Baca juga: Berapa Langit Biru yang Terlihat? [1]
Hujan deras yang mengguyur sore itu
membuat bayangan Devan jatuh tepat pada hari-hari yang lalu, hari yang
melambangkan kedamaian itu. Di saat semua orang sibuk dengan kebersamaan yang
dibuatnya se-berkesan mungkin. Tapi, hanya ia sendiri, satu-satunya orang yang
pergi dari momen yang berharga itu.
Jangan tanya lagi siapa pemicunya.
Sementara menipu pikirannya yang tengah kalut akan ketiadaan Jase, pikirannya
beralih menuju Raina. Tentu saja, secara tidak langsung dengan dua jurus
cepatnya kini pikirannya telah jatuh pada dua orang yang berbeda. Raina dan
sosok perempuan yang belum ia ketahui namanya. Perempuan yang memang mirip Raina.
Bodohnya lagi, ia tidak sempat
bertanya.
Hingga akhirnya nama Jase kembali
melintasi ingatannya. Untuk ke sekian kalinya pun, ia menepis bayangan
laki-laki itu. Seharusnya, sekarang ia berada di universitas yang sama dengan
laki-laki itu. Hanya saja, Devan terlalu menutup diri. Ia sendiri yang akan
menyelesaikan semua urusan untuk masuk ke universitas mana yang akan ia tuju.
Demi menjebak keinginannya untuk
meraih ponsel –menghubungi Jase– Devan memaksa egonya membeku, mengambil gitar
di pojok ruangan dan memainkan senarnya dengan mahir. Sepintas, sebuah lagu
mengalun, meski kemudian suaranya nyaris hilang di antara gemuruh hujan.
Devan mengutuk dalam hati.
Barangkali, ia harus membuat dirinya sesibuk mungkin untuk melupakan urusan
masa lalunya. Ia tidak ingin mengigat lagi nama sahabatnya, juga nama orang
yang dicintainya. Meski suatu saat, nama-nama itu akan hadir dalam ingatannya,
meski hanya selintas.
“Maaf.”
Arah pandangannya menuju nakas.
Laki-laki mana yang akan berani menyimpan fotonya berdua bersama sahabatnya
sendiri? Karena Jase, ia hampir dikatai sebagai gay. Devan yang cenderung
tertutup dan tidak pernah menjalin hubungan dengan perempuan mana pun, membuat
orang-orang berpikir sangat eksentrik.
Lantas Devan mengayunkan langkah
ringan dan meraih figura kecil di atas nakas, lalu membuangnya ke dalam tong
sampah.
“Tidak ada hal dari kita yang bisa
dianggap berharga. Kelicikan yang meliputi persahabatan kita tak ada lagi yang
bisa ditolerir.”
Kadang, memang lebih baik sendiri.
Meski suatu waktu titik dari kesendirian itu adalah kesepian, yang menghubungkan
ingatannya dengan hal-hal lalu yang dirasa sangat membebani hidupnya, membuat
rindu meronta dan berceloteh sepuasnya. Sementara itu, rasa sesak yang
tertinggal tak dapat mengubah keadaan.
***
Raina memandang bayangan wajahnya
yang terpantul pada sebuah cermin datar di depannya. Siapa sangka, potongan
rambut depannya kini telah tumbuh menutupi keningnya. Raina membenarkan,
rambutnya yang hitam tipis itu sangat mudah berkembang.
Sementara waktu menunjukkan pukul
sebelas siang, langkahnya kembali mengarah kepada deretan buku filosofi. Ia
tertarik dengan dunia filsafat, meski sebenarnya ketertarikannya itu juga bisa
dikalahkan dengan kecintaannya terhadap musik.
Perempuan berbiola itu memang tidak
bisa menjanjikan kapan tepatnya ia akan mahir menemukan bentuk kemahirannya di
bidang lain. Sesekali ia tertarik dan menyelam dalam suatu bidang, tetapi tak
butuh waktu lama kebosanan telah membawanya kembali meninggalkan dunianya yang
baru.
Setelah berhasil menemukan buku yang
dimaksud, ia segera memapah langkahnya menaiki anak tangga dengan optrede yang
cukup seimbang untuk perempuan seukurannya. Dengan santai, langkahnya mengayun
menapaki satu persatu aantrede. Hingga tanpa sadar, sebuah kertas mengayun
perlahan dari dalam buku.
Raina tiba di tempat yang dimaksud
setelah beberapa menit berlalu dari perpustakaan kompleks. Segera ia
menghempaskan tubuhnya di atas kursi panjang yang dipasang di tiap sudut taman.
Tangannya yang mungil perlahan
bergerak mengimbangi kerja otaknya, membuka lembaran demi lembaran. Memangnya
apa yang ia cari? Ia terkekeh perlahan menyadarinya. Dengan susah payah ia
mencari buku yang dituju, dan setelah berhasil menemukannya, ia hanya mengincar
bagian akhirnya. Bagian kesimpulan.
Tapi, ada sesuatu yang mengusik
kegiatannya, meski Raina hanya memandangnya sekilas melalui ekor matanya. Seorang
laki-laki yang sibuk mengayuh sepeda. Omong-omong tentang mengayuh sepeda, ia
jadi teringat kejadian beberapa hari yang lalu.
“Omong-omong, kau boleh memegang
pundakku.” Sahut Raina tanpa menoleh ke belakang, membuat suara dengusan kesal
dari belakang terdengar jelas. Ia sama sekali tidak mengenal jauh sosok
laki-laki di belakangnya, tapi sekarang ia berjanji akan menunjukkan sesuatu
demi mengatasi kesalahpahaman.
Tepukan yang cukup keras berhasil mendarat
di pundaknya. Sekali, dua kali, hingga akhirnya Raina berhenti mengayuh dan
menoleh ke belakang. Kesal.
“Aku yang lebih kesal. Sudah
kubilang, biarkan aku saja yang mengayuh.” Keluhnya, lalu turun dari sepeda dan
berdiri di samping Raina. “Reputasiku sebagai laki-laki akan hancur hanya
karena terlihat dibonceng perempuan. Apa aku terkesan selemah ini?”
Mendengar ocehan laki-laki itu,
Raina hanya tertawa. Siapa sangka, laki-laki itu akan terus mengoceh untuk
menepikan bentuk komplainnya terhadap ide –yang dianggap– cemerlang oleh Raina
sendiri.
“Jadi, kalau hanya mengandalkan
perdebatan, kapan kita akan menepi?” Tanya Raina singkat, sementara itu Devan
hanya mengangkat bahu acuh.
Sedetik kemudian, wajah laki-laki
itu berseri kembali. Ia mendekati Raina perlahan dan mulai berpikir sejenak.
“Supaya impas. Bagaimana kalau kita
sama-sama berjalan menuju ke tempat yang kau maksud?” Tanyanya, menyiratkan
kebingungan pada ekspresi Raina. “Ah, hm, masalah sepeda... kau dorong saja.”
“Tapi kau yang mendorong?” Sambar
Raina cepat, membuat Devan terbelalak. Sedetik kemudian laki-laki itu berjalan
mendahuluinya, dengan santainya memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana
tanpa merasa terbebani dengan apapun.
Raina mendengus kesal. Tetapi suara
dering telepon menahan langkahnya. Dilihatnya sederetan nomor pada layar
ponselnya sebelum akhirnya ia menggumamkan nama dari si penelepon.
“Iya, hallo, ma?”
Raina memandang sebentar ke depan,
Devan masih berjalan tanpa menghiraukan apapun.
“Lho, kakaknya Jase datang ke rumah?
Memangnya ada apa?”
Mengingat Jase, membuatnya merasa
sangat bersalah kepada laki-laki itu. Tapi, entahlah ia pun tidak bisa berbuat
banyak.
“Bertemu aku? Memangnya ada perlu
apa?” Ia menghujani ibunya dengan beberapa pertanyaan. “Oh, baiklah. Sebentar
lagi aku akan segera tiba di rumah.”
Raina memasukkan ponsel ke dalam
saku seragamnya, lalu segera menaiki sepeda dan mengayuh sepeda dengan
kecepatan tinggi hingga akhirnya tiba di depan laki-laki menyebalkan itu.
“Dev,”
“Eh, eh, curang bener. Wah–“
“Jarak ke rumahmu dari sini dekat
‘kan?”
Devan tertegun sebentar, tampaknya
sedang berpikir. “Sepertinya begitu.”
“Baguslah. Maaf, aku ada kepentingan
mendadak. Jadi, lain kali akan kuajak kau kesini. Bagimana?” Tanya Raina lirih,
takut jika laki-laki itu tiba-tiba marah mengingat raut wajahnya yang mulai
berubah sejak pertanyaannya melontar beberapa detik yang lalu.
“Tapi–“
“Yah, maaf sekali. Tidak masalah,
kan?”
Melihat kedua matanya yang luruh,
Raina tersenyum. Tanpa menghiraukan pertanyaan Devan selanjutnya, ia segera
mengayuh sepeda dengan kecepatan tinggi. Meninggalkan sosok laki-laki
berpakaian formal itu bak tersesat di tengah jalan, yang sama sekali tidak
tahu-menahu soal arah jalan pulang.
“Eh sepedaku!”
Sontak lamunannya buyar ketika
dibangunkan dengan suara teriakan yang mendarat tanpa permisi di telinganya.
Tapi ujung matanya yang mulai menghangat, membuat teriakan itu tidak terlalu
dihiraukannya.
Detik berikutnya, ia mulai tersadar
dengan benda kecil yang melingkari pergelangan tangannya. Hari sudah semakin
siang, pantas saja sinar matahari yang menjemur tubuhnya terasa semakin
menyengat.
Pandangannya mulai mengedar ke
sekeliling. Taman hanya menyisakan seorang laki-laki seukuran Devan yang masih
sibuk dengan sepedanya. Ah, kali ini laki-laki itu tidak sedang mengayuh,
melainkan sedang membenarkan sesuatu.
Tanpa tahu angin dari mana,
langkahnya berjalan menuju laki-laki itu. Raina tidak tahu apa yang akan
dilakukannya ketika sampai disana, yang jelas ia hanya ingin tahu apa yang
sedang dilakukannya.
Laki-laki itu mendongak, berlalu
dari kesibukannya begitu Raina menghentikan langkahnya tepat di sebelah
laki-laki itu. Tangan laki-laki itu mulai kotor, juga wajahnya yang terlihat
frustasi.
“Ada apa?”
Pertanyaan sama yang ingin
dilontarkan Raina, tapi laki-laki itu mendahuluinya. Pikirannya melayang jauh
ke belakang. Ia sepertinya mengenal laki-laki ini, meski kemudian kepalanya
mulai sakit ketika ia memaksanya untuk berpikir.
“Apa yang kau lakukan?”
“Rantai sepedaku tadi lepas. Tapi
aku tidak terlalu khawatir.” Katanya, disusul dengan senyuman tulus.
Senyumannya yang kental dengan
ingatannya, membuat Raina benar-benar penasaran. Apa ia sedang mengalami déjà
vu? Tapi tidak, mimpinya selama ini tidak pernah mengisahkan pertemuan dengan
seorang laki-laki bersepeda.
“Syukurlah.” Balas Raina, lalu
segera berlalu meninggalkan taman kompleks.
***
Kevin memandang perempuan
beperawakan tinggi putih itu menjauh. Punggungnya yang berjalan menjauh semakin
membuatnya penasaran. Mengapa saat di dekat perempuan itu, sepasang matanya
tidak begitu asing?
“Pikiran aneh.” Gumamnya perlahan,
seraya menyunggingkan senyuman. Mungkin, ia terlalu sering membaca serial komik
yang membawa dunianya jatuh ke dalam sebuah fantasi yang liar. Terlebih, ia
adalah seorang penyuka fantasi.
Hal-hal yang berbau fantasi itu
kerap telah menjadi bagian dari nafasnya. Kamarnya pun yang masih menggunakan desain
fantasi liar dengan pelataran dunia mimpi, masih melekat dengan sifatnya yang
lugu. Meskipun pada akhirnya semua orang menilainya sebagai anak kecil yang
lugu, tetapi badannya cukup tinggi.
Umurnya yang beberapa bulan lalu
menginjak delapan belas tahun menjadi suatu cambuk menyakitkan baginya, bahwa
kesenangan tidaklah harus dibawa hingga kedewasaan membekalinya buah dari masa
depan. Tapi, apa yang bisa dilakukannya ketika dunia fantasi masih lengket
dengan kehidupannya?
Kevin yang terlahir tanpa seorang
ibu, membuatnya bebas untuk mengekspresikan apapun. Terlebih ayahnya mendukung
apa yang dilakukannya, ayahnya sangat menyayanginya. Belum lagi, statusnya
sebagai anak tunggal tak beradik, dan hingga kapanpun ia tidak akan pernah
memiliki adik.
Hingga suatu bayangan yang merekam
percakapannya dulu bersama sang ayah jatuh tepat dalam pikirannya.
“Ayah, Kev ingin punya ade, yah..
Memangnya kapan ibu pulang?” Rengeknya seraya menggelantung manja di tangan
ayahnya.
Ayahnya yang terlihat lelah hanya
tersenyum, seraya mengambil posisi jongkok untuk menyeimbangkan posisinya
dengan Kevin.
“Kev, suatu saat ibu pasti pulang,”
Ucapan ayahnya belum selesai, karena air mata ayahnya saat itu turut mengambil
peran dalam dialog. Lalu, ayahnya membawa anak kecil berambut pirang itu ke
dalam rengkuhannya.
“Kev, jadilah anak yang bisa
membanggakan ayah. Tunjukkan masa depanmu lebih baik, masa depanmu lebih cerah
daripada ayahmu. Dan suatu saat bawalah keberhasilan itu,”
Kevin yang saat itu hanya sebatas
anak kecil hanya terdiam di pelukan sang ayah, merasakan hangatnya tangan sang
ayah yang mengusap lembut punggungnya. Sementara itu isak tangisnya belum
mereda.
“Ayah, Kevin ingin seperti ayah,..”
Mendengar suara lembut Kevin,
ayahnya segera menarik diri dan memandang Kevin dengan tatapan tajam.
“Kev tidak boleh seperti ayah. Kev
harus lebih sukses dari ayah.” Pria separuh baya itu segera menggenggam tangan
Kevin dan mengangkat tangannya tepat di depan wajahnya, seolah memberi dorongan
kuat. “Kev pasti bisa melakukan semuanya.”
Kevin hanya memandang tangan
mungilnya yang digenggam kuat ayahnya, juga tidak lepas dari pandangan ayahnya
yang terlihat sayu dan berair.
“Suatu saat, tunjukkanlah
kesuksesanmu itu kepadaku. Saat ini dunia tertuju kepadamu dan kau harus bisa
melawan kerasnya dunia.” Sahut sang ayah, lalu bergegas berdiri dan
membersihkan sisa-sisa air matanya. Segera digendongnya Kevin kecil yang sama
sekali tidak bisa mengerti untuk apa air mata pria itu mengalir.
Ah, Kevin merindukan semuanya.
Mengapa sekarang mendadak perasaannya menghangat? Senyumannya yang tersungging
tipis hanya tipu daya, menolak reaksi dari apa yang kemudian menjalar dalam
rongga dadanya.
Namun, apa yang bisa dilakukannya
ketika ia menginjak usia empat belas tahun? Usia dimana Kevin membutuhkan
keberadaan orang tua sebagai pendorong dalam hidupnya. Tapi dimana peran ayah
yang dulu bersedia menanggung semua beban hidupnya hanya demi membahagiakan
Kevin sendiri?
Bahkan, tak lama ini ia mengetahui
sendiri. Sejak lahir ia tidak pernah tahu siapa ibunya, sampai menginjak umur
ke tujuh belas ia tak sengaja menemukan sebuah foto usang berdebu di lemari
yang ada di kamar ayahnya.
Ibunya tidak beda jauh dengan
karakteristik wajahnya saat ini yang putih bersih, matanya yang kecil dan
terkesan memikat. Rambutnya yang pirang, meski sebenarnya Kevin tidak pernah
tahu hubungan darah antara ibunya dengan orang luar negeri yang kebanyakan
berambut pirang. Hidungnya mancung dan juga berperawakan tinggi.
Kevin hidup bersama pamannya, yang
juga sibuk sebagai juru masak di salah satu restaurant. Keduanya bertemu hanya
sebulan sekali. Selama ini, ia hidup dari jerih payah pamannya yang bersedia
mengandalkan pikiran serta ototnya untuk mempertaruhkan masa depan Kevin.
Ibunya mengalami kecelakaan yang parah
ketika sedang mempertaruhkan nyawa Kevin, yang saat itu sudah tiba untuk
melihat dunia luar. Namun, naas, harapan yang diharapkan Ken –ayah Kevin harus
kandas begitu saja. Jalanan berkabut yang menutupi penglihatannya sebelumnya
hanya terlihat biasa, tapi tiba-tiba di pertigaan sebuah motor dengan kecepatan
tinggi menyalipnya hingga Ken kehilangan fokus dan lupa mengendalikan diri.
Saat itu ibunya yang mengalami
pendarahan hebat segera dilarikan ke rumah sakit, juga ayahnya yang hanya
mengalami pendarahan di sekitar pelipis karena bertemu dengan roda kemudi
secara keras.
Dan tak lama setelah itu dokter
mengabarkan bahwa bayi yang berada dalam kandungan ibunya selamat, di situlah
Kevin mulai melihat dunia meski belum bisa memaksa diri untuk menjelajahnya
lebih dalam lagi. Namun, berita menyenangkan itu disengat dengan kabar
meninggal ibunya akibat pendarahan di otaknya.
Sekarang, Kevin memandang
keluarganya tak lagi bernyawa. Ibunya yang telah berada pada dunia lain, juga
ayahnya yang telah berada di dunia kehancuran. Beberapa kali ayahnya masuk
jeruji besi akibat dari sifatnya yang tidak pernah kapok menyikapi kebiasaan
buruknya. Kini, Kevin telah terlahir kembali sebagai seorang anak narapidana.
Meski begitu, ayah tetaplah ayahnya.
“Aku tidak bisa melukiskan sehancur
apa kehidupanku, tapi aku bisa menyusun rencana yang lebih bagus untuk masa
depanku.”
***
Kita
tidak pernah tahu teman kita seperti apa. Maka bersiaplah jika salah satu dari
mereka mengkhianati kita.
Senyuman yang terpatri dari sudut bibirnya
membentuk kesakitan yang dalam, sekaligus bangga. Senyum yang menandakan luka
dalam. Kini, semangatnya telah hilang, cambuk akan tamparan yang sangat dahsyat
dari masa depan terlalu kuat untuk menahannya.
Kau
tidak akan pernah bisa berlari dari kesepian, sebelum kau memiliki kebersamaan
kuat yang kau rajut sendiri dengan siapapun.
Kalimat kedua. Untuk ke sekian
kalinya, ia tersenyum, menghapus sisa-sisa air matanya yang menganaksungai pada
kedua pipinya sehingga membentuk patahan-patahan kecil. Hatinya terasa sangat
pilu, sakit yang bertengger di dalamnya terlalu mengiris celah-celah sepi yang
membeku dalam waktunya.
Betapapun ia seorang laki-laki,
tidak pernah tahu sejauh mana ia bisa menahan tangisnya terhadap hal-hal yang
membuatnya sedih. Pun tak pernah tahu sedalam apa kelemahannya, sampai ia
terlalu sentimental dengan kehilangan yang baru saja menapaki punggung
hidupnya.
Pandangannya beralih memandang
sepasang telapak tangannya yang menengadah. Sekarang, apa yang harus
dilakukannya? Apa yang bisa dilakukannya? Ia hidup dalam kesendirian, dalam
kesepian yang tidak menyimpan sedikit pun arti yang penting. Cahaya yang
menjurus kepada impian yang dulu sempat terekam, tak lagi dapat terjalin indah.
Hanya kegelapan yang menemaninya
saat itu. Cahaya lilin yang memudar tidak begitu dihiraukannya, sementara itu
sebuah buku berisi kumpulan puisi masih terbuka di atas meja. Dengan
mengandalkan cahaya lilin, ia dapat membaca semuanya, dapat dengan jelas
mengetahui kehidupan si pemilik buku, meski sebagian ada yang hanya ditulis
berdasarkan imajinasi.
Baiklah, permainan akan segera
dimulai. Sekarang sosoknya telah mengalami reinkarnasi menjadi sosok yang kuat.
Dunia baru kini berada dalam genggamannya, hanya tinggal mencari cara bagaimana
ia berperan di dalamnya.
Dia, laki-laki yang tak pernah bisa
bersosialisasi. Dan sekarang, dorongan kuat itu menghantamnya untuk menjadi
sosok yang baru, yang bisa berinteraksi dengan siapapun. Sekarang ia akan
melanjutkan misi yang belum tersampaikan. Tujuan yang menguap begitu saja
karena sebuah kematian.
Baiklah, semuanya akan dimulai
sekarang, seiringan dengan kepalan tangannya yang menandakan kobaran semangat
yang membakar jiwanya. Ya, kedua kakinya siap melangkah menapaki dunia yang
baru. Dunia asing yang akan diubahnya menjadi kenyamanan untuk dirinya sendiri.
Well,
welcome my new world.
Senyumannya mengembang, bersamaan
dengan cahaya lilin yang padam. Lalu buku tulis berisi puisi-puisi itu
ditutupnya begitu saja. Ia bangkit dan segera berjalan, sebelum akhirnya
membanting pintu ruangan itu. Ruangan yang sulit untuk ditinggalkannya.
Namun, ini adalah sebuah keharusan
yang perlu ditindaklanjuti. Langkahnya harus segera berjalan di atas egonya,
sekarang ini. Meski tidak memiliki hal yang khusus, kedua tangannya akan mampu
meraup ribuan cara untuk mewujudkan kebahagiaannya.
Ya.. ia, laki-laki tinggi penakut
yang akan mengubah diri menjadi seorang pemberani, demi mewujudkan kebahagiaan
milik orang yang disayanginya. Dan, kebahagiaan yang sejati telah ada di
depannya, yang terpenting sekarang ia harus bergegas meraihnya dan mulai turun
ke jalanan.
Well,
the scenario will begin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar