usaha yang dikerjakan secara susah payah, berakhir dengan yang maksimal. Tentu, siapa sangka usaha keras itu akan mengkhianati?

            “Lo lulus, Yo?” Tanya Shilla dengan nada riang, senyuman manisnya tak pernah lepas menghias wajahnya saat itu, menyaksikan namanya yang terpajang di depan mading dengan cap lulus 100%. Mungkin, sebuah kebahagiaan tersendiri untuk dirinya.

            Rio yang menatap Shilla seriang itu awalnya hanya terpaku, sejurus kemudian pikirannya terusik oleh nama itu. “Ify gimana? Lulus juga?” Tanyanya ringan, sambil perlahan mengarahkan kedua bola matanya melirik kecil ke arah mading. Tatapannya bergerilya mencari nama itu.

            Lagi-lagi nama itu. Sudah menjadi hal yang biasa bagi Shilla, mempersiapkan kesabarannya di depan laki-laki itu, meski pada kenyataannya Ify sudah terlihat tak lagi mengagumi sosok Rio. Bahkan akhir-akhir ini, Ify terlihat menjauh dari Shilla. Mungkin dari Rio juga. Meski begitu, Shilla mengerti, Ify menjauhinya dengan alasan agar dirinya mampu menenteng sebuah kebahagiaan yang semestinya sudah menjadi miliknya.

            “Lo lulus kan, Yo?” Tanya Shilla, sementara kedua bola matanya masih menatap penuh sebuah kertas putih yang tergores nama-nama peserta ujian. “Yes. Lo lulus, Yo. Kita lulus, Yo!” Shilla berseru dengan itonasi riang. Senyuman saat itu tak luput dari wajahnya, terus membenahi wajahnya.

            Mendengar ucapan Shilla, Rio hanya meneguk salivanya. “Coba lo cari nama Ify, ada gak?” Perintahnya, tanpa sedikitpun menoleh ke arah Shilla.

            Mendadak raut wajah perempuan itu berubah seratus delapan buluh derajat. Digigitnya kuat-kuat bibir bawahnya, berusaha kuat untuk menahan air matanya. Bukankah yang saat ini menjadi kekasih laki-laki itu hanya dirinya? Tetapi mengapa nama itu selalu saja menjadi bahan pertanyaannya? Apa kebahagiaan yang selama ini dirasakannya kurang bermakna?

            “Yo, harus berapa kali gue sabar? Bahkan yang gue tahu itu, cuma ada Ify yang selalu ada di pikiran lo. Kapan lo mikirin gue, Yo? Mungkin lo harus tahu, Ify udah jauh dari kita. Lo gak menyadari semua itu, kan? Tapi, coba lo rasakan.” Lirih Shilla, bibir bawahnya masih digigitnya dengan kuat.

            Merasa sebuah ucapan lirih memenuhi ruang pendengarannya, Rio terpaku untuk beberapa saat. Aktivitasnya terhenti. Beberapa detik selanjutnya tatapannya mengarah penuh kepada Shilla yang juga sedang menatapnya dengan tatapan sendu. Perkataan Shilla ada benarnya, tetapi untuk ke berapa kalinya Rio mencoba menjelaskan jika pada akhirnya Shilla lebih mementingkan egonya?

            Bukan hal yang biasa bagi laki-laki itu untuk mencoba menenggelamkan pikiran perempuan itu ke dalam keinginannya, memenuhi apa yang selama ini diharapkan dengan penuh keikhlasan dan ini bukan berarti Rio ingin lari dari tanggung jawabnya.

            “Shil, lo dengerin gue dulu.” Rio mengambil jeda untuk beberapa saat, dipandanginya wajah Shilla yang mulai berubah dengan raut penuh keseriusan. “Selama ini gue juga udah cukup sabar, dan harus berapa kali gue sabar nunggu lo ngertiin perasaan gue? Lo mungkin sudah tahu, gue gak pernah mencintai lo. Gue jadian sama lo cuma buat memenuhi keinginan Ify, karena itu yang menjadi alasan kebahagiaan buat dia. Dan lo juga kapan mikirin apa yang selalu ada di pikiran gue? Kapan lo memenuhi keinginan gue? Mungkin lo juga harus tahu, batin lo dan gue itu jauh jaraknya.”

            Hatinya terasa mencelos, saat ini Shilla hanya bisa menunduk. Tetesan bening itu mulai meliputi kedua pipinya, menghias perasaan dukanya. Ada saatnya dimana semua harus berhenti untuk sesaat, kemudian luka menyusulnya dengan tajam dan saat itu hanya ada tangisan yang mampu meluapkan apa yang bersandar dalam hati; segala kata-kata yang tidak mungkin bisa melengang bebas di udara.

            “Mungkin salah satu di antara kita pernah menyadari bahwa cinta ukuran kebahagiaan, tetapi kenyataannya bukan begitu.” Rio menarik nafas pelan. “Cinta hanya pemenuh kebutuhan, dimana kita bisa belajar lebih dewasa lagi dalam menyikapi hal tentang perasaan dan keseriusan.”

            Butiran bening itu semakin memperih keadaan. Ini adalah saat pelepasan seragam abu-abu baginya dan juga teman-teman seangkatannya, saat ini juga Shilla berusaha keras untuk mencari keikhlasan diri, meski ketidakrelaannya masih menggelantungkan tekadnya untuk lebih memilih bertahan.

            “Tapi lo lebih mikirin mana antara gue dan Ify? Gue selalu berusaha mencintai lo, menyayangi lo di saat-saat lo butuh kepedulian. Sementara, Ify gak pernah deket lagi kan bareng kita? Bahkan buat perduliin lo aja, kayaknya udah gak bakal bisa lagi, Yo.” Ucap Shilla dengan keras.

            Menyadari bahwa orang-orang di sekitarnya menaruh perhatian kepadanya dan juga Shilla, tak urung Rio langsung mencekal kuat lengan Shilla kemudian menariknya dengan kuat. Rio mulai berjalan dengan cepat tanpa mengindahkan Shilla yang terus mengoceh, sementara Rio sendiri pun merasakan aksi berontak Shilla yang mencoba melepaskan tangannya dari cekalannya.

            “Hai Yo, Shil, kalian lulus juga, kan?” Tanya Sivia ketika menemui keduanya secara kebetulan. Tetapi ada yang berbeda dari raut wajahnya, tampak kesedihan yang mendalam disana. “Shil, lo kenapa nangis?”

            Rio mengalihkan tatapannya ke arah Shilla, kemudian tersenyum tipis ke arah Shilla. “Ify mana, Vi? Kok gak sama lo?”

            Shilla yang berusaha mengeringkan air matanya hanya tersenyum tipis merasakan kesabarannya yang semakin hambar dalam menghadapi sikap laki-laki itu. “Kita lulus kok, Vi. Kita berdua lulus dan selamat dari ketertinggalan. Gue nangis cuma sedih aja, karena gue dan Rio bakal pisah. Kita gak bakalan satu study lagi bareng dia. Kita lebih memilih universitas yang berbeda.”

            Tetapi, bukan meyakini, Sivia merasa ada yang aneh dari gelagat Shilla yang tak seperti biasanya itu. Pikirannya masih mencoba menenggelamkan hal itu, menyembunyikan sesuatu hal besar yang tak seharusnya diketahui oleh siapapun. Cukup hanya dirinya yang menyimpannya rapi di ruang memorinya.

            “Ify dimana, Vi? Jawab gue!” Desak Rio, kemudian melepaskan tangan Shilla dari cekalannya. Sedetik kemudian, tangannya menggoyangkan bahu tegap milik Via. Tetapi perempuan itu hanya diam sembari menundukkan kepalanya dalam-dalam.

            “Lo kenapa nangis, sih, Shil? Gak usah ikut-ikutan!” Ucapnya kasar ketika mendengar isakan tangis Shilla di belakangnya, terlebih isakan itu mengganggu pendengarannya. Baginya, tangis itu hanyalah sebuah tangis seorang perempuan cengeng. Terlalu berlebihan!

            Ini saatnya dimana semuanya harus meluap begitu saja, ini saatnya dimana Shilla harus mengutarakan perasaan sakitnya selama ini dan ini adalah saat yang tepat karena perpisahan sudah menyisakan bayangannya. Terlebih kenyataan sudah mulai dirasa, tak lagi ada yang menjadi dinding pembatas antara waktu dan takdir itu. Semuanya sudah terasa mengalir.

            “Gue gak nangis, gue cuma ngeganti rasa sakit ini dengan air mata! Lo gak pernah tahu kan gimana rasa sakit gue? Ini rasa sakit gue yang nyata, dengan isakan gue yang kuat ini mampu mewakili dalamnya keperihan yang gue rasa.” Shilla meras tertekan, ucapannya tak lagi terhias dengan kelembutan, seperti yang selama ini dilakukannya di depan laki-laki itu.

            “Rio,” Sivia mengangkat kepalanya, meski wajahnya masih terlihat murung sesekali. Namun senyum tipis masih terlihat jelas. “Ify gak bakal ada lagi bareng kita. Dan yang bakal ngambil surat kelulusan dia itu pamannya.”

            Saat itu, hanya kerja otaknya yang mengisi waktu kekosongan itu. Berusaha mencerna kata-kata yang sedikit mengiris perasaannya, bahkan tak heran jiwanya merasa hampa mendengar berita itu. Seolah kabar itu sebuah berita kepiluan, meski pikirannya belum bisa mencernanya secara menyeluruh.

            “Ify,… pergi?” Tanya Rio dengan suara memelan.

            Awalnya Via hanya menatap lama wajah Rio dan juga Shilla yang di belakangnya, raut wajah keduanya berbeda. Tetapi beberapa saat kemudian, Via mengangguk. “Dia bakal meninggalkan negeri ini, dia bakal menetap di Amsterdam untuk selamanya. Dulu mamanya selalu meminta dia buat menyetujui permintaan mamanya, tetapi Ify selalu menundanya. Dan anehnya lagi, kemarin dia minta agar jadwalnya dipercepat.”

            Bagai hantaman petir yang sangat kuat, beberapa saat kemudian tatapan Rio melemah. Terlukis disana sebuah keputusasaan. Detik berikutnya, Rio merasa dirinya benar-benar telah rapuh.

            “Kenapa lo baru ngabarin sekarang?” Tanyanya dengan kasar.

            “Gue disuruh Ify buat nyimpen rahasia ini, dan harusnya gue gak pernah bilang soal ini sama kalian. Tapi karena gue gak rela lihat lo yang terus ngedesak dari tadi, gue ngasih tahu. Ify bilang, dia gak mau lo dan Shilla tahu perihal ini, karena dia gak mau kalian sakit saat nerima kenyataan ini.” Ucap Via, air matanya mulai membasahi kedua pipinya, membentuk patahan-patahan kecil tak berirama.

            Ini sebuah kesalahan besar, yang Rio rasa justru ini bukan sebuah kebaikan untuk Ify sendiri, melainkan sebuah luka yang mengendap. “Lo salah, Fy!” Geram Rio seraya mengepalkan kedua tangannya, tatapannya lurus ke depan.

            “Justru ini buat kebaikan lo dan juga Shilla.” Ucap Via dengan enteng, air matanya terlihat tak berirama, tetapi kesedihannya jelas terasa nyata.

            Disaat penyesalan menjadi bagian dari sebuah takdir, apa kebahagiaan itu akan menghiasnya dengan segenap senyuman? Bukankah penyesalan itu adalah sebuah janji tak tertulis dari sebuah takdir? Penyesalan itu takkan pernah berposisi di awal cerita, tak akan pernah keindahan setelahnya jika penyesalan ada dalam posisi awal.

            “Ini motivasi buat lo, agar lo lebih menjaga Shilla dan menghargai perasaan yang dia miliki sebelum akhirnya Shilla ninggalin lo dan lo akan menyesal untuk yang kedua kalinya. Pertahankan cinta lo.” Via tersenyum pelan, kedua jari-jari tangannya mulai bergerak menyeka air matanya.

            “Kapan jadwal pemberangkatan dia?” Tanya Rio tanpa mengindahkan Shilla yang menyisihkan seulas senyum tipis ketika mendengar ucapan motivasi dari Via.

            Via mengangkat bahu. “Gue gak tahu, tapi tadi gue lihat dia dan keluarganya lagi prepare sekitar setengah jam yang lalu.”

            Tanpa menunggu perintah dari pemiliknya, kedua bola mata Rio mengarah kepada jam tangannya. Waktu sudah menunjukkan suasana tengah hari, sesuai dengan arah jarum jam pada jam tangannya. Tanpa menghiraukan Via dan juga Shilla, Rio langsung berlari meninggalkan areal sekolah.

            “Lo kenapa, Shil?” Tanya Via sesaat setelah meyakinkan dirinya, Rio tak akan pernah memunculkan dirinya di hadapannya saat itu.

            Shilla hanya tersenyum tipis. “Gapapa.”

***

            Biarkan aku merasakan sebuah keretakan dalam kenangan itu, kenangan yang dimulai dengan kebahagiaan yang terhias senyuman. Menyadari bahwa kenangan itu adalah milik kita berdua seutuhnya. Biarkan aku menatapnya lirih. Mungkin perasaan ini adalah sebuah akhir muara dari langkah yang pernah kutempuh, dari arah yang pernah kutapaki dan dari anugerah yang pernah ada dalam hidup ini. Aku, seorang perempuan, tak lain hanyalah seonggok sampah yang tak pernah dianggapnya berharga. Dan biarkan desiran sesak ini semakin memperkuat keperihan ini.

            “Hei, ayo! Katanya pengen cepat-cepat berangkat. Tapi kok malah melamun?”

            Waktu memang benar, ini adalah saat yang tepat untuk ukuran perempuan sepertinya berlalu dari rasa sakit itu, perasaan itu, kisah-kisah itu dan waktu-waktu yang pernah merekam indah segala yang terjadi di antara kepingan beberapa kejadian ke belakang. Ify sudah tidak bisa lagi memprotesnya, ini adalah permintaannya.

            Entah untuk yang ke berapa kalinya tatapan itu menunjuk ke arah pintu lobi. Masih sama seperti sebelumnya. Dua orang penjaga yang masih tenggelam dalam kesibukannya masing-masing.

            Perempuan paruh baya yang tertangkap kedua bola matanya masih mengecek barang-barang yang dibawanya. Tangannya menenteng sebuah koper besar yang siap mengemasi pakaian yang dibawanya.

            “Sudah siap kan, Fy?” Tanyanya lagi. Tak lain perempuan paruh baya itu adalah mamanya sendiri. Tangannya masih menyodorkan sebuah tas besar, dengan malas Ify menerimanya. Sebuah tas yang penuh isi, Ify sendiri tidak tahu apa yang mengisi penuh tas besar itu, sampai-sampai memberatkan bebannya sendiri.

            Sejak awal pun, Ify enggan meninggalkan tanah kelahirannya. Apalagi alasan yang cukup akal, ia masih ingin menikmati hidupnya hanya untuk melihat sosok laki-laki itu meski dari jauh.  Tetapi waktu sudah terlambat, ini tak bisa ditunda lagi. Ini adalah detik-detik terakhir langkahnya menapaki tanah kelahirannya, detik-detik terakhir dirinya menikmati keindahan yang ada di sekitarnya.

            “Hati-hati, Fy. Tasnya digendong dong!” Mamanya melangkah lebih dulu, tanpa menyadari dirinya yang masih terpaku dalam diamnya. Keheningan tengah mengisi hatinya, sementara pikirannya sibuk melayang kepada objek yang menjadi pusat pikirannya saat itu.

            Untuk yang terakhir kalinya, Ify memandangi pintu lobi, berharap seorang laki-laki bertekad keras untuk masih –memperdebatkan sesuatu yang tidak terlalu penting dengan penjaga yang berada disana. Tetapi matanya tak melihat satu pun objek yang berada disana, bahkan pikirannya bisa menduga bahwa dia tidak akan pernah memperdulikan kepergiannya. Saat ini tak ada lagi yang diharapkannya, kecuali melihat sosok laki-laki itu dengan wajah kesedihannya. Tapi, semua terasa absurd.

            Ify mulai melangkahkan kakinya, sebelum pada akhirnya mamanya kembali hanya untuk mengomelinya. Bahkan ia tidak menyadari mamanya yang sudah melangkah jauh darinya, hanya terpaut dalam hitungan meter. Dengan tatapan lurus ke depan, langkahnya mulai menapaki bandara itu, setelah sebelumnya mengecek sekitaran tempat duduknya tadi.

            Langkahnya terasa berat, seolah beban-beban dalam pikirannya menghalangi laju langkahnya. Perlahan kepalanya menunduk, mulai pasrah dengan situasi yang menyesakkan ini. Sebuah beban berat yang memenuhi punggungnya masih jelas terasa, kemalasannya semakin menjadi-jadi. Rasanya ingin sekali dilepaskannya tas besar itu, kemudian melemparkannya ke sembarang arah. Tapi, Ify sadar diri, tidak layak untuk seorang perempuan seusianya melakukan hal-hal konyol itu.

            “Ify.” Teriak seseorang dengan nada yang cukup samar, tetapi Ify bisa memastikan bahwa itu bukanlah orang yang diharapkannya hadir saat ini. Melainkan suara perempuan. Awalnya Ify mengira itu suara mamanya yang sudah semakin jauh dari langkahnya, tetapi sejurus kemudian Ify menyadarinya. Bukan.

            Suara itu lagi-lagi terngiang di telinganya. Ify menoleh cepat. Belum sempat tatapannya memandang secara menyeluruh, sebuah tangan melingkari tubuhnya dengan kuat. Pelukan itu terasa hangat, dihiasi oleh sebuah tangisan yang semakin keras, sesuai dengan selera hatinya. Sementara itu, Ify hanya membalas pelukan itu dengan pelan, tubuhnya masih terdiam kaku.

            Di tengah-tengah kebimbangan itu, matanya menatap lekat seorang laki-laki yang sedang berjalan ke arahnya, masih dari kejauhan. Di sampingnya terlihat seorang perempuan dengan rambut sebahu tengah mengedarkan pandangannya ke segala arah.

            Tiba-tiba Ify melepaskan pelukannya, berusaha keras untuk segera meninggalkan bandara itu sebelum akhirnya tatapan laki-laki itu menangkap dirinya yang terlihat rapuh. Tetapi sebuah cekalan tangan yang sangat kuat membuat Ify tidak bisa memaksakan kehendaknya. Ify berharap saat itu juga waktu mulai berhenti berputar.

            “Kenapa, Shil? Apalagi yang akan kamu rebut dariku?” Tanyaku dengan lancang, tanpa menghiraukan permukaan wajahnya yang mulai berganti raut. Sementara matanya terlihat merah, sedikit membengkak.

            Shilla menggeleng lemah. “Jangan terburu-buru, beri sedikit waktu untuk gue dan juga Rio memanfaatkan situasi ini, menikmatinya di saat-saat yang rumit seperti ini.” Ucapnya dengan pelan.

Demi merengkuh kebersamaan yang tak berlangsung lama, Ify hanya pasrah. Pikirannya hanya bisa memastikan, waktu akan kembali mempertemukan dirinya dengan dunia yang baru. Tanpa ada rasa sakit itu, yang sebelumnya menusuknya hingga terjatuh di sembarang arah. Sangat menyakitkan.

            “Gimana kabar lo, Fy? Kita masih sahabatan, kan? Gue masih belum bisa nerima kenyataan ini, lo pergi secepat ini. Sementara kita disini, termasuk teman-teman lo gak pernah tahu tentang lo, bahkan kepergian lo saat ini.” Ucap Shilla, berusaha mengisi keheningan.

            “Aku akan selalu ada, aku akan selalu hidup, meski kenyataannya aku tak lagi ada dalam hatinya.” Ucapnya dengan lirih. “Oh ya, bagaimana hubunganmu dengan laki-laki itu?” Tanyanya sekedar mengalihkan pembicaraan, nada bicaranya dibuat seriang mungkin hanya untuk menutupi kecanggungannya.

            Semua orang yang berlalu lalang di bandara itu akan menatap heran ke arah keduanya, yang hanya menyisakan air mata tak bermakna bagi mereka. Beda dengan keduanya yang menganggap air mata itu sebuah tanda yang memilukan, sesuatu yang menjadi penyesak keadaan.

            “Gue dan dia pernah ngelakuin sesuatu yang gak seharusnya diperbuat, sesuatu yang seharusnya gak pernah terjadi. Bahkan saat itu, gue gak menyadari kenapa hal itu bisa terjadi. Dia terlalu bernafsu.” Ucap Shilla, menyesali apa yang telah terjadi dengan dirinya. Sesuatu yang tak seharusnya pernah tercatat dalam hidupnya.

            Untuk ke berapa kalinya lagi aku harus merasakan sakit seperti ini? Perih! Demi apapun, ini sangat menyesakkan! Ify membekap mulutnya tak percaya, air mata jatuh di pipinya. Inilah saatnya untuk perempuan seukurannya menerima takdir yang membunuh, diam-diam melukainya secara perlahan, tapi menorehkan luka yang sangat dalam.

            “Tapi gue gak bisa maksain kehendak gue buat nyingkirin sesuatu yang baru dalam hidup gue dan dia, gue gak mungkin menyangkal dari takdir Tuhan yang sudah semestinya ada buat kita.” Shilla menatap Ify, jari-jemarinya bergerak perlahan menyusuri wajah kusut itu; menyeka air mata yang membasahi pipinya. “Lo tetep kuat, kan?”

            “Ify,” Via langsung menubruk tubuh Ify dengan kasar, disusul dengan kedua tangannya yang melingkari tubuhnya. Tangisannya semakin cepat berlaju, menyisakan isakan yang keras. “Suatu saat nanti, lo bakal kembali kan?” Tanya Via seraya melepaskan pelukannya.

            Ify melemparkan tatapannya ke arah Rio untuk beberapa saat. Laki-laki itu hanya terdiam seribu bahasa, sementara kedua bola mata laki-laki itu sedang mengarah kepada dirinya. Segera dialihkannya tatapan itu, kemudian menatap Via dengan bingung. “Aku gak tahu, doakan ya. Yang aku tahu, aku gak akan kembali mengingat pekerjaan papa yang padat di negara itu.”

            “Fy,” Rio menatap sendu ke arah perempuan itu. “Lo yang kuat ya.” Begitulah katanya, tatapannya terlihat kosong, seiringan dengan hatinya yang mencari pelipur lara untuk hatinya.

Ify mengangguk cepat. “Iya, kamu juga harus kuat. Jaga Shilla dan sesuatu yang baru dalam hidup kalian, sesuatu yang melengkapi kebahagian kalian. Kapan-kapan aku akan kesini demi melihat dia.” Ucapnya seraya mengelus pelan perut Shilla.

“Maksud lo?” Tanya Rio tak mengerti.

            Ify menganga lebar. “Kenapa masih nanya, Yo? Kamu kan yang membuat perut Shilla berisi? Dia adalah pelengkap buat hubungan kamu dan dia. Jaga Shilla dan bayi ini juga ya. Jadilah ayah yang bertanggung jawab.” Sedikit dalam hatinya ada sesuatu yang mengganjal, seolah tidak mengikhlaskan kehadiran sosok baru dalam hubungan itu.

            “Aku harus pergi, karena aku harus meneruskan kemana aku meraih impianku. Kalian akan semakin tenang tanpa kehadiranku, bukankah selama ini kehadiranku mengganggu kalian?” Via hanya diam mendengarkan ocehan Ify, memberi peluang kepada Rio untuk menjawabnya.

            “Fy.” Rio memegang kuat tangan itu, namun Ify segera melepaskannya sambil menggeleng dengan penuh senyuman.

            Wajah perempuan itu sudah terlihat berkaca-kaca, sementara bibir bawahnya masih digigitnya dengan kuat untuk mengendalikan segala kemungkinan yang akan terjadi.

            “Janji ya buat ngejaga Shilla dan sosok kecil itu?”

            Rio masih terpekur dalam diamnya, dalam hatinya hanya terucap sebuah penolakan yang tak mungkin diungkapkannya dengan kata-kata. Jelas hal itu akan melukai dirinya, perempuan itu, termasuk Ify. Rio tersenyum dengan penuh keterpaksaan, lalu mengangguk lemah. Hanya sebuah penyesalan yang menyirami suasana saat itu, terlebih tangisan Rio yang tak kunjung datang. Demi mendapatkan simpati dari Ify.

            Beberapa menit kemudian, Ify memutar badannya. Disana mamanya sedang tersenyum ke arahnya, rupanya sedari tadi mamanya sedang menunggunya sambil memperhatikan gerak-geriknya dan juga sahabat-sahabatnya.

            Jaga Shilla, Yo. Mungkin dia berada tepat di takdir yang kamu miliki, sementara aku hanyalah seorang perempuan tak berarti, yang pada akhirnya pergi dari kehidupanmu setelah melabuhkan perasaannya kepadamu –juga–.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar