Kamis, 16 Juni 2016

Berapa Banyak Langit Biru yang Terlihat? [2]


Baca juga: Berapa Langit Biru yang Terlihat? [1]

Hujan deras yang mengguyur sore itu membuat bayangan Devan jatuh tepat pada hari-hari yang lalu, hari yang melambangkan kedamaian itu. Di saat semua orang sibuk dengan kebersamaan yang dibuatnya se-berkesan mungkin. Tapi, hanya ia sendiri, satu-satunya orang yang pergi dari momen yang berharga itu.

            Jangan tanya lagi siapa pemicunya. Sementara menipu pikirannya yang tengah kalut akan ketiadaan Jase, pikirannya beralih menuju Raina. Tentu saja, secara tidak langsung dengan dua jurus cepatnya kini pikirannya telah jatuh pada dua orang yang berbeda. Raina dan sosok perempuan yang belum ia ketahui namanya. Perempuan yang memang mirip Raina.

            Bodohnya lagi, ia tidak sempat bertanya.


            Hingga akhirnya nama Jase kembali melintasi ingatannya. Untuk ke sekian kalinya pun, ia menepis bayangan laki-laki itu. Seharusnya, sekarang ia berada di universitas yang sama dengan laki-laki itu. Hanya saja, Devan terlalu menutup diri. Ia sendiri yang akan menyelesaikan semua urusan untuk masuk ke universitas mana yang akan ia tuju.

            Demi menjebak keinginannya untuk meraih ponsel –menghubungi Jase– Devan memaksa egonya membeku, mengambil gitar di pojok ruangan dan memainkan senarnya dengan mahir. Sepintas, sebuah lagu mengalun, meski kemudian suaranya nyaris hilang di antara gemuruh hujan.

            Devan mengutuk dalam hati. Barangkali, ia harus membuat dirinya sesibuk mungkin untuk melupakan urusan masa lalunya. Ia tidak ingin mengigat lagi nama sahabatnya, juga nama orang yang dicintainya. Meski suatu saat, nama-nama itu akan hadir dalam ingatannya, meski hanya selintas.

            “Maaf.”

            Arah pandangannya menuju nakas. Laki-laki mana yang akan berani menyimpan fotonya berdua bersama sahabatnya sendiri? Karena Jase, ia hampir dikatai sebagai gay. Devan yang cenderung tertutup dan tidak pernah menjalin hubungan dengan perempuan mana pun, membuat orang-orang berpikir sangat eksentrik.

            Lantas Devan mengayunkan langkah ringan dan meraih figura kecil di atas nakas, lalu membuangnya ke dalam tong sampah.

            “Tidak ada hal dari kita yang bisa dianggap berharga. Kelicikan yang meliputi persahabatan kita tak ada lagi yang bisa ditolerir.”

            Kadang, memang lebih baik sendiri. Meski suatu waktu titik dari kesendirian itu adalah kesepian, yang menghubungkan ingatannya dengan hal-hal lalu yang dirasa sangat membebani hidupnya, membuat rindu meronta dan berceloteh sepuasnya. Sementara itu, rasa sesak yang tertinggal tak dapat mengubah keadaan.
***

            Raina memandang bayangan wajahnya yang terpantul pada sebuah cermin datar di depannya. Siapa sangka, potongan rambut depannya kini telah tumbuh menutupi keningnya. Raina membenarkan, rambutnya yang hitam tipis itu sangat mudah berkembang.

            Sementara waktu menunjukkan pukul sebelas siang, langkahnya kembali mengarah kepada deretan buku filosofi. Ia tertarik dengan dunia filsafat, meski sebenarnya ketertarikannya itu juga bisa dikalahkan dengan kecintaannya terhadap musik.

            Perempuan berbiola itu memang tidak bisa menjanjikan kapan tepatnya ia akan mahir menemukan bentuk kemahirannya di bidang lain. Sesekali ia tertarik dan menyelam dalam suatu bidang, tetapi tak butuh waktu lama kebosanan telah membawanya kembali meninggalkan dunianya yang baru.

            Setelah berhasil menemukan buku yang dimaksud, ia segera memapah langkahnya menaiki anak tangga dengan optrede yang cukup seimbang untuk perempuan seukurannya. Dengan santai, langkahnya mengayun menapaki satu persatu aantrede. Hingga tanpa sadar, sebuah kertas mengayun perlahan dari dalam buku.

            Raina tiba di tempat yang dimaksud setelah beberapa menit berlalu dari perpustakaan kompleks. Segera ia menghempaskan tubuhnya di atas kursi panjang yang dipasang di tiap sudut taman.

            Tangannya yang mungil perlahan bergerak mengimbangi kerja otaknya, membuka lembaran demi lembaran. Memangnya apa yang ia cari? Ia terkekeh perlahan menyadarinya. Dengan susah payah ia mencari buku yang dituju, dan setelah berhasil menemukannya, ia hanya mengincar bagian akhirnya. Bagian kesimpulan.

            Tapi, ada sesuatu yang mengusik kegiatannya, meski Raina hanya memandangnya sekilas melalui ekor matanya. Seorang laki-laki yang sibuk mengayuh sepeda. Omong-omong tentang mengayuh sepeda, ia jadi teringat kejadian beberapa hari yang lalu.

            “Omong-omong, kau boleh memegang pundakku.” Sahut Raina tanpa menoleh ke belakang, membuat suara dengusan kesal dari belakang terdengar jelas. Ia sama sekali tidak mengenal jauh sosok laki-laki di belakangnya, tapi sekarang ia berjanji akan menunjukkan sesuatu demi mengatasi kesalahpahaman.

            Tepukan yang cukup keras berhasil mendarat di pundaknya. Sekali, dua kali, hingga akhirnya Raina berhenti mengayuh dan menoleh ke belakang. Kesal.

            “Aku yang lebih kesal. Sudah kubilang, biarkan aku saja yang mengayuh.” Keluhnya, lalu turun dari sepeda dan berdiri di samping Raina. “Reputasiku sebagai laki-laki akan hancur hanya karena terlihat dibonceng perempuan. Apa aku terkesan selemah ini?”

            Mendengar ocehan laki-laki itu, Raina hanya tertawa. Siapa sangka, laki-laki itu akan terus mengoceh untuk menepikan bentuk komplainnya terhadap ide –yang dianggap– cemerlang oleh Raina sendiri.

            “Jadi, kalau hanya mengandalkan perdebatan, kapan kita akan menepi?” Tanya Raina singkat, sementara itu Devan hanya mengangkat bahu acuh.

            Sedetik kemudian, wajah laki-laki itu berseri kembali. Ia mendekati Raina perlahan dan mulai berpikir sejenak.

            “Supaya impas. Bagaimana kalau kita sama-sama berjalan menuju ke tempat yang kau maksud?” Tanyanya, menyiratkan kebingungan pada ekspresi Raina. “Ah, hm, masalah sepeda... kau dorong saja.”

            “Tapi kau yang mendorong?” Sambar Raina cepat, membuat Devan terbelalak. Sedetik kemudian laki-laki itu berjalan mendahuluinya, dengan santainya memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana tanpa merasa terbebani dengan apapun.

            Raina mendengus kesal. Tetapi suara dering telepon menahan langkahnya. Dilihatnya sederetan nomor pada layar ponselnya sebelum akhirnya ia menggumamkan nama dari si penelepon.

            “Iya, hallo, ma?”

            Raina memandang sebentar ke depan, Devan masih berjalan tanpa menghiraukan apapun.

            “Lho, kakaknya Jase datang ke rumah? Memangnya ada apa?”

            Mengingat Jase, membuatnya merasa sangat bersalah kepada laki-laki itu. Tapi, entahlah ia pun tidak bisa berbuat banyak.

            “Bertemu aku? Memangnya ada perlu apa?” Ia menghujani ibunya dengan beberapa pertanyaan. “Oh, baiklah. Sebentar lagi aku akan segera tiba di rumah.”

            Raina memasukkan ponsel ke dalam saku seragamnya, lalu segera menaiki sepeda dan mengayuh sepeda dengan kecepatan tinggi hingga akhirnya tiba di depan laki-laki menyebalkan itu.

            “Dev,”

            “Eh, eh, curang bener. Wah–“

            “Jarak ke rumahmu dari sini dekat ‘kan?”

            Devan tertegun sebentar, tampaknya sedang berpikir. “Sepertinya begitu.”

            “Baguslah. Maaf, aku ada kepentingan mendadak. Jadi, lain kali akan kuajak kau kesini. Bagimana?” Tanya Raina lirih, takut jika laki-laki itu tiba-tiba marah mengingat raut wajahnya yang mulai berubah sejak pertanyaannya melontar beberapa detik yang lalu.

            “Tapi–“

            “Yah, maaf sekali. Tidak masalah, kan?”

            Melihat kedua matanya yang luruh, Raina tersenyum. Tanpa menghiraukan pertanyaan Devan selanjutnya, ia segera mengayuh sepeda dengan kecepatan tinggi. Meninggalkan sosok laki-laki berpakaian formal itu bak tersesat di tengah jalan, yang sama sekali tidak tahu-menahu soal arah jalan pulang.

            “Eh sepedaku!”

            Sontak lamunannya buyar ketika dibangunkan dengan suara teriakan yang mendarat tanpa permisi di telinganya. Tapi ujung matanya yang mulai menghangat, membuat teriakan itu tidak terlalu dihiraukannya.

            Detik berikutnya, ia mulai tersadar dengan benda kecil yang melingkari pergelangan tangannya. Hari sudah semakin siang, pantas saja sinar matahari yang menjemur tubuhnya terasa semakin menyengat.

            Pandangannya mulai mengedar ke sekeliling. Taman hanya menyisakan seorang laki-laki seukuran Devan yang masih sibuk dengan sepedanya. Ah, kali ini laki-laki itu tidak sedang mengayuh, melainkan sedang membenarkan sesuatu.

            Tanpa tahu angin dari mana, langkahnya berjalan menuju laki-laki itu. Raina tidak tahu apa yang akan dilakukannya ketika sampai disana, yang jelas ia hanya ingin tahu apa yang sedang dilakukannya.

            Laki-laki itu mendongak, berlalu dari kesibukannya begitu Raina menghentikan langkahnya tepat di sebelah laki-laki itu. Tangan laki-laki itu mulai kotor, juga wajahnya yang terlihat frustasi.

            “Ada apa?”

            Pertanyaan sama yang ingin dilontarkan Raina, tapi laki-laki itu mendahuluinya. Pikirannya melayang jauh ke belakang. Ia sepertinya mengenal laki-laki ini, meski kemudian kepalanya mulai sakit ketika ia memaksanya untuk berpikir.

            “Apa yang kau lakukan?”

            “Rantai sepedaku tadi lepas. Tapi aku tidak terlalu khawatir.” Katanya, disusul dengan senyuman tulus.

            Senyumannya yang kental dengan ingatannya, membuat Raina benar-benar penasaran. Apa ia sedang mengalami déjà vu? Tapi tidak, mimpinya selama ini tidak pernah mengisahkan pertemuan dengan seorang laki-laki bersepeda.

            “Syukurlah.” Balas Raina, lalu segera berlalu meninggalkan taman kompleks.
***

            Kevin memandang perempuan beperawakan tinggi putih itu menjauh. Punggungnya yang berjalan menjauh semakin membuatnya penasaran. Mengapa saat di dekat perempuan itu, sepasang matanya tidak begitu asing?

            “Pikiran aneh.” Gumamnya perlahan, seraya menyunggingkan senyuman. Mungkin, ia terlalu sering membaca serial komik yang membawa dunianya jatuh ke dalam sebuah fantasi yang liar. Terlebih, ia adalah seorang penyuka fantasi.

            Hal-hal yang berbau fantasi itu kerap telah menjadi bagian dari nafasnya. Kamarnya pun yang masih menggunakan desain fantasi liar dengan pelataran dunia mimpi, masih melekat dengan sifatnya yang lugu. Meskipun pada akhirnya semua orang menilainya sebagai anak kecil yang lugu, tetapi badannya cukup tinggi.

            Umurnya yang beberapa bulan lalu menginjak delapan belas tahun menjadi suatu cambuk menyakitkan baginya, bahwa kesenangan tidaklah harus dibawa hingga kedewasaan membekalinya buah dari masa depan. Tapi, apa yang bisa dilakukannya ketika dunia fantasi masih lengket dengan kehidupannya?

            Kevin yang terlahir tanpa seorang ibu, membuatnya bebas untuk mengekspresikan apapun. Terlebih ayahnya mendukung apa yang dilakukannya, ayahnya sangat menyayanginya. Belum lagi, statusnya sebagai anak tunggal tak beradik, dan hingga kapanpun ia tidak akan pernah memiliki adik.

            Hingga suatu bayangan yang merekam percakapannya dulu bersama sang ayah jatuh tepat dalam pikirannya.

            “Ayah, Kev ingin punya ade, yah.. Memangnya kapan ibu pulang?” Rengeknya seraya menggelantung manja di tangan ayahnya.

            Ayahnya yang terlihat lelah hanya tersenyum, seraya mengambil posisi jongkok untuk menyeimbangkan posisinya dengan Kevin.

            “Kev, suatu saat ibu pasti pulang,” Ucapan ayahnya belum selesai, karena air mata ayahnya saat itu turut mengambil peran dalam dialog. Lalu, ayahnya membawa anak kecil berambut pirang itu ke dalam rengkuhannya.

            “Kev, jadilah anak yang bisa membanggakan ayah. Tunjukkan masa depanmu lebih baik, masa depanmu lebih cerah daripada ayahmu. Dan suatu saat bawalah keberhasilan itu,”

            Kevin yang saat itu hanya sebatas anak kecil hanya terdiam di pelukan sang ayah, merasakan hangatnya tangan sang ayah yang mengusap lembut punggungnya. Sementara itu isak tangisnya belum mereda.

            “Ayah, Kevin ingin seperti ayah,..”

            Mendengar suara lembut Kevin, ayahnya segera menarik diri dan memandang Kevin dengan tatapan tajam.

            “Kev tidak boleh seperti ayah. Kev harus lebih sukses dari ayah.” Pria separuh baya itu segera menggenggam tangan Kevin dan mengangkat tangannya tepat di depan wajahnya, seolah memberi dorongan kuat. “Kev pasti bisa melakukan semuanya.”

            Kevin hanya memandang tangan mungilnya yang digenggam kuat ayahnya, juga tidak lepas dari pandangan ayahnya yang terlihat sayu dan berair.

            “Suatu saat, tunjukkanlah kesuksesanmu itu kepadaku. Saat ini dunia tertuju kepadamu dan kau harus bisa melawan kerasnya dunia.” Sahut sang ayah, lalu bergegas berdiri dan membersihkan sisa-sisa air matanya. Segera digendongnya Kevin kecil yang sama sekali tidak bisa mengerti untuk apa air mata pria itu mengalir.

            Ah, Kevin merindukan semuanya. Mengapa sekarang mendadak perasaannya menghangat? Senyumannya yang tersungging tipis hanya tipu daya, menolak reaksi dari apa yang kemudian menjalar dalam rongga dadanya.

            Namun, apa yang bisa dilakukannya ketika ia menginjak usia empat belas tahun? Usia dimana Kevin membutuhkan keberadaan orang tua sebagai pendorong dalam hidupnya. Tapi dimana peran ayah yang dulu bersedia menanggung semua beban hidupnya hanya demi membahagiakan Kevin sendiri?

            Bahkan, tak lama ini ia mengetahui sendiri. Sejak lahir ia tidak pernah tahu siapa ibunya, sampai menginjak umur ke tujuh belas ia tak sengaja menemukan sebuah foto usang berdebu di lemari yang ada di kamar ayahnya.

            Ibunya tidak beda jauh dengan karakteristik wajahnya saat ini yang putih bersih, matanya yang kecil dan terkesan memikat. Rambutnya yang pirang, meski sebenarnya Kevin tidak pernah tahu hubungan darah antara ibunya dengan orang luar negeri yang kebanyakan berambut pirang. Hidungnya mancung dan juga berperawakan tinggi.

            Kevin hidup bersama pamannya, yang juga sibuk sebagai juru masak di salah satu restaurant. Keduanya bertemu hanya sebulan sekali. Selama ini, ia hidup dari jerih payah pamannya yang bersedia mengandalkan pikiran serta ototnya untuk mempertaruhkan masa depan Kevin.

            Ibunya mengalami kecelakaan yang parah ketika sedang mempertaruhkan nyawa Kevin, yang saat itu sudah tiba untuk melihat dunia luar. Namun, naas, harapan yang diharapkan Ken –ayah Kevin harus kandas begitu saja. Jalanan berkabut yang menutupi penglihatannya sebelumnya hanya terlihat biasa, tapi tiba-tiba di pertigaan sebuah motor dengan kecepatan tinggi menyalipnya hingga Ken kehilangan fokus dan lupa mengendalikan diri.

            Saat itu ibunya yang mengalami pendarahan hebat segera dilarikan ke rumah sakit, juga ayahnya yang hanya mengalami pendarahan di sekitar pelipis karena bertemu dengan roda kemudi secara keras.

            Dan tak lama setelah itu dokter mengabarkan bahwa bayi yang berada dalam kandungan ibunya selamat, di situlah Kevin mulai melihat dunia meski belum bisa memaksa diri untuk menjelajahnya lebih dalam lagi. Namun, berita menyenangkan itu disengat dengan kabar meninggal ibunya akibat pendarahan di otaknya.

            Sekarang, Kevin memandang keluarganya tak lagi bernyawa. Ibunya yang telah berada pada dunia lain, juga ayahnya yang telah berada di dunia kehancuran. Beberapa kali ayahnya masuk jeruji besi akibat dari sifatnya yang tidak pernah kapok menyikapi kebiasaan buruknya. Kini, Kevin telah terlahir kembali sebagai seorang anak narapidana. Meski begitu, ayah tetaplah ayahnya.

            “Aku tidak bisa melukiskan sehancur apa kehidupanku, tapi aku bisa menyusun rencana yang lebih bagus untuk masa depanku.”
***
           
Kita tidak pernah tahu teman kita seperti apa. Maka bersiaplah jika salah satu dari mereka mengkhianati kita.

Senyuman yang terpatri dari sudut bibirnya membentuk kesakitan yang dalam, sekaligus bangga. Senyum yang menandakan luka dalam. Kini, semangatnya telah hilang, cambuk akan tamparan yang sangat dahsyat dari masa depan terlalu kuat untuk menahannya.

Kau tidak akan pernah bisa berlari dari kesepian, sebelum kau memiliki kebersamaan kuat yang kau rajut sendiri dengan siapapun.

            Kalimat kedua. Untuk ke sekian kalinya, ia tersenyum, menghapus sisa-sisa air matanya yang menganaksungai pada kedua pipinya sehingga membentuk patahan-patahan kecil. Hatinya terasa sangat pilu, sakit yang bertengger di dalamnya terlalu mengiris celah-celah sepi yang membeku dalam waktunya.

            Betapapun ia seorang laki-laki, tidak pernah tahu sejauh mana ia bisa menahan tangisnya terhadap hal-hal yang membuatnya sedih. Pun tak pernah tahu sedalam apa kelemahannya, sampai ia terlalu sentimental dengan kehilangan yang baru saja menapaki punggung hidupnya.

            Pandangannya beralih memandang sepasang telapak tangannya yang menengadah. Sekarang, apa yang harus dilakukannya? Apa yang bisa dilakukannya? Ia hidup dalam kesendirian, dalam kesepian yang tidak menyimpan sedikit pun arti yang penting. Cahaya yang menjurus kepada impian yang dulu sempat terekam, tak lagi dapat terjalin indah.

            Hanya kegelapan yang menemaninya saat itu. Cahaya lilin yang memudar tidak begitu dihiraukannya, sementara itu sebuah buku berisi kumpulan puisi masih terbuka di atas meja. Dengan mengandalkan cahaya lilin, ia dapat membaca semuanya, dapat dengan jelas mengetahui kehidupan si pemilik buku, meski sebagian ada yang hanya ditulis berdasarkan imajinasi.

            Baiklah, permainan akan segera dimulai. Sekarang sosoknya telah mengalami reinkarnasi menjadi sosok yang kuat. Dunia baru kini berada dalam genggamannya, hanya tinggal mencari cara bagaimana ia berperan di dalamnya.

            Dia, laki-laki yang tak pernah bisa bersosialisasi. Dan sekarang, dorongan kuat itu menghantamnya untuk menjadi sosok yang baru, yang bisa berinteraksi dengan siapapun. Sekarang ia akan melanjutkan misi yang belum tersampaikan. Tujuan yang menguap begitu saja karena sebuah kematian.

            Baiklah, semuanya akan dimulai sekarang, seiringan dengan kepalan tangannya yang menandakan kobaran semangat yang membakar jiwanya. Ya, kedua kakinya siap melangkah menapaki dunia yang baru. Dunia asing yang akan diubahnya menjadi kenyamanan untuk dirinya sendiri.

            Well, welcome my new world.

            Senyumannya mengembang, bersamaan dengan cahaya lilin yang padam. Lalu buku tulis berisi puisi-puisi itu ditutupnya begitu saja. Ia bangkit dan segera berjalan, sebelum akhirnya membanting pintu ruangan itu. Ruangan yang sulit untuk ditinggalkannya.

            Namun, ini adalah sebuah keharusan yang perlu ditindaklanjuti. Langkahnya harus segera berjalan di atas egonya, sekarang ini. Meski tidak memiliki hal yang khusus, kedua tangannya akan mampu meraup ribuan cara untuk mewujudkan kebahagiaannya.

            Ya.. ia, laki-laki tinggi penakut yang akan mengubah diri menjadi seorang pemberani, demi mewujudkan kebahagiaan milik orang yang disayanginya. Dan, kebahagiaan yang sejati telah ada di depannya, yang terpenting sekarang ia harus bergegas meraihnya dan mulai turun ke jalanan.

            Well, the scenario will begin.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar