Berartinya kehidupan, tidak
semestinya memberi makna lebih dalam kesehariannya. Bermaknanya sebuah
perasaan, tidak semestinya menghadirkan luka dengan bercak-bercak serpihan yang
tergores kepedihan. Bukan hal biasa ketika sebuah perasaan tersaingi tanpa
sepengetahuan, sementara kekalahan terasa menekan perasaan itu. Semakin
mendesak, semakin memenuhi rongga pernafasan, menghadirkan sebuah kesesakan dan
benar-benar menghadirkan kepedihan.
Bukan salah perasaan yang tiba-tiba
datang, bukan salah dirinya yang kemudian membesar-besarkan perasaan itu, bukan
salah laki-laki itu yang membuat tatapannya menembus garis khayalnya menembus
batas mimpi, dan bukan juga sahabatnya yang juga memiliki perasaan yang
berbeda. Tetapi takdir-Nya, lebih perih dan menusuk lewat celah-celah jiwa.
Semakin perasaan itu di depan, kecamuk rindu semakin bergairah.
Saat itu, hanya tangisan yang mampu
menemani. Waktu seolah mengkhianati perjanjian itu, terlebih karena takdir-Nya
yang kemudian menyisihkan posisi yang berbeda di antara garis takdir yang
lainnya. Perpaduan rasa itu masih klise, tetapi masih menimbulkan konflik batin
yang dalam. Perih bersama kesulitan terangkai lewat lapisan air mata yang
berbeda atmosfer, panas dan menyesakkan.
“Shilla,” Ify memberanikan diri
menyapanya, meski kejadian beberapa jam yang lalu masih melekat kuat dalam
pikiran Shilla. Tanpa pikir panjang, Ify langsung menyamakan posisinya seperti
Shilla, duduk di samping Shilla tanpa alas apapun. “Kita masih sahabat kan?”
Tanyanya dengan nada bergetar.
Sementara Shilla yang masih terlarut
dalam pikirannya belum bisa menjelaskan secara rinci tentang bagaimana
keadaannya saat ini, termasuk tentang kelangsungan sosial antara dirinya dan
juga Ify, yang tergabung dalam kisah persahabatan. Rasanya, tidak pernah
menginginkan ada kata perpisahan dalam persahabatan yang selama bertahun-tahun
menyelimuti kehidupannya. Tetapi apa boleh buat ketika pengkhianatan mulai
tumbuh menjadi benih-benih kekacauan?
“Aku masih berharap, kita masih
sahabatan. Iya, kan, Shil?” Ify kembali bertanya, setelah sebelumnya menghela
nafas berat. Tangannya bergerak perlahan menyusuri punggung tangan kanan
Shilla. Tangannya basah. Ify bisa memastikan bahwa tangan itu bekas sekaan air
matanya. “Gak ada yang perlu kita tangisi, kok, Shil.”
“Perasaan lo terlalu berbahaya bagi
gue, Fy.” Lirihnya di sela-sela isakan tangisnya.
Mendengarkan sahabatnya yang baru
saja mengeluarkan kata-katanya, Ify tak langsung membalasnya dengan argument
yang ada dalam pikirannya. Shilla memaknai ucapan itu pun bukan untuk sembarang
hati, pikirnya. Menyadari hawa sesak masih dikelabuinya dari dasar hatinya, Ify
tak terus terang menggigit bibir bawahnya menahan tangisnya yang sebentar lagi
pecah.
“Kita terjebak dalam perasaan yang
sama, tetapi memiliki kesalahan yang besar.”
Shilla mampu memaknai ucapan
sederhana itu, sesederhana cara Ify mengkhianati dirinya. Saat ini pikirannya
belum bisa memastikan tentang penyebab Ify bertekad untuk mengkhianati dirinya
dengan mudah, lalu merebut Rio secara mudah, dan melukai perasaannya dengan
terampil. Tetapi saat ini Shilla masih belum bertekad untuk menjauhi Ify.
“Mungkin kalau Via ada bersama kita,
lo gak akan pernah berani mengkhianati gue bahkan sampai melukai perasaan gue
diam-diam. Tahu kayak gini, Via gak bakal nganggap lo sahabatnya lagi, mungkin
gue juga.” Ucap Shilla dengan tenang, tangisnya berhenti untuk beberapa saat.
Ify menganga tak percaya saat sebuah
firasat buruk memenuhi ruang pikirnya. Siasat apa yang akan digunakan
sahabatnya itu? “Shil, ini gak masuk akal. Kamu menyadari kalau aku masih
sahabatmu, kan? Aku juga seperti itu. Tapi tolong jangan gunakan siasat buruk
untuk memenangkan egomu, sampai akhirnya aku yang harus terluka disini.”
“Kalau begitu, kita akan imbang.
Suatu saat nanti lo bakal ngerasain bagaimana sakit yang saat ini gue rasa dan
gue akan dengan mudah merasakan kebahagiaan bersama orang yang udah gue pilih.”
Shilla tersenyum penuh kemenangan, niat curangnya mulai bergelayutan dalam
pikirannya.
Mengapa keadaannya harus sedemikian
rupa? Takdir ini terlalu indah untuk dilupakan, tetapi terlalu sakit untuk
dipertahankan. Ya, takdir tentang perasaan itu menjebaknya secara perlahan
dalam lubang kehancuran, kemudian mempertahankan posisinya pada keadaan sulit.
Sebuah dilema besar ketika hidup ditempatkan pada dua pilihan; persahabatan dan
perasaan itu.
Dengan memejamkan mata sejenak, Ify
rasa semua akan berlalu dengan cepat. Kemudian dibukanya perlahan, namun rasa
sakit yang juga memberontak dalam dadanya semakin memperkuat kenyataan.
Kenyataan inilah yang membuatnya sulit untuk beradaptasi, menyeleksi satu rasa
yang positif dan mengoptimalkan laju kehidupannya untuk saat ini, esok dan ke
depannya.
“Jangan pernah mengatakan bahwa kamu
akan melaporkan ini kepada Via.” Ucap Ify dengan penuh kekhawatiran. Wajahnya
berubah lebih murung daripada sebelumnya, hal itu jelas terlihat sejak Ify
memikirkan tentang apa yang telah diucapakannya baru saja. “Jangan pernah,
Shil.”
Shilla mengerti, dengan cepat
tanggap kesadarannya terkontrol. Perempuan itu membutuhkan jati dirinya untuk
menyesuaikan kondisi saat ini. Perempuan itu tidak layak merasakan hal
setimpal, tetapi mengingat keperihan yang semakin mendalam itu rasanya tidak
mudah untuk diikhlaskan berlalu begitu saja.
“Aku akan mengatakan kepada Rio
tentang hal ini, aku akan menyerahkan Rio untukmu karena yang aku tahu hanyalah
kamu, sahabatku, yang memiliki perasaan lebih terhadap laki-laki itu. Tetapi
aku, hanya sekedar perasaan kagum.” Ify tersenyum tipis, tangannya bergerak mengusap
pelan bahu sahabatnya.
Maafkan
aku, Fy, mungkin di antara kita harus ada yang mendalami perasaan
masing-masing. Tetapi, dibalik perasaan itu juga kita akan mengenal luka dan
keperihan. Semua terkuak ketika perasaan mulai berevolusi lewat ucapan. Shilla
terpekur untuk beberapa saat, lamunan panjangnya masih bergelayut manja
menembus waktu. Tanpa kenal keadaan dan juga ekspresi Ify yang kemudian berubah
total.
Suatu saat nanti kembalilah,
sendirian sosok perempuan itu berjalan di bawah senja. Menapaki langkah sepi di
antara ribuan jarum yang menancap di permukaan hidupnya. Senyuman tak lepas
dari wajahnya, menghias keperihan yang saat ini bergelora dalam jiwanya.
Perlahan, berjalan melawan arah dan semakin jauh.
“Jangan pergi, Fy!” Shilla berteriak
cepat.
“Aku disini,” Ify tersenyum pahit
ketika melafalkan kata itu, antara persahabatan dan perasaannya itu tidak
mungkin bisa diseimbangkan. Pasti ada salah satu yang lebih dari dua unsur itu.
Menyadari keberadaan Ify yang masih
duduk di sampingnya, Shilla menyadari bahwa seseorang yang tengah berjalan di
bawah senja itu hanyalah lamunannya saja yang menembus pikiran panjangnya.
“Kamu ingin Rio mengerti dan ada di
samping kamu, kan? Aku akan bisa membuat Rio seperti itu.” Ify tersenyum simpul
melihat Shilla yang mengangguk antusias sembari tersenyum dengan ceria. Air
matanya mulai mengering seiring dengan benih-benih kebahagiaan yang mulai terwakili
raut wajahnya.
***
“Aku harap kamu mengerti keadaan aku
saat ini, seenggaknya kamu bisa menjadi pusat kebahagiaan sahabatku, Yo.
Menjadi perisai hidupnya yang terlalu berliku, dan menjadikan perasaan yang
dimilikinya menjadi sandaran kebahagiaan untuknya.” Ify melafalkan
permintaannya secara langsung.
Siang itu, hanya ada dirinya dan
juga Rio yang duduk di bangku taman. Merasakan angin yang mulai menyapu lembut
wajahnya, sebagian rambutnya mengikuti irama laju kelembutannya. Sementara
perasaan itu masih berdesir hebat, menimbulkan konflik batin yang meresahkan.
Dalam pikiran Rio, semua yang
diucapkan Ify termasuk permintaan itu bukan murni keinginan Ify. Itu hanyalah
sejenis alasan untuk mempertahankan persahabatannya dan juga menyeimbangkan
antara keinginannya dengan keinginan sahabatnya yang semestinya diutamakan.
“Jangan terlalu terpengaruh
keegoisan orang lain, Fy. Seorang sahabat pun kadang menjadi musuh terbesar
kita, musuh yang menjadi penaruh keirian, musuh besar yang selalu merenggut
waktu yang semestinya dihiasi kebahagiaan setiap waktunya.” Rio berargumen,
mencoba meluruskan niatan Ify yang menurutnya setengah gila itu.
Rio memang benar, justru Ify telah
terpengaruh oleh keegoisan yang dimiliki Shilla. Tetapi meski begitu, Ify harus
mengutamakan kebahagiaan Shilla.
“Membahagiakan orang lain, termasuk
sahabat yang kita junjung tinggi itu memang perlu. Tetapi membahagiakan diri
sendiri jauh lebih penting.” Rio menghela nafas perlahan. “Karena itu, jangan
berusaha sekeras mungkin membahagiakan orang lain jika pada akhirnya kita
sendiri belum bisa merasakan sisa kebahagiaan itu secuil pun.”
“Kamu benar. Tapi, Yo, aku mohon.
Untuk kali ini saja, bahagiakan Shilla. Aku tidak mungkin menjadi pengkhianat
besar dalam kehidupannya.” Ify menggenggam kuat tangan Rio, seolah meminta
sebuah pengabulan yang nyata.
Keinginan itu seharusnya tidak
pernah ada, karena prinsipnya keinginan itu juga akan menyisihkan luka suatu
saat nanti; saat kebahagiaan berpihak dalam keinginannya, sementara luka
menyelimuti dirinya sendiri lewat tatapannya.
“Aku akan memenuhi itu demi kamu,
Fy. Ingat demi kamu, bukan karena dia.” Ucap Rio. Pikirannya masih diganggu
oleh kebimbangan tak berkeseimbangan, antara ingin meneruskan perasaan itu
dengan merelakan melepaskan keinginannya.
Ify tersenyum untuk beberapa saat.
Sebuah senyuman yang terlihat sederhana, terukir tipis dari bibirnya. “Thanks.”
Rio mengangguk, kemudian Ify segera meninggalkan taman dengan genangan air
matanya yang membuat pandangannya kabur. Untungnya, Ify bisa menyeka air mata
itu sebelum membashi kedua pipinya.
***
Malam itu seolah menjadi puncak
kebahagiaan dan kesenangan untuk beberapa siswa yang beberapa saat lalu
tenggelam dalam butiran soal yang sulit untuk dipecahkan, meski sebagian lagi
bisa dijawabnya. Kegiatan yang rutin dilaksanakan tiap tahun itu tidak mungkin
bisa dihilangkan untuk satu tahun saja.
Sepasang kekasih masih menampilkan
talentanya masing-masing, sebuah duet yang akan menjadi penutup kebahagiaan
mereka pada masa SMA. Mungkin saja, tetapi lebih menyesakkan lagi bagi
seseorang yang hanya bisa tersenyum dalam diam, namun jauh di dalam hatinya kesakitan
itu meresap ke dasar hatinya.
Keikhlasan sudah diberikannya,
bahkan hanya untuk merelakan perasaan itu lepas pun saat itu sulit. Namun Ify
sadar, kebahagiaan itu sudah semestinya milik mereka berdua meski terkadang
tatapan Rio terlihat berbeda ketika bersama Shilla daripada saat-saat bersama
dirinya. Terkadang ada waktu sempit yang bisa digunakan Ify hanya untuk sekedar
menyapa, atau waktu sempit Rio yang digunakan untuk mengobrol pendek.
Dengan langkah pelan, Ify tersenyum
lirih. Sejurus kemudian, ia sudah melangkahkan kakinya menuju panggung. Tanpa
meminta untuk menyanyikan sebuah lagu malam itu pun, Ify sudah membulatkan
niatnya. Untuk saat ini, biarkan sejenak asa terputuskan karena hal itu. Hanya
karena sebuah perasaan yang awalnya terjamah, namun pada akhirnya jatuh.
Lagi-lagi tergeser dari arah kebahagiaan.
Ify menatap deretan kursi penonton,
sekilas kemudian tatapannya lelah. Peluh dingin saat itu mulai bersimbah di
antara pelipis, sebagian lagi menembus alis tipisnya. Itu bukan peluh
kegugupan, melainkan sebuah peluh yang keluar karena perasaan itu. Perasaan
gugup di antara kebimbangan, apa yang harus dinyanyikannya saat ini? Tak
mungkin Ify menyanyikan lagu yang mellow, karena Shilla dan Rio akan mengetahui
alasan itu.
***
Hari kelulusan tiba. Mungkin
sebagian dari mereka merasa bahwa takdir semakin mendekat, bagaimanapun langkah
itu mengiringi laju kehidupan. Sebagian lagi ada yang tidak mengikhlaskan
takdir itu, takdir yang terasa begitu cepat. Namun, di satu sisi perpisahan
memang selalu ada jika pertemuan itu ada.
Saat itu, semua orang sedang
mengerumuni papan mading yang memajang nama-nama peserta. Tentu saja peserta
yang mengikuti ujian nasional beberapa waktu lalu. Akan terasa menyenangkan
jika hasil yang diperoleh dari sebuah usaha yang dikerjakan secara susah payah,
berakhir dengan yang maksimal. Tentu, siapa sangka usaha keras itu akan
mengkhianati?
“Lo lulus, Yo?” Tanya Shilla dengan
nada riang, senyuman manisnya tak pernah lepas menghias wajahnya saat itu,
menyaksikan namanya yang terpajang di depan mading dengan cap lulus 100%.
Mungkin, sebuah kebahagiaan tersendiri untuk dirinya.
Rio yang menatap Shilla seriang itu
awalnya hanya terpaku, sejurus kemudian pikirannya terusik oleh nama itu. “Ify
gimana? Lulus juga?” Tanyanya ringan, sambil perlahan mengarahkan kedua bola
matanya melirik kecil ke arah mading. Tatapannya bergerilya mencari nama itu.
Lagi-lagi nama itu. Sudah menjadi
hal yang biasa bagi Shilla, mempersiapkan kesabarannya di depan laki-laki itu,
meski pada kenyataannya Ify sudah terlihat tak lagi mengagumi sosok Rio. Bahkan
akhir-akhir ini, Ify terlihat menjauh dari Shilla. Mungkin dari Rio juga. Meski
begitu, Shilla mengerti, Ify menjauhinya dengan alasan agar dirinya mampu
menenteng sebuah kebahagiaan yang semestinya sudah menjadi miliknya.
“Lo lulus kan, Yo?” Tanya Shilla,
sementara kedua bola matanya masih menatap penuh sebuah kertas putih yang
tergores nama-nama peserta ujian. “Yes. Lo lulus, Yo. Kita lulus, Yo!” Shilla
berseru dengan itonasi riang. Senyuman saat itu tak luput dari wajahnya, terus
membenahi wajahnya.
Mendengar ucapan Shilla, Rio hanya
meneguk salivanya. “Coba lo cari nama Ify, ada gak?” Perintahnya, tanpa
sedikitpun menoleh ke arah Shilla.
Mendadak raut wajah perempuan itu
berubah seratus delapan buluh derajat. Digigitnya kuat-kuat bibir bawahnya,
berusaha kuat untuk menahan air matanya. Bukankah yang saat ini menjadi kekasih
laki-laki itu hanya dirinya? Tetapi mengapa nama itu selalu saja menjadi bahan
pertanyaannya? Apa kebahagiaan yang selama ini dirasakannya kurang bermakna?
“Yo, harus berapa kali gue sabar?
Bahkan yang gue tahu itu, cuma ada Ify yang selalu ada di pikiran lo. Kapan lo
mikirin gue, Yo? Mungkin lo harus tahu, Ify udah jauh dari kita. Lo gak
menyadari semua itu, kan? Tapi, coba lo rasakan.” Lirih Shilla, bibir bawahnya
masih digigitnya dengan kuat.
Merasa sebuah ucapan lirih memenuhi
ruang pendengarannya, Rio terpaku untuk beberapa saat. Aktivitasnya terhenti.
Beberapa detik selanjutnya tatapannya mengarah penuh kepada Shilla yang juga
sedang menatapnya dengan tatapan sendu. Perkataan Shilla ada benarnya, tetapi
untuk ke berapa kalinya Rio mencoba menjelaskan jika pada akhirnya Shilla lebih
mementingkan egonya?
Bukan hal yang biasa bagi laki-laki
itu untuk mencoba menenggelamkan pikiran perempuan itu ke dalam keinginannya,
memenuhi apa yang selama ini diharapkan dengan penuh keikhlasan dan ini bukan
berarti Rio ingin lari dari tanggung jawabnya.
“Shil, lo dengerin gue dulu.” Rio
mengambil jeda untuk beberapa saat, dipandanginya wajah Shilla yang mulai
berubah dengan raut penuh keseriusan. “Selama ini gue juga udah cukup sabar,
dan harus berapa kali gue sabar nunggu lo ngertiin perasaan gue? Lo mungkin
sudah tahu, gue gak pernah mencintai lo. Gue jadian sama lo cuma buat memenuhi keinginan
Ify, karena itu yang menjadi alasan kebahagiaan buat dia. Dan lo juga kapan
mikirin apa yang selalu ada di pikiran gue? Kapan lo memenuhi keinginan gue?
Mungkin lo juga harus tahu, batin lo dan gue itu jauh jaraknya.”
Hatinya terasa mencelos, saat ini Shilla
hanya bisa menunduk. Tetesan bening itu mulai meliputi kedua pipinya, menghias
perasaan dukanya. Ada saatnya dimana semua harus berhenti untuk sesaat,
kemudian luka menyusulnya dengan tajam dan saat itu hanya ada tangisan yang
mampu meluapkan apa yang bersandar dalam hati; segala kata-kata yang tidak
mungkin bisa melengang bebas di udara.
“Mungkin salah satu di antara kita
pernah menyadari bahwa cinta ukuran kebahagiaan, tetapi kenyataannya bukan
begitu.” Rio menarik nafas pelan. “Cinta hanya pemenuh kebutuhan, dimana kita
bisa belajar lebih dewasa lagi dalam menyikapi hal tentang perasaan dan
keseriusan.”
Butiran bening itu semakin memperih
keadaan. Ini adalah saat pelepasan seragam abu-abu baginya dan juga teman-teman
seangkatannya, saat ini juga Shilla berusaha keras untuk mencari keikhlasan
diri, meski ketidakrelaannya masih menggelantungkan tekadnya untuk lebih
memilih bertahan.
“Tapi lo lebih mikirin mana antara
gue dan Ify? Gue selalu berusaha mencintai lo, menyayangi lo di saat-saat lo butuh
kepedulian. Sementara, Ify gak pernah deket lagi kan bareng kita? Bahkan buat
perduliin lo aja, kayaknya udah gak bakal bisa lagi, Yo.” Ucap Shilla dengan
keras.
Menyadari bahwa orang-orang di
sekitarnya menaruh perhatian kepadanya dan juga Shilla, tak urung Rio langsung
mencekal kuat lengan Shilla kemudian menariknya dengan kuat. Rio mulai berjalan
dengan cepat tanpa mengindahkan Shilla yang terus mengoceh, sementara Rio
sendiri pun merasakan aksi berontak Shilla yang mencoba melepaskan tangannya dari
cekalannya.
“Hai Yo, Shil, kalian lulus juga,
kan?” Tanya Sivia ketika menemui keduanya secara kebetulan. Tetapi ada yang
berbeda dari raut wajahnya, tampak kesedihan yang mendalam disana. “Shil, lo
kenapa nangis?”
Rio mengalihkan tatapannya ke arah
Shilla, kemudian tersenyum tipis ke arah Shilla. “Ify mana, Vi? Kok gak sama
lo?”
Shilla yang berusaha mengeringkan
air matanya hanya tersenyum tipis merasakan kesabarannya yang semakin hambar
dalam menghadapi sikap laki-laki itu. “Kita lulus kok, Vi. Kita berdua lulus dan
selamat dari ketertinggalan. Gue nangis cuma sedih aja, karena gue dan Rio
bakal pisah. Kita gak bakalan satu study lagi bareng dia. Kita lebih memilih
universitas yang berbeda.”
Tetapi, bukan meyakini, Sivia merasa
ada yang aneh dari gelagat Shilla yang tak seperti biasanya itu. Pikirannya
masih mencoba menenggelamkan hal itu, menyembunyikan sesuatu hal besar yang tak
seharusnya diketahui oleh siapapun. Cukup hanya dirinya yang menyimpannya rapi
di ruang memorinya.
“Ify dimana, Vi? Jawab gue!” Desak
Rio, kemudian melepaskan tangan Shilla dari cekalannya. Sedetik kemudian,
tangannya menggoyangkan bahu tegap milik Via. Tetapi perempuan itu hanya diam
sembari menundukkan kepalanya dalam-dalam.
“Lo kenapa nangis, sih, Shil? Gak
usah ikut-ikutan!” Ucapnya kasar ketika mendengar isakan tangis Shilla di
belakangnya, terlebih isakan itu mengganggu pendengarannya. Baginya, tangis itu
hanyalah sebuah tangis seorang perempuan cengeng. Terlalu berlebihan!
Ini saatnya dimana semuanya harus
meluap begitu saja, ini saatnya dimana Shilla harus mengutarakan perasaan
sakitnya selama ini dan ini adalah saat yang tepat karena perpisahan sudah
menyisakan bayangannya. Terlebih kenyataan sudah mulai dirasa, tak lagi ada
yang menjadi dinding pembatas antara waktu dan takdir itu. Semuanya sudah
terasa mengalir.
“Gue gak nangis, gue cuma ngeganti
rasa sakit ini dengan air mata! Lo gak pernah tahu kan gimana rasa sakit gue? Ini
rasa sakit gue yang nyata, dengan isakan gue yang kuat ini mampu mewakili
dalamnya keperihan yang gue rasa.” Shilla meras tertekan, ucapannya tak lagi
terhias dengan kelembutan, seperti yang selama ini dilakukannya di depan
laki-laki itu.
“Rio,” Sivia mengangkat kepalanya,
meski wajahnya masih terlihat murung sesekali. Namun senyum tipis masih
terlihat jelas. “Ify gak bakal ada lagi bareng kita. Dan yang bakal ngambil
surat kelulusan dia itu pamannya.”
Saat itu, hanya kerja otaknya yang
mengisi waktu kekosongan itu. Berusaha mencerna kata-kata yang sedikit mengiris
perasaannya, bahkan tak heran jiwanya merasa hampa mendengar berita itu. Seolah
kabar itu sebuah berita kepiluan, meski pikirannya belum bisa mencernanya
secara menyeluruh.
“Ify,… pergi?” Tanya Rio dengan
suara memelan.
Awalnya Via hanya menatap lama wajah
Rio dan juga Shilla yang di belakangnya, raut wajah keduanya berbeda. Tetapi
beberapa saat kemudian, Via mengangguk. “Dia bakal meninggalkan negeri ini, dia
bakal menetap di Amsterdam untuk selamanya. Dulu mamanya selalu meminta dia
buat menyetujui permintaan mamanya, tetapi Ify selalu menundanya. Dan anehnya
lagi, kemarin dia minta agar jadwalnya dipercepat.”
Bagai hantaman petir yang sangat
kuat, beberapa saat kemudian tatapan Rio melemah. Terlukis disana sebuah
keputusasaan. Detik berikutnya, Rio merasa dirinya benar-benar telah rapuh.
“Kenapa lo baru ngabarin sekarang?”
Tanyanya dengan kasar.
“Gue disuruh Ify buat nyimpen
rahasia ini, dan harusnya gue gak pernah bilang soal ini sama kalian. Tapi
karena gue gak rela lihat lo yang terus ngedesak dari tadi, gue ngasih tahu.
Ify bilang, dia gak mau lo dan Shilla tahu perihal ini, karena dia gak mau
kalian sakit saat nerima kenyataan ini.” Ucap Via, air matanya mulai membasahi
kedua pipinya, membentuk patahan-patahan kecil tak berirama.
Ini sebuah kesalahan besar, yang Rio
rasa justru ini bukan sebuah kebaikan untuk Ify sendiri, melainkan sebuah luka
yang mengendap. “Lo salah, Fy!” Geram Rio seraya mengepalkan kedua tangannya,
tatapannya lurus ke depan.
“Justru ini buat kebaikan lo dan
juga Shilla.” Ucap Via dengan enteng, air matanya terlihat tak berirama, tetapi
kesedihannya jelas terasa nyata.
Disaat penyesalan menjadi bagian
dari sebuah takdir, apa kebahagiaan itu akan menghiasnya dengan segenap
senyuman? Bukankah penyesalan itu adalah sebuah janji tak tertulis dari sebuah
takdir? Penyesalan itu takkan pernah berposisi di awal cerita, tak akan pernah
keindahan setelahnya jika penyesalan ada dalam posisi awal.
“Ini motivasi buat lo, agar lo lebih
menjaga Shilla dan menghargai perasaan yang dia miliki sebelum akhirnya Shilla
ninggalin lo dan lo akan menyesal untuk yang kedua kalinya. Pertahankan cinta
lo.” Via tersenyum pelan, kedua jari-jari tangannya mulai bergerak menyeka air
matanya.
“Kapan jadwal pemberangkatan dia?”
Tanya Rio tanpa mengindahkan Shilla yang menyisihkan seulas senyum tipis ketika
mendengar ucapan motivasi dari Via.
Via mengangkat bahu. “Gue gak tahu,
tapi tadi gue lihat dia dan keluarganya lagi prepare sekitar setengah jam yang
lalu.”
Tanpa menunggu perintah dari
pemiliknya, kedua bola mata Rio mengarah kepada jam tangannya. Waktu sudah
menunjukkan suasana tengah hari, sesuai dengan arah jarum jam pada jam
tangannya. Tanpa menghiraukan Via dan juga Shilla, Rio langsung berlari
meninggalkan areal sekolah.
“Lo kenapa, Shil?” Tanya Via sesaat
setelah meyakinkan dirinya, Rio tak akan pernah memunculkan dirinya di
hadapannya saat itu.
Shilla hanya tersenyum tipis. “Gapapa.”
***
Biarkan
aku merasakan sebuah keretakan dalam kenangan itu, kenangan yang dimulai dengan
kebahagiaan yang terhias senyuman. Menyadari bahwa kenangan itu adalah milik
kita berdua seutuhnya. Biarkan aku menatapnya lirih. Mungkin perasaan ini
adalah sebuah akhir muara dari langkah yang pernah kutempuh, dari arah yang
pernah kutapaki dan dari anugerah yang pernah ada dalam hidup ini. Aku, seorang
perempuan, tak lain hanyalah seonggok sampah yang tak pernah dianggapnya
berharga. Dan biarkan desiran sesak ini semakin memperkuat keperihan ini.
“Hei, ayo! Katanya pengen
cepat-cepat berangkat. Tapi kok malah melamun?”
Waktu memang benar, ini adalah saat
yang tepat untuk ukuran perempuan sepertinya berlalu dari rasa sakit itu,
perasaan itu, kisah-kisah itu dan waktu-waktu yang pernah merekam indah segala
yang terjadi di antara kepingan beberapa kejadian ke belakang. Ify sudah tidak
bisa lagi memprotesnya, ini adalah permintaannya.
Entah untuk yang ke berapa kalinya
tatapan itu menunjuk ke arah pintu lobi. Masih sama seperti sebelumnya. Dua
orang penjaga yang masih tenggelam dalam kesibukannya masing-masing.
Perempuan paruh baya yang tertangkap
kedua bola matanya masih mengecek barang-barang yang dibawanya. Tangannya
menenteng sebuah koper besar yang siap mengemasi pakaian yang dibawanya.
“Sudah siap kan, Fy?” Tanyanya lagi.
Tak lain perempuan paruh baya itu adalah mamanya sendiri. Tangannya masih
menyodorkan sebuah tas besar, dengan malas Ify menerimanya. Sebuah tas yang
penuh isi, Ify sendiri tidak tahu apa yang mengisi penuh tas besar itu,
sampai-sampai memberatkan bebannya sendiri.
Sejak awal pun, Ify enggan
meninggalkan tanah kelahirannya. Apalagi alasan yang cukup akal, ia masih ingin
menikmati hidupnya hanya untuk melihat sosok laki-laki itu meski dari
jauh. Tetapi waktu sudah terlambat, ini
tak bisa ditunda lagi. Ini adalah detik-detik terakhir langkahnya menapaki
tanah kelahirannya, detik-detik terakhir dirinya menikmati keindahan yang ada
di sekitarnya.
“Hati-hati, Fy. Tasnya digendong
dong!” Mamanya melangkah lebih dulu, tanpa menyadari dirinya yang masih terpaku
dalam diamnya. Keheningan tengah mengisi hatinya, sementara pikirannya sibuk
melayang kepada objek yang menjadi pusat pikirannya saat itu.
Untuk yang terakhir kalinya, Ify
memandangi pintu lobi, berharap seorang laki-laki bertekad keras untuk masih –memperdebatkan
sesuatu yang tidak terlalu penting dengan penjaga yang berada disana. Tetapi
matanya tak melihat satu pun objek yang berada disana, bahkan pikirannya bisa
menduga bahwa dia tidak akan pernah memperdulikan kepergiannya. Saat ini tak
ada lagi yang diharapkannya, kecuali melihat sosok laki-laki itu dengan wajah
kesedihannya. Tapi, semua terasa absurd.
Ify mulai melangkahkan kakinya, sebelum
pada akhirnya mamanya kembali hanya untuk mengomelinya. Bahkan ia tidak
menyadari mamanya yang sudah melangkah jauh darinya, hanya terpaut dalam
hitungan meter. Dengan tatapan lurus ke depan, langkahnya mulai menapaki
bandara itu, setelah sebelumnya mengecek sekitaran tempat duduknya tadi.
Langkahnya terasa berat, seolah
beban-beban dalam pikirannya menghalangi laju langkahnya. Perlahan kepalanya
menunduk, mulai pasrah dengan situasi yang menyesakkan ini. Sebuah beban berat
yang memenuhi punggungnya masih jelas terasa, kemalasannya semakin
menjadi-jadi. Rasanya ingin sekali dilepaskannya tas besar itu, kemudian
melemparkannya ke sembarang arah. Tapi, Ify sadar diri, tidak layak untuk
seorang perempuan seusianya melakukan hal-hal konyol itu.
“Ify.” Teriak seseorang dengan nada
yang cukup samar, tetapi Ify bisa memastikan bahwa itu bukanlah orang yang
diharapkannya hadir saat ini. Melainkan suara perempuan. Awalnya Ify mengira
itu suara mamanya yang sudah semakin jauh dari langkahnya, tetapi sejurus
kemudian Ify menyadarinya. Bukan.
Suara itu lagi-lagi terngiang di
telinganya. Ify menoleh cepat. Belum sempat tatapannya memandang secara
menyeluruh, sebuah tangan melingkari tubuhnya dengan kuat. Pelukan itu terasa
hangat, dihiasi oleh sebuah tangisan yang semakin keras, sesuai dengan selera
hatinya. Sementara itu, Ify hanya membalas pelukan itu dengan pelan, tubuhnya
masih terdiam kaku.
Di tengah-tengah kebimbangan itu,
matanya menatap lekat seorang laki-laki yang sedang berjalan ke arahnya, masih
dari kejauhan. Di sampingnya terlihat seorang perempuan dengan rambut sebahu
tengah mengedarkan pandangannya ke segala arah.
Tiba-tiba Ify melepaskan pelukannya,
berusaha keras untuk segera meninggalkan bandara itu sebelum akhirnya tatapan
laki-laki itu menangkap dirinya yang terlihat rapuh. Tetapi sebuah cekalan
tangan yang sangat kuat membuat Ify tidak bisa memaksakan kehendaknya. Ify
berharap saat itu juga waktu mulai berhenti berputar.
“Kenapa, Shil? Apalagi yang akan
kamu rebut dariku?” Tanyaku dengan lancang, tanpa menghiraukan permukaan
wajahnya yang mulai berganti raut. Sementara matanya terlihat merah, sedikit
membengkak.
Shilla menggeleng lemah. “Jangan
terburu-buru, beri sedikit waktu untuk gue dan juga Rio memanfaatkan situasi
ini, menikmatinya di saat-saat yang rumit seperti ini.” Ucapnya dengan pelan.
Demi merengkuh kebersamaan yang tak
berlangsung lama, Ify hanya pasrah. Pikirannya hanya bisa memastikan, waktu
akan kembali mempertemukan dirinya dengan dunia yang baru. Tanpa ada rasa sakit
itu, yang sebelumnya menusuknya hingga terjatuh di sembarang arah. Sangat
menyakitkan.
“Gimana
kabar lo, Fy? Kita masih sahabatan, kan? Gue masih belum bisa nerima kenyataan
ini, lo pergi secepat ini. Sementara kita disini, termasuk teman-teman lo gak
pernah tahu tentang lo, bahkan kepergian lo saat ini.” Ucap Shilla, berusaha
mengisi keheningan.
“Aku akan selalu ada, aku akan
selalu hidup, meski kenyataannya aku tak lagi ada dalam hatinya.” Ucapnya
dengan lirih. “Oh ya, bagaimana hubunganmu dengan laki-laki itu?” Tanyanya
sekedar mengalihkan pembicaraan, nada bicaranya dibuat seriang mungkin hanya
untuk menutupi kecanggungannya.
Semua orang yang berlalu lalang di
bandara itu akan menatap heran ke arah keduanya, yang hanya menyisakan air mata
tak bermakna bagi mereka. Beda dengan keduanya yang menganggap air mata itu
sebuah tanda yang memilukan, sesuatu yang menjadi penyesak keadaan.
“Gue dan dia pernah ngelakuin
sesuatu yang gak seharusnya diperbuat, sesuatu yang seharusnya gak pernah
terjadi. Bahkan saat itu, gue gak menyadari kenapa hal itu bisa terjadi. Dia
terlalu bernafsu.” Ucap Shilla, menyesali apa yang telah terjadi dengan
dirinya. Sesuatu yang tak seharusnya pernah tercatat dalam hidupnya.
Untuk ke berapa kalinya lagi aku
harus merasakan sakit seperti ini? Perih! Demi apapun, ini sangat menyesakkan!
Ify membekap mulutnya tak percaya, air mata jatuh di pipinya. Inilah saatnya
untuk perempuan seukurannya menerima takdir yang membunuh, diam-diam melukainya
secara perlahan, tapi menorehkan luka yang sangat dalam.
“Tapi gue gak bisa maksain kehendak
gue buat nyingkirin sesuatu yang baru dalam hidup gue dan dia, gue gak mungkin
menyangkal dari takdir Tuhan yang sudah semestinya ada buat kita.” Shilla
menatap Ify, jari-jemarinya bergerak perlahan menyusuri wajah kusut itu;
menyeka air mata yang membasahi pipinya. “Lo tetep kuat, kan?”
“Ify,” Via langsung menubruk tubuh
Ify dengan kasar, disusul dengan kedua tangannya yang melingkari tubuhnya. Tangisannya
semakin cepat berlaju, menyisakan isakan yang keras. “Suatu saat nanti, lo
bakal kembali kan?” Tanya Via seraya melepaskan pelukannya.
Ify melemparkan tatapannya ke arah
Rio untuk beberapa saat. Laki-laki itu hanya terdiam seribu bahasa, sementara kedua
bola mata laki-laki itu sedang mengarah kepada dirinya. Segera dialihkannya
tatapan itu, kemudian menatap Via dengan bingung. “Aku gak tahu, doakan ya.
Yang aku tahu, aku gak akan kembali mengingat pekerjaan papa yang padat di
negara itu.”
“Fy,” Rio menatap sendu ke arah
perempuan itu. “Lo yang kuat ya.” Begitulah katanya, tatapannya terlihat
kosong, seiringan dengan hatinya yang mencari pelipur lara untuk hatinya.
Ify mengangguk cepat. “Iya, kamu juga
harus kuat. Jaga Shilla dan sesuatu yang baru dalam hidup kalian, sesuatu yang
melengkapi kebahagian kalian. Kapan-kapan aku akan kesini demi melihat dia.”
Ucapnya seraya mengelus pelan perut Shilla.
“Maksud lo?” Tanya Rio tak mengerti.
Ify
menganga lebar. “Kenapa masih nanya, Yo? Kamu kan yang membuat perut Shilla
berisi? Dia adalah pelengkap buat hubungan kamu dan dia. Jaga Shilla dan bayi
ini juga ya. Jadilah ayah yang bertanggung jawab.” Sedikit dalam hatinya ada
sesuatu yang mengganjal, seolah tidak mengikhlaskan kehadiran sosok baru dalam
hubungan itu.
“Aku harus pergi, karena aku harus
meneruskan kemana aku meraih impianku. Kalian akan semakin tenang tanpa
kehadiranku, bukankah selama ini kehadiranku mengganggu kalian?” Via hanya diam
mendengarkan ocehan Ify, memberi peluang kepada Rio untuk menjawabnya.
“Fy.” Rio memegang kuat tangan itu,
namun Ify segera melepaskannya sambil menggeleng dengan penuh senyuman.
Wajah perempuan itu sudah terlihat
berkaca-kaca, sementara bibir bawahnya masih digigitnya dengan kuat untuk mengendalikan
segala kemungkinan yang akan terjadi.
“Janji ya buat ngejaga Shilla dan
sosok kecil itu?”
Rio masih terpekur dalam diamnya,
dalam hatinya hanya terucap sebuah penolakan yang tak mungkin diungkapkannya
dengan kata-kata. Jelas hal itu akan melukai dirinya, perempuan itu, termasuk
Ify. Rio tersenyum dengan penuh keterpaksaan, lalu mengangguk lemah. Hanya
sebuah penyesalan yang menyirami suasana saat itu, terlebih tangisan Rio yang
tak kunjung datang. Demi mendapatkan simpati dari Ify.
Beberapa menit kemudian, Ify memutar
badannya. Disana mamanya sedang tersenyum ke arahnya, rupanya sedari tadi
mamanya sedang menunggunya sambil memperhatikan gerak-geriknya dan juga
sahabat-sahabatnya.
Jaga Shilla, Yo. Mungkin dia berada
tepat di takdir yang kamu miliki, sementara aku hanyalah seorang perempuan tak
berarti, yang pada akhirnya pergi dari kehidupanmu setelah melabuhkan
perasaannya kepadamu –juga–.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar