Kamis, 02 Juni 2016

Berapa Banyak Langit Biru yang Terlihat? (Part 1)

BERAPA BANYAK LANGIT BIRU YANG TERLIHAT?
PART 1


            Bel pertanda istirahat mulai membangunkan seluruh penghuni sekolah. Guru kelas yang mendapat jadwal mengajar segera menutup kegiatannya, sementara itu penghuni kelas mulai keluar dari kelasnya masing-masing menuju kantin.

            Pertengahan siang yang cukup dihias cahaya mentari yang masih terlihat sayu tidak membakar semangat belajar SMA Trenlight. Bahkan dari raut mereka seolah menegaskan bahwa hari-hari yang mereka jalani sama sekali tidak terlihat dibebani dengan kegiatan sekolah.

            Dari beberapa siswa yang berjalan di koridor, seorang laki-laki –dengan poni depan yang dibuat menjulang tinggi membentuk sebuah jambul– mengedarkan pandangan ke arah kantin. Istirahat di menit-menit pertama, kantin didominasi dengan rasa sesak. Suasana berdesakan itu yang akan membuatnya sesak.

            Lalu, sebuah tangan dari belakang mencapainya. Gerakan yang terhitung cepat, membuatnya menoleh dan lawan bicaranya tersenyum menatapnya.


            “Selamat siang, Devan.” Sapa sahabatnya.

            Ya, Devan memiliki seorang sahabat. Meskipun selalu satu sekolah, tetapi mereka tidak pernah satu kelas. Terakhir menginjak bangku pendidikan dan sekelas dengannya ialah ketika tahun kedua pada masa sekolah menengah pertama.

            “Hei, Jase, apa kabar?” Alih-alih menjawab sapaan sahabatnya, Devan bertanya dengan nada sedikit meninggi dan seolah dibuat-buat seriang mungkin. “Aku baru teringat sesuatu. Hm, tadi pagi kau meninggalkanku.”

            Jase tertawa.

            “Apa kau benar-benar ingin meninggalkanku?” Tanyanya dengan tatapan mengiterogasi.

            Jase berjalan memutar, menepikan langkahnya menuju salah satu tempat duduk yang berada di pinggiran koridor. Saat itu juga Devan baru menyadari bahwa posisinya menghalangi orang-orang yang berlalu-lalang di koridor.

            “Kupikir kau sudah berangkat terlebih dahulu.” Kata Jase seraya mengangkat sebelah alisnya. “Apakah kau tidak berniat untuk mengisi perutmu yang mengerikan?”

            “No!” Sergah Devan. “Jangan sesekali mengalihkan tanyaku. Aku tidak punya banyak waktu untuk menemuimu.”

            Jase hanya mengangkat bahu, lalu mendesah pelan. Laki-laki itu sama sekali belum menjawab pertanyaan Devan. Baiklah, dua hal yang membuat Devan merasa jengkel pada hari ini ialah ditinggalkan sahabatnya sendiri dan diabaikan di jam istirahat seperti ini.

            “Omong-omong,” Jase bangkit, memasukkan sepasang tangannya ke dalam saku celananya, lalu mengedarkan pandangan ke arah gedung bertingkat yang berada di atas. “Apa kau ingin menemaniku menonton pertandingan basket antar-siswi?”

            “Tentu.” Sahutnya, lalu bangkit dan segera berjalan mengikuti Jase yang telah terlebih dahulu berjalan mendahuluinya.

            Devan mengutuk dalam hati. Diam-diam, ia menyimpan dendam terhadap sahabatnya. Ah, lebih tepatnya menyimpan sebuah pertanyaan.

            Beberapa menit kemudian, mereka tiba di sebuah ruangan yang cukup luas. Lapangan basket indoor, yang dipenuhi dengan beberapa guru olahraga dan Pembina basket. Selain itu, beberapa orang laki-laki dan perempuan yang tergabung ke dalam penonton duduk di tepi lapangan seraya mengobrol untuk mengisi waktu.

            Waktu pertandingan sepertinya belum dimulai. Sementara itu, Devan sibuk mencari tempat duduk, sebelum akhirnya menemukan tempat kosong yang layak untuk diduduki. Ia bersama sahabatnya mendapat tempat paling depan.

            Suara pengisi acara mulai bergema lewat microfon yang dipegangnya, menegaskan bahwa pertandingan akan segera dimulai. Entah mengapa, pertandingan basket antar-siswi selalu terlihat lebih menarik daripada pertandingan antar-siswa.

            Pertandingan itu dilaksanakan setahun sekali, merupakan salah satu bagian dari program kerja kepengurusan OSIS di sekolahnya yang bertujuan untuk menjaga kerja sama dan kekompakan antar kelas. Selain itu, program itu dimaksudkan untuk mengevaluasi kekurangan setiap individu dalam berkelompok.

            Masing-masing perwakilan kelas mulai mengisi lapangan. Masing-masing kelompok dari mereka mulai berunding membentuk lingkaran kecil, seolah-olah menjelaskan bagaimana pertandingan itu harus dijalankan.

            “Apa kau berpikir akan keluar dan kembali kesini ketika pertandingan dimulai?” Tanya Devan seraya menoleh ke arah Jase yang tengah menitikkan arah pandangnya ke ponsel. “Wah, rupanya kau punya pacar!” Sahut Devan ketika berhasil merebut ponsel milik Jase, membuat laki-laki itu rusuh dengan sendirinya.

            “Apa maksudmu?” Tanyanya seraya berusaha meraih tangan Devan yang mengacung di udara seraya menggenggam ponsel milik Jase.

            Devan mengangkat alis seraya tersenyum licik, memandang sahabatnya dengan tatapan nakal.

            “Baiklah,” Jase mengembuskan nafas pasrah. “Tetapi kembalikan dulu ponselku.”

            “Apa?”

            “Aku memang tengah dekat dengan seorang perempuan, kupikir aku benar-benar menyukainya. Caranya tersenyum ke semua orang membuatku terkesan untuk pertama kalinya.” Jelas Jase panjang lebar, dengan tujuan agar Devan tidak menghujaninya beberapa pertanyaan terselubung.

            “Perempuan?” Devan sedikit memiringkan kepalanya, sebagian rambut depannya yang memuncak memisahkan diri dari jambul khas itu.

            “Kupikir aku tidak punya banyak waktu untuk membalas gurauanmu.” Balasnya, kemudian kembali menatap ponsel ketika nada tanda pesan masuk tiba di ponselnya.

            Devan mengangkat bahu. “Sudah kuduga akan seperti ini.”

            Jase menoleh dan menatap Devan dengan pandangan seolah bertanya, apa maksudmu? Tetapi kemudian Devan menggeleng dan segera mengangkat bahu.

            Selang beberapa menit, peluit pertanda dimulai pertandingan membuat seluruh penonton di belakang bangkit untuk ikut fokus menyaksikan pertandingan. Tetapi arah pandang para pemain menuju ke arah pintu, yang memperlihatkan seorang perempuan yang tengah berlari dengan tergesa-gesa.

            Untuk pertama kalinya.. Devan memandangnya lama. Masih terus dalam berlari, perempuan itu seolah tidak perduli dengan keadaan di sekelilingnya, berlari melewati orang-orang yang menyorakinya karena terlambat.

            “Siapa dia?” Tanya Devan dengan pandangan tetap menyapu perempuan itu. “Aku tidak pernah melihat sebelumnya.”

            “Kau tertarik?’ Tanya Jase, seolah-olah gagasan itu cukup membuatnya tertarik untuk membahas perempuan itu. “Namanya Reina.”

            “Reina?” Devan menoleh ke samping, memandang Jase dengan serius.

            Jase mengangguk. “Ya, Reina Fradely.”

            “Wajah bebek.” Gumamnya, lalu tersenyum memandangnya.

            Perempuan yang disebut-sebut Reina itu tengah menyimpan tas dan segera bergabung ke tengah lapangan untuk mengikuti pertandingan. Perempuan itu sama sekali tidak melepas kacamatanya yang terlihat besar.

            Penampilan perempuan itu sama sekali membuat orang-orang tidak ingin melihatnya. Rambutnya yang diikat menjadi dua bagian rata di samping, kacamata besarnya yang menutupi pesona wajahnya, raut wajahnya yang tidak pernah menyunggingkan sebuah senyuman –jelas tidak membuat orang-orang begitu tertarik terhadapnya.

            Untuk pertama kalinya Devan menyadari keberadaan perempuan itu. Ia sama sekali tidak pernah melihatnya, bahkan ketika sesekali mencoba untuk menyaksikan teman sekelasnya yang juga bergabung dalam club basket.

            “Dia bukan orang yang cukup populer.” Kata Jase, seolah-olah membaca raut wajah Devan –meskipun tidak sepenuhnya terarah kepada laki-laki itu. “Kau tahu tentang pemilihan siswi perkelas yang diadakan setiap tahun?”

            Devan mengangguk, tetapi tak ada jawaban. Beberapa detik berikutnya ia menoleh dan menyadari bahwa Jase tidak sedang menatapnya. Sudah jelas laki-laki itu tidak akan tahu jawabannya, lalu segera meralatnya, “Kenapa?”

            “Dia bukan peringkat atas.” Kata Jase. “Dia hanya orang yang biasa saja. Pelajaran termasuk akademik pun tidak terlalu menonjol.”

            Tetapi entah mengapa, Devan merasa dari semua yang diceritakan sahabatnya itu membuat Devan ingin sekali tahu banyak tentang perempuan itu. Ada sesuatu yang menarik dari perempuan itu.

            Penampilan?

            Kecerdasan?

            Atau mungkin olahraga?

            Bukankah biasa saja, jika dibandingkan orang lainnya? Adakah hal yang mungkin bisa dibanggakan dari perempuan itu?

            Devan mendapati dirinya memikirkan perempuan itu, sebelum akhirnya menemukan sebuah keraguan terhadap beberapa pertanyaan yang muncul memenuhi pikirannya. Ia sama sekali tak habis pikir bagaimana bisa perempuan itu dengan cepat bertengger dalam pikirannya.

            “Tunggu, ada hal yang menarik tentang dia.” Gumam Devan.

            “Apa?”

            Devan menoleh dan mendapati Jase tengah memandangnya dengan tatapan terkejut. “Ah, tidak. Mungkin aku terlalu banyak berpikir.”

            Pertandingan masih terus berlanjut, tetapi skor menunjukkan bahwa tim perempuan bernama Reina itu jauh lebih tertinggal daripada lawan. Beberapa keringat mulai membasahi leher dan sekitar pelipisnya –menyadari hal itu, Devan bangkit dan bergegas meninggalkan lapangan.
***

            Devan kembali ke dalam lapangan ketika skor kedua tim imbang. Itu artinya, pertandingan akan segera berakhir, dan masing-masing dari tim akan segera berlalu dari lapangan. Mendadak sebuah senyuman tersungging manis di bibirnya.

            Dan di detik-detik berakhirnya pertandingan itu, salah satu teman setim Reina dengan nama punggung Yona membawa bola basket dengan lincah, sebelum akhirnya dilempar menuju Reina ketika lawan mainnya hampir saja merebut bola dari kendalinya.

            Reina tampak menghela nafas panjang, sebelum akhirnya melangkah. Namun sial, kacamata yang terpasang itu mendadak jatuh membuat semua orang berseru. Tetapi perempuan itu tampak acuh, dengan segera membuka dua bagian rambutnya yang terikat menjadi satu kesatuan.

            Dan, bola yang dilemparkan menuju ring ternyata membuahkan hasil yang manis. Pertambahan skor, satu lebih unggul dibanding tim lawan berhasil diraihnya dalam waktu lima detik dari tanda berakhirnya pertandingan.

            Devan setengah tercengang memandangnya. Rambutnya yang tergerai membuat Devan hampir saja membeku dalam diamnya, sebelum akhirnya tersadar dengan bunyi peluit bahwa pertandingan berhasil dimenangkan tim Reina.

            Masing-masing dari mereka mulai berjabat tangan untuk mengakhiri pertandingan, dan Devan yang saat itu tengah mengawasi Reina segera turun mendekati perempuan itu ketika mendapati perempuan itu sedang berjalan meraih tasnya.

            “Hai,” Sapanya. “Omong-omong, tadi caramu bermain benar-benar menakjubkan.”

            Perempuan itu hanya terkekeh pelan, lalu memandangnya Devan. “Terima kasih. Mungkin itu hanya kebetulan.”

            Devan terdiam, sementara perempuan itu berjalan meninggalkan ruangan. Beberapa detik selanjutnya Devan tersadar dan segera berlalu dari masa melamunnya, mengikuti perempuan itu yang berjalan menuju kantin.

            “Omong-omong, kau haus?” Tanyanya, membuat Reina menghentikan langkahnya. “Kau boleh meminumnya.” Katanya, lalu menyerahkan sebotol air mineral.

            “Terima kasih, tapi aku akan membelinya sendiri.” Balasnya.

            Sebelum akhirnya berjalan, Devan terlebih dahulu menahan tangannya. “Tadi seseorang menitipkan ini padamu. Namamu Reina, benar? Yah, kupikir dia temanmu yang berhalangan untuk menyaksikan pertandingan.”

            Dengan modal dusta, Devan bermaksud untuk menarik simpati perempuan itu. Dan ada sesuatu yang berbeda baginya ketika perempuan itu tersenyum dan menerima botol air mineral yang diulurkannya.

            “Omong-omong, kau tahu siapa namanya?”

            “Ah, aku lupa.” Balasnya.

            “Baiklah, terima kasih.”

            Sebelum sempat menjawab, Devan mendapati perempuan itu telah berlalu darinya sejak beberapa detik yang lalu. Tetapi beberapa bagian dari dirinya merasakan sengatan yang aneh ketika memandang perempuan itu dari dekat.

            Apa selanjutnya ia akan menemukan gagasan baru bahwa perempuan itu adalah hal yang terindah, sehingga ia berasumsi bahwa wanita-wanita cantik di seluruh dunia pun tidak ada yang menandinginya?

            Lalu Devan menemukan gagasan bahwa cinta itu seperti berlian yang hanya miliknya, bukankah itu sesuatu yang ingin ditemukan orang lain? Namun setiap orang memiliki nilai masing-masing.

            Di menit berikutnya, Devan terbangun dari delusinya, sebelum akhirnya berjalan meninggalkan kantin yang menyisakan orang-orang yang masih berusaha untuk mengisi perutnya.
***

            Jarak yang cukup jauh. Keberadaan yang sama sekali tidak diketahui. Dari balik jendela, Devan mengarahkan pandangannya keluar jendela. Ada sesuatu yang membuat pikirannya benar-benar mengenaskan selama pelajaran berlangsung.

            Rasa ingin tahu. Mungkin hanya itu alasan terkuat saat ini. Keberadaan yang lebih tepatnya ditujukan khusus kepada perempuan itu. Meskipun jaraknya dan perempuan itu memang terbilang jauh, bahkan untuk menanyakan nomor ponselnya saja masih tersirat keraguan.

            Tapi ketika Devan mengingat senyumannya yang melahirkan kesan hangat layaknya sinar mentari itu membuat ia sedikit tenang. Hingga akhirnya bel pertanda berakhirnya kegiatan sekolah berakhir dan tanpa sengaja Devan melihat sosok perempuan kecil itu.

            Devan mengalihkan pandangan dari luar menuju ke sekelilingnya. Entah sejak kapan guru yang mengajar di kelasnya pergi meninggalkan kelas, hingga menyisakan teman-temannya yang sedang menyiapkan seluruh peralatannya untuk dimasukkan ke dalam tas.

            “Aku duluan, maaf.” Ujarnya dengan tergesa-gesa, tanpa mengikuti kegiatan yang biasa dilakukan mereka sebelum pulang; berdoa.

            Hal yang cukup konyol bukan? Tetapi, entah mengapa Devan merasa semua hal-hal konyol yang dilakukannya memiliki alasan, tetapi ia sama sekali tidak bisa menyebut perempuan itu sebagai alasan terkuat.
***

            “Kau melamun lagi,”

            Devan mengerjap dan langsung mengarahkan arah pandangnya menuju Jase yang duduk bersandar di depannya. “Maaf, apa katamu tadi?”

            Jase mendesah dan merentangkan tangannya lebar-lebar, lalu menggeliat dengan malas. “Sudah kuduga –kau tahu, hari ini kau terlihat sangat mengerikan. Dengar, sangat mengerikan.”

            Devan sama sekali tidak bermaksud membantah, bahkan ia tidak menanggapi ucapan sahabatnya setelah menyesap kopi hitam yang dipesannya di sebuah kedai kecil yang biasa mereka kunjungi akhir pekan.

            Malam ini adalah malam pertunjukkan festival musik yang biasa diadakan setiap setahun sekali untuk menyambut ulang tahun kotanya. Tetapi letak kesalahannya adalah ketika pada akhirnya Devan jatuh terhempas pada sebuah pertanyaan.

            Tadi siang, perempuan itu sama sekali tidak menghiraukannya ketika Devan berusaha membantunya bangkit. Devan tidak sengaja menabraknya karena tidak terlalu fokus, sementara itu beberapa kertas penting yang dipegang Reina terjatuh dan sebagian meninggalkan bekas alas sepatu milik Devan. Menjengkelkan bukan?

            Tentu saja perempuan itu akan marah kepadanya dan tidak akan memaafkannya. Devan sempat melihat isi kertas itu, yang sepertinya merupakan sebuah lagu yang entah siapa penciptanya. Devan sendiri tidak tahu siapa penyanyinya.

            “Apa yang sedang kau pikirkan, Devan?”

            Devan mengalihkan tatapannya menuju Jase yang masih terlihat memutar selang untuk menghabiskan jus kesukaannya. “Apa maksudmu?”

            Jase mendongak, lalu menatap Devan dengan tegas. “Dengar, kau terlihat lebih murung malam ini. Bahkan jam-jam ke belakang ini membuat aku menyimpulkan bahwa kau tiba-tiba berubah pendiam. Aku tahu, kau butuh seseorang yang bisa kau ajak bicara. Mungkin aku tidak bisa banyak membantu, tetapi aku bisa mendengarkan.”

            Devan meneguk ludah. Pikirannya benar-benar kacau dan sama sekali belum siap untuk memberitahu sahabatnya. Penggunaan ekspresi yang terpasang pada wajah Reina membuat Devan kembali merasakan suram. Seolah-olah waktu sedang mengajaknya perang untuk memenangkan keadaan ke depannya.

            “Aku sama sekali tidak apa-apa. Jadi, kuharap kau tidak terlalu mengkhawatirkanku.” Ucapnya pelan, lalu mengembuskan nafas lega seraya memaksakan seulas senyum.

            “Jadi, bagaimana dengan rencanamu? Apa kau yakin bahwa kau benar-benar menyukai perempuan basket itu?” Jase balas tersenyum lebar.

            Devan mendesah. “Apa kau akan meninggalkanku besok pagi?”

            “Caramu tidak berhasil, teman.” Sahut Jase dengan cepat. “Kenapa kau terlihat mengalihkan pembicaraan?”

            Devan tampak berdosa dan mengalihkan tatapannya menuju kepulan asap kopi dari mug di depannya. Sementara itu, Jase masih terlihat menunggu lawan bicaranya kembali bersuara.

            “Mengingat kau sering memikirkannya akhir-akhir ini, aku jadi menyimpulkan bahwa kau tak hanya menyukainya atau sekedar mengaguminya. Mungkin kau juga penasaran?” Goda Jase seraya tersenyum memamerkan deretan gigi putihnya yang rapi.

            “Aku tak bisa menjelaskannya.” Tegas Devan sambil tersenyum kecil.

            Lalu arah pandang keduanya beralih ke arah perempuan yang baru saja datang. Ia datang sendirian, sama sekali sedang tidak bersama orang lain. Hal itu membuat Devan sedikit mengerjap, mengapa Reina bisa berada disana?

            Mata hitam itu mengedar ke sekeliling, seperti sedang mencari-cari tempat duduk. Devan baru saja menyadari bahwa malam ini adalah malam minggu, kedai selalu dipenuhi dengan anak muda yang ingin menepikan pikirannya dengan bersantai bersama atau sekedar menenangkan diri dengan cara sendirian.

            “Reina!” Seru Devan, walaupun pada akhirnya ia harus menerima resiko yang ditimbulkannya. Tetapi menyapa perempuan itu sama sekali tidak membuatnya gugup.

            Reina menoleh sekilas dan Devan tahu apa yang terjadi ketika Reina mendapatkan dirinya yang duduk bersama Jase –yang jauh lebih dikenal Reina.

            “Hai, Jase.” Sapanya, lalu menghampiri Jase hanya untuk sekedar menyapa. “Bagaimana kabarmu?”

            Jase sedikit berdeham, menoleh ke arah Devan untuk beberapa detik, sebelum akhirnya kembali mengalihkan pandangannya dan tersenyum menatap Reina.

            “Apa kau ingin bergabung bersama kami?” Tanya Devan, berhasil mencuri start untuk berkata.

            Reina memandang Devan lagi, namun hanya sekilas –dan tanpa senyuman yang berarti.

            “Baiklah, aku tahu kau benar-benar membenciku.” Ucapnya dengan malas. “Kurasa aku harus pergi.”

            “Tempat mana lagi yang akan kau datangi?” Tanya Jase, sontak membuat Devan benar-benar membatalkan keinginannya untuk bangkit dan berlalu. “Hanya ini satu-satunya tempat favoritmu, bukan?”

            Devan mengangguk, namun tidak menjawab pertanyaan kecil itu. Ia segera mengenakan jaket kulitnya yang berwarna hitam dan tebal, cukup untuk melindungi tubuhnya dari pengaruh udara dingin di luar pada malam hari.

            “Devan, bisakah kau bersikap seperti kebanyakan remaja?” Tanya Jase. Tapi seperti yang terlihat sebelumnya, laki-laki itu sama sekali tidak mendengarkan perkataan sahabatnya. “Devan!” Desak Jase sekali lagi dan sontak membuat Devan menoleh.

            “Apa?”

            “Kumohon hentikan sikapmu.”

            Devan memandang Jase dengan pandangan tidak suka, kalau saja tidak ada perempuan itu mungkin saja ia sudah melempar Jase keluar lewat jendela kaca di sebelahnya. Sekilas ia mengalihkan pandangan ke arah Reina. Perempuan itu masih tetap berdiri tanpa menatapnya, Devan sama sekali tidak tahu bagaimana perempuan itu dengan mahir mengatur arah pandangnya. Sementara Devan benar-benar tahu bahwa pikirannya pasti sedang terpusat ke arahnya.

            “Untuk apa aku berada di hadapan orang yang sama sekali tidak mengharapkan kehadiranku?”

            Devan menatap Jase yang sedikit menurunkan bahunya, lalu punggung tangannya bergerak halus untuk menepuk lengan Reina.

            “Kau punya masalah dengan sahabatku?” Reina mengangkat bahu ragu. “Kumohon maafkanlah,”

            “Kurasa tidak perlu memaksanya untuk memaafkanku.”

            “Diam kau, Devan.”

            Devan mengatupkan bibirnya, memandang nanar sahabatnya yang berubah menjadi kasar dengan sangat nyata dan Devan menyaksikan secara langsung juga merasakan bentakan laki-laki itu untuk pertama kalinya.

            “Aku tidak akan bersikap seperti ini jika kau tidak memulainya terlebih dahulu.” Tegasnya, seolah-olah membaca pikiran Devan yang sedang kisruh.

            “Aku baru saja ingat bahwa pikiranku tengah kacau dan aku tahu betul bahwa aku tidak akan bisa tidur malam, jadi aku harus pergi sekarang menuju game center.” Kata Devan ringan.

            “Kau bisa menghargaiku?” Tanya Jase.

            “Baiklah.” Devan kembali mendaratkan tubuhnya di kursi yang berhadapan langsung dengan Jase.

            Sementara itu Jase meminta izin keluar sebentar untuk membawa Reina.
***

            “Kuharap kau bisa mengerti dengan keputusannya.” Sementara Jase membuka mulut, Devan menyesap kopinya yang kini tersisa setengah gelas lagi.

            Dari balik mug yang masih mendidih, Devan memandang Jase yang saat itu masih mengarahkan tatapan penuh harap, berharap Devan bisa mengerti dengan apa yang diinginkannya.

            Akhir-akhir ini Devan menyadari keinginan gilanya, terlebih terlalu berharap banyak untuk bisa memenuhi harapannya itu. Tetapi pada akhirnya apa yang diharapkan itu tidak membuahkan hasil apapun.

            Devan terdiam usai mendaratkan mug. Membuat pandangannya lurus, namun tanpa berarti apa-apa. Semuanya kosong. Semuanya berlalu.

            Dan pertemuan itu hanya menyisakan sesuatu yang tak ingin lagi diingatnya.
***

            “Jadi ini maksudmu?” Tanya Devan dengan wajah berkaca-kaca, menyadari air mata yang sudah mengancamnya untuk melengang dan jatuh melewati pipinya hingga membentuk anak sungai.

            “Apa?” Tanya Jase berpura-pura tidak mengerti.

            Bunyi pukulan meja yang keras kembali terdengar, membuat Jase hampir tidak bisa mengendalikan kesadarannya. Laki-laki itu terlihat sangat menyesal telah menyembunyikan sesuatu, menyembunyikan sesuatu yang jelas-jelas akan melukai sahabatnya sendiri.

            “Dengar, aku tidak marah kepadamu.” Kata Devan, sedikit mencondongkan tubuhnya ke arah Jase. Ucapannya terdengar santai dan pelan, tetapi sorotan matanya masih menyiratkan emosi yang besar. “Tetapi aku benar-benar kecewa.”

            “Kalau begitu, apa yang harus kulakukan untuk menawarkan kekecewaan yang saat ini kau rasakan?”

            Devan mengambil jaket, sebelum akhirnya memutuskan untuk pergi. Namun samar-samar Jase dapat mendengar suaranya. “Tidak, terima kasih. Aku tidak lagi mengharapkan apapun dari seorang sahabat sepertimu.”

            Demi Tuhan, Jase sama sekali tidak merencanakan ini sebelumnya. Mengapa harus sedramatis ini? Mengapa pada akhirnya Jase harus melukai sahabatnya sendiri dengan cara mengatakan bahwa dirinya sendiri telah menjalin hubungan dengan Reina?

            Jase menurunkan bahunya, mengembuskan nafas berat lalu memandang keluar. Jalanan tampak padat, langit siang terlihat berawan. Sekali lagi Jase menyipitkan matanya memandang langit siang, sebelum akhirnya menutup tirai jendela dan bergegas beristirahat.

            Tapi usahanya tidak menghasilkan apapun. Pikiran Jase semakin kacau. Jadi, apa yang bisa dilakukannya untuk memperbaiki semuanya?
***

            Empat bulan lebih seminggu berlalu sejak Devan menjauhi Jase –yang diketahuinya telah memutuskan harapannya dengan cara mengabarinya bahwa laki-laki itu telah sukses mendapatkan Reina.

            Devan masih berdiri menemani malam, merasakan hembusan angin dingin yang setiap kali menyapanya. Pikirannya semakin hampa dan semakin kosong. Langit malam saat itu hanya menyisakan awan gelap, tetapi Devan tidak yakin hujan akan turun secepat itu.

            Sambil menyesap cokelat panas yang dibuatnya tadi, Devan kembali melayangkan pikirannya ke arah kejadian siang tadi. Mendadak kegiatan sekolah berakhir di tengah jadwal. Semua guru sibuk dengan kepentingannya masing-masing.

            Devan sempat bertanya seputar keanehan yang terjadi di sekolahnya, sebelum akhirnya ia mendengar dari Gibrant –salah satu anggota club basket– yang mengabarinya bahwa kegiatan sekolah terpaksa dihentikan karena guru-guru akan segera menghadiri suatu acara penting.

            Dan Devan kembali disadarkan dengan percakapan kecil yang membincangkan Reina, membuat Devan benar-benar terjatuh untuk sementara.

Pada akhirnya Devan menemukan alasan mengapa perempuan itu tidak mau mencoba akrab dengan siapapun, tidak mau didekati siapapun dan tampak selalu sendirian ketika dalam keadaan apapun. Dan Devan mengetahuinya ketika perempuan itu telah pergi, pergi dengan sangat jauh. Perempuan itu mengidap serangan jantung, yang didapatkannya dari faktor keturunan.

Devan sama sekali tidak bisa menanggapi kasus itu. Terakhir ia mendengar bahwa perempuan itu akan pergi meninggalkan sekolahnya. Perempuan itu hanya pergi sementara, hanya untuk melanjutkan pendidikannya di luar negeri demi memenuhi keinginan yang sejak dulu tak tersampaikan.

Tapi, pada akhirnya Devan merasakan sesak bergemuruh dalam dadanya. “Ah, mengapa aku harus sesedih ini?” Gumamnya, seraya menyentuh sudut matanya yang terasa hangat. “Harapan yang dulu aku junjung tinggi, lalu terputus di tengah jalan. Ini semua karena ulahmu, Jase!”

“Kau tak sepenuhnya sendiri.”

Devan mengedikkan kepala, bersamaan dengan raut wajahnya yang kemudian berubah. Tangannya mengepal kuat. Seolah, ada sesuatu yang meloncat dalam dadanya. Meloncat untuk segera dihempaskan lewat kepalan tangannya itu.

            “Kau lagi.”

            Devan bangkit dan benar-benar melayangkan bogeman mentah menuju laki-laki itu. Apalagi yang diinginkan sahabatnya itu? Tidakkah ia puas dengan keterpurukannya selama ini?

Jase, laki-laki yang sudah terbaring lemah di depannya tak mampu berbuat apapun. Napasnya masih tersengal, sementara itu handycam yang dipegangnya terjatuh begitu saja. Ia melihat aura kekecewaan yang dibalut dengan kebencian yang tinggi masih menghias permukaan wajah sahabatnya. Tapi, sampai kapanpun, ia tidak akan pernah mendeklarasikan dendam apapun. Devan masih sahabatnya. Devan masih orang yang sama seperti beberapa tahun lalu, yang dikenalnya lebih seperti sepupunya sendiri.

“Apa hanya karena perempuan, kau rela menghapus urusan persahabatan kita yang sudah terjalin selama lebih dari sepuluh tahun?” Jase melayangkan tanya, sementara Devan masih terlihat berdiri memunggunginya.

“Kupikir, persahabatan tidak selicik itu.” Tandas Devan. “Tak ada persahabatan yang disenjatai dengan kelicikan. Persahabatan sejatinya hanyalah kebersamaan, hakikinya ialah saling mendukung. Bukan menjatuhkan salah satu pihak.”

Jase dengan susah payah bangkit, meski sesekali ia harus menahan rasa sakit di pipi kanannya. Devan yang berdiri angkuh di depannya terlalu terbakar keegoisan yang tinggi, ego yang tak dapat dikalahkan kesabaran selevel apapun.

“Aku minta maaf.”

“Tak ada yang bisa dimaafkan.”

“Aku serius.”

“Tidak ada hal yang bisa dianggap serius dari seorang pengecut sepertimu.”

“Sebenci itu kau terhadap sahabatmu?”

“Kupikir, tak pernah ada kata benci yang hadir dalam sebuah persahabatan.”

“Kau bilang, tak ada kata benci, tetapi mengapa kau melukaiku dengan cara keras seperti ini?”

Devan memutar bahu dan memandang lawan bicaranya dengan tatapan tajam. “Karena kau bukan sahabatku.” Ungkapnya.

            “Baiklah. Kau hanya terlalu egois untuk menyikapi ini semua.” Ungkap Jase seraya berbalik, menyiapkan langkahnya untuk pergi.

            “Aku tidak lagi mengharapkan kehadiranmu lagi sebenarnya.”

            Jase menghentikan langkahnya. “Tidak masalah. Kuharap besok kau bersedia menemuiku di rumah sakit dekat pertigaan jalan menuju ke sekolah.”

            “Aku tidak bersedia.”

            “Tidak masalah.”

            Beberapa detik lagi Jase pergi. Ia terlalu membuang waktu untuk menyikapi keegoisan laki-laki itu. Kekecewaan yang termakan api kebencian tidak bisa memadamkan bentuk kelembutan apapun darinya.

            “Keegoisanmu yang tinggi tidak akan pernah bisa menerima bentuk penghalusan apapun dari orang lain. Kala itu, hatimu menolak untuk melunak, menolak untuk menerima pikiran orang lain karena kau hanya terpacu dengan pikiranmu sendiri. Pikiran yang menurutmu benar.”

            Dan Jase benar-benar mengayunkan langkahnya.
***

            Sore itu, hujan turun dengan deras, menepikan langkah Devan di sebuah gazebo taman setelah seharian ini beraktivitas mengisi waktu liburnya di hari Minggu. Sambil menunggu hujan meninggalkan gemerciknya yang keroyokan, ia mendaratkan pikirannya ke belakang. Tapi, beberapa detik selanjutnya, ia menolak untuk mengingatnya.

            “Terkadang, sebagian orang yang mendeklarasikan diri sebagai sahabat untuk kita, tidak pernah bisa memberikan kekuatan apapun karena sikapnya yang bahkan mengecewakan.” Gumamnya tanpa sadar.

            “Tapi, kau hanya mengingat sahabatmu itu dari satu sisi keburukannya saja. Cobalah ingat, kebaikan mana lagi yang pernah diperbuatnya untuk menjaga hubungan persahabatannya denganmu?”

            Mendadak sebuah suara mendarat di telinganya. Devan segera berbalik dan mendapati sebuah perempuan yang tengah mengukir senyum ke arahnya, memandangnya dengan lembut, yang membuat matanya terasa panas seketika.

            “Reina?” Devan mengucek matanya. Perempuan yang di depannya mengingatkan ia pada seseorang yang dulu pernah disukainya. Tapi beberapa detik setelah itu, ia segera melupakannya.

            Beruntung saat itu hujan mulai mereda, sehingga Devan bisa pergi untuk melupakan halusinasinya yang kuat. Reina tidak mungkin hidup lagi, ia memang telah pergi.

            “Maaf, aku harus pergi.”

            “Tunggu,” Suara itu lagi, membuat langkahnya terhenti. “Apakah tak ada hal yang ingin kau bicarakan kepadaku?”

            Devan menggelengkan kepalanya dan mulai mengayunkan langkahnya meninggalkan taman kota. Ia tidak ingin membuka kembali luka lama. Meski seorang Reina telah terlahir kembali dengan membawa sedikitnya perbedaan, tetapi ia menolak untuk menguatkan firasatnya yang dulu pernah bercengkerama dengan langit malam, bahwa Reina seolah-olah masih hidup baginya.
***

            Kelulusan. Akhirnya, hal yang ditunggu pun telah hadir di depan mata. Devan memandang tubuhnya yang tinggi di depan cermin, kini telah terbalut dengan kemeja putih panjang lengkap dengan dasi yang terbalut sebuah jas hitam. Sebentar lagi, jadwalnya untuk berdiri di atas panggung.

            Baiklah tinggal beberapa detik lagi suaranya akan mengudara lewat potongan bait demi bait yang pernah ditulisnya dalam selembar kertas polos, membentuk satu kesatuan hingga ia berniat menjadikan kata-kata itu sebagai ungkapan atas apa yang dirasakannya selama dua tahun ke belakang. Tentu saja dalam sebuah lagu.

            Devan memejamkan matanya, posisi stand mic yang telah berdiri di depan wajahnya membuatnya tidak percaya diri untuk membawa ekspresi ke arah yang diinginkan. Beberapa detik yang lalu, ketika namanya dipanggil, semangatnya melambung. Tetapi setelah berdiri di atas panggung, kepercayaannya terhadap diri sendiri surut begitu saja terkikis di tengah jalan menuju ke panggung.

            Intro telah dimulai, alunan gitar yang mengiringi dari kelompok siswa dengan predikat “guitar team” telah melengkapi iramanya. Dan sekarang, saatnya ia membuka mata, bersamaan dengan melambungnya suara lembut miliknya.

            Sebelumnya, ia tidak pernah memiliki ide segila ini. Tetapi kisah kelamnya, telah mendorongnya untuk berdiri di atas panggung. Sekarang, sudah saatnya ia mengekspresikannya.

Tak pernah terpikirkan
Semua berlalu selayaknya udara
Kaku dalam kata, bisu dalam ungkap
Tak ada lagi kisah kelam yang berarti

Kau hanyalah cahaya indah
Namun kemudian kau redup dalam kekecewaanku
Dan kau pernah menjadi mentari
Namun kau mengingkari sinarmu setelah hadirnya hujan

Aku terpuruk dalam sepi
Mencoba untuk melupakan sakit
Namun hadirmu meninggalkan bayang tipismu
Menari, menggoda, setiap saat dalam ingatanku

Untukmu yang terlanjur kubenci
Lewat perbuatan angin malam
Ku ungkapkan laraku
Keindahan yang dulu pernah hadir
Terkikis waktu, ego ini memakannya

Sudah selayaknya kubuang semua
Kenangan kita tak lagi berharga
Pertemuan kita bukan lagi kenangan
Sehingga perpisahan menjawabnya

            Devan membuka kedua matanya. Lalu, suara tepuk tangan yang meriah mendarat mulus di sepasang indra pendengarannya. Akhirnya ia bisa mengembuskan napas dengan lega, melihat semua orang larut dalam kisahnya. Kisah yang tak akan pernah diingatnya kembali, meski sekarang kenyataannya sulit untuk dilupakan.
***

            “Lagumu benar-benar membuatku tak kuasa menahan tangis. Aku takjub dengan penampilanmu tadi.” Suara itu lagi, entah kenapa dada Devan terasa sesak mendengarnya. Suara yang diindikasikan dapat memicu ingatannya yang terkubur lama kembali hadir.

            “Baiklah, aku harus mengalahkan egoku untuk sementara.” Devan berbalik dan memandang perempuan di depannya. Ia menghela napas pelan sebelum akhirnya menghujani perempuan itu dengan sebuah pertanyaan. “Kau siapa? Mengapa kau terus berada di sekitarku? Mengapa kau seperti sosok Reina yang dulu kukenal?”

            Perempuan di depannya itu hanya tersenyum, lalu menarik tangan Devan keluar. Sementara itu Devan hanya mengikuti langkahnya yang tergesa-gesa itu.

            “Sebelumnya, aku minta maaf.”

            “Untuk?”

            “Aku membawamu dari acara yang besar, aku membawamu keluar dari sesuatu yang penting.”

            “Tidak masalah, sekarang apa yang ingin kau lakukan?” Tanya Devan.

            “Kau akan tahu jawabannya beberapa saat ke depan.”

            “Apa? Jangan membuatku seolah-olah penasaran.” Tegas Devan, lalu melepas tangan perempuan itu yang masih melingkari pergelangan tangannya.

            “Kau tidak perlu memerdekakan keegoisanmu itu. Mulai sekarang buanglah sifatmu dan rasakan arti penting orang-orang di sekitarmu.” Devan menghentikan langkahnya. “Kesendirianmu telah menguatkan egomu, bahwa pikiranmu yang keras akan selalu memakan dirimu sendiri. Kau tidak akan pernah tahu arti penting seseorang, sampai akhirnya kau benar-benar merasa kehilangan.”

            Devan terdiam. Memangnya kehilangan seperti apa yang akan dialaminya? Kehilangan apa yang akan mengancam hidupnya?

            “Sekarang, ikutlah aku.”

            “Kemana?”

            Perempuan itu menghampiri Devan dan mulai berbicara tepat di dekat telinganya, seraya menggenggam paksa tangannya. “Itu urusanku. Aku mohon, hari ini saja buanglah egomu yang tinggi itu.”

            “Memangnya kau siapa? Kau tidak berhak mengaturku.” Devan tetap kukuh pada keinginannya, ia hanya ingin tahu maksud dari perempuan itu membawanya keluar. “Aku akan kembali ke dalam, oke? Jadi–“

            Ucapannya terpotong bersamaan dengan cengkeraman tangannya yang semakin menguat. “Kau harus ikut denganku.”

            “Tidak.”

            Kemudian Devan meringis kesakitan. Dengan beraninya, perempuan itu mendaratkan sebuah tamparan keras di wajahnya.

            “Bagaimana sakit? Lebih sakit mana daripada tidak dihargai sama sekali? Untunglah rasa sakit di pipimu bisa menghilang. Tapi masalah tidak dihargai, kau tahu? Ia akan bersemayam dalam hati. Bisa saja ia berubah jadi dendam, menjadi kebencian.” Desis perempuan di depannya.

            “Kalau kau ingin membenciku–“

            “Devan, aku harus menamparmu berapa kali sampai kau bisa melunak?”

            “Baiklah.”

            Kemudian Devan mulai berjalan terpaksa, mengikuti perempuan itu yang berjalan ke arah sepeda yang terparkir di dekat gerbang.

            “Itu sepedamu?” Perempuan itu mengangguk. “Biar aku yang mengayuhnya.”

            “Ah, tidak perlu. Memangnya kau tahu, kita akan kemana?”

            Devan hanya mengembungkan kedua pipinya seraya mengangkat bahunya. “Ke jalan.”

            “Maksudmu?”

            “Jalan kematian.” Jawab Devan sembarang, membuat perempuan itu meninju dadanya pelan. Tetapi entah mengapa, tiba-tiba seutas senyum menghiasi wajahnya. Entahlah, mengapa ia merasakan bahwa perempuan itu seolah-olah Reina. Seakan, kebahagiaan yang dulu terkubur, telah terlahir kembali.

            “Jadi, siapa yang akan mengayuh?” Tanya Devan.

            Perempuan itu menatapnya. “Aku.” Jawabnya dengan enteng, membuat matanya membelalak.

            “Apa kabarnya dengan derajatku sebagai laki-laki? Naik sepeda berduaan, seraya mengenakan baju seresmi ini? Kita layaknya pengantin, pengantin gila yang dengan santai menaiki sepeda berwarna merah muda.” Ungkap Devan seadanya, sampai ia tak sadar apa yang telah diucapannya itu.

            Decakan dari perempuan itu membuatnya kembali membalas tatapannya. Lagipula, tatapan itu membuatnya melunak. Ia merasakan kelembutan tersirat di sepasang matanya yang indah itu.

            Ah, pikiran macam apa itu?

            “Tak ada ruang untuk bercanda.” Tegas perempuan itu. “Sekarang, ayo pergi.”
***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar