BERAPA BANYAK LANGIT BIRU YANG TERLIHAT?
PART 1
Bel pertanda istirahat mulai
membangunkan seluruh penghuni sekolah. Guru kelas yang mendapat jadwal mengajar
segera menutup kegiatannya, sementara itu penghuni kelas mulai keluar dari
kelasnya masing-masing menuju kantin.
Pertengahan siang yang cukup dihias
cahaya mentari yang masih terlihat sayu tidak membakar semangat belajar SMA
Trenlight. Bahkan dari raut mereka seolah menegaskan bahwa hari-hari yang
mereka jalani sama sekali tidak terlihat dibebani dengan kegiatan sekolah.
Dari beberapa siswa yang berjalan di
koridor, seorang laki-laki –dengan poni depan yang dibuat menjulang tinggi
membentuk sebuah jambul– mengedarkan pandangan ke arah kantin. Istirahat di
menit-menit pertama, kantin didominasi dengan rasa sesak. Suasana berdesakan
itu yang akan membuatnya sesak.
Lalu, sebuah tangan dari belakang
mencapainya. Gerakan yang terhitung cepat, membuatnya menoleh dan lawan
bicaranya tersenyum menatapnya.
“Selamat siang, Devan.” Sapa
sahabatnya.
Ya, Devan memiliki seorang sahabat.
Meskipun selalu satu sekolah, tetapi mereka tidak pernah satu kelas. Terakhir
menginjak bangku pendidikan dan sekelas dengannya ialah ketika tahun kedua pada
masa sekolah menengah pertama.
“Hei, Jase, apa kabar?” Alih-alih
menjawab sapaan sahabatnya, Devan bertanya dengan nada sedikit meninggi dan
seolah dibuat-buat seriang mungkin. “Aku baru teringat sesuatu. Hm, tadi pagi
kau meninggalkanku.”
Jase tertawa.
“Apa kau benar-benar ingin
meninggalkanku?” Tanyanya dengan tatapan mengiterogasi.
Jase berjalan memutar, menepikan
langkahnya menuju salah satu tempat duduk yang berada di pinggiran koridor.
Saat itu juga Devan baru menyadari bahwa posisinya menghalangi orang-orang yang
berlalu-lalang di koridor.
“Kupikir kau sudah berangkat
terlebih dahulu.” Kata Jase seraya mengangkat sebelah alisnya. “Apakah kau
tidak berniat untuk mengisi perutmu yang mengerikan?”
“No!” Sergah Devan. “Jangan sesekali
mengalihkan tanyaku. Aku tidak punya banyak waktu untuk menemuimu.”
Jase hanya mengangkat bahu, lalu
mendesah pelan. Laki-laki itu sama sekali belum menjawab pertanyaan Devan.
Baiklah, dua hal yang membuat Devan merasa jengkel pada hari ini ialah
ditinggalkan sahabatnya sendiri dan diabaikan di jam istirahat seperti ini.
“Omong-omong,” Jase bangkit,
memasukkan sepasang tangannya ke dalam saku celananya, lalu mengedarkan
pandangan ke arah gedung bertingkat yang berada di atas. “Apa kau ingin
menemaniku menonton pertandingan basket antar-siswi?”
“Tentu.” Sahutnya, lalu bangkit dan
segera berjalan mengikuti Jase yang telah terlebih dahulu berjalan
mendahuluinya.
Devan mengutuk dalam hati.
Diam-diam, ia menyimpan dendam terhadap sahabatnya. Ah, lebih tepatnya
menyimpan sebuah pertanyaan.
Beberapa menit kemudian, mereka tiba
di sebuah ruangan yang cukup luas. Lapangan basket indoor, yang dipenuhi dengan
beberapa guru olahraga dan Pembina basket. Selain itu, beberapa orang laki-laki
dan perempuan yang tergabung ke dalam penonton duduk di tepi lapangan seraya
mengobrol untuk mengisi waktu.
Waktu pertandingan sepertinya belum dimulai.
Sementara itu, Devan sibuk mencari tempat duduk, sebelum akhirnya menemukan
tempat kosong yang layak untuk diduduki. Ia bersama sahabatnya mendapat tempat
paling depan.
Suara pengisi acara mulai bergema
lewat microfon yang dipegangnya, menegaskan bahwa pertandingan akan segera
dimulai. Entah mengapa, pertandingan basket antar-siswi selalu terlihat lebih
menarik daripada pertandingan antar-siswa.
Pertandingan itu dilaksanakan
setahun sekali, merupakan salah satu bagian dari program kerja kepengurusan
OSIS di sekolahnya yang bertujuan untuk menjaga kerja sama dan kekompakan antar
kelas. Selain itu, program itu dimaksudkan untuk mengevaluasi kekurangan setiap
individu dalam berkelompok.
Masing-masing perwakilan kelas mulai
mengisi lapangan. Masing-masing kelompok dari mereka mulai berunding membentuk
lingkaran kecil, seolah-olah menjelaskan bagaimana pertandingan itu harus
dijalankan.
“Apa kau berpikir akan keluar dan
kembali kesini ketika pertandingan dimulai?” Tanya Devan seraya menoleh ke arah
Jase yang tengah menitikkan arah pandangnya ke ponsel. “Wah, rupanya kau punya
pacar!” Sahut Devan ketika berhasil merebut ponsel milik Jase, membuat
laki-laki itu rusuh dengan sendirinya.
“Apa maksudmu?” Tanyanya seraya
berusaha meraih tangan Devan yang mengacung di udara seraya menggenggam ponsel
milik Jase.
Devan mengangkat alis seraya
tersenyum licik, memandang sahabatnya dengan tatapan nakal.
“Baiklah,” Jase mengembuskan nafas
pasrah. “Tetapi kembalikan dulu ponselku.”
“Apa?”
“Aku memang tengah dekat dengan
seorang perempuan, kupikir aku benar-benar menyukainya. Caranya tersenyum ke
semua orang membuatku terkesan untuk pertama kalinya.” Jelas Jase panjang
lebar, dengan tujuan agar Devan tidak menghujaninya beberapa pertanyaan
terselubung.
“Perempuan?” Devan sedikit
memiringkan kepalanya, sebagian rambut depannya yang memuncak memisahkan diri
dari jambul khas itu.
“Kupikir aku tidak punya banyak
waktu untuk membalas gurauanmu.” Balasnya, kemudian kembali menatap ponsel
ketika nada tanda pesan masuk tiba di ponselnya.
Devan mengangkat bahu. “Sudah kuduga
akan seperti ini.”
Jase menoleh dan menatap Devan
dengan pandangan seolah bertanya, apa
maksudmu? Tetapi kemudian Devan menggeleng dan segera mengangkat bahu.
Selang beberapa menit, peluit
pertanda dimulai pertandingan membuat seluruh penonton di belakang bangkit
untuk ikut fokus menyaksikan pertandingan. Tetapi arah pandang para pemain
menuju ke arah pintu, yang memperlihatkan seorang perempuan yang tengah berlari
dengan tergesa-gesa.
Untuk pertama kalinya.. Devan
memandangnya lama. Masih terus dalam berlari, perempuan itu seolah tidak
perduli dengan keadaan di sekelilingnya, berlari melewati orang-orang yang
menyorakinya karena terlambat.
“Siapa dia?” Tanya Devan dengan
pandangan tetap menyapu perempuan itu. “Aku tidak pernah melihat sebelumnya.”
“Kau tertarik?’ Tanya Jase,
seolah-olah gagasan itu cukup membuatnya tertarik untuk membahas perempuan itu.
“Namanya Reina.”
“Reina?” Devan menoleh ke samping,
memandang Jase dengan serius.
Jase mengangguk. “Ya, Reina
Fradely.”
“Wajah bebek.” Gumamnya, lalu
tersenyum memandangnya.
Perempuan yang disebut-sebut Reina
itu tengah menyimpan tas dan segera bergabung ke tengah lapangan untuk
mengikuti pertandingan. Perempuan itu sama sekali tidak melepas kacamatanya
yang terlihat besar.
Penampilan perempuan itu sama sekali
membuat orang-orang tidak ingin melihatnya. Rambutnya yang diikat menjadi dua
bagian rata di samping, kacamata besarnya yang menutupi pesona wajahnya, raut
wajahnya yang tidak pernah menyunggingkan sebuah senyuman –jelas tidak membuat
orang-orang begitu tertarik terhadapnya.
Untuk pertama kalinya Devan
menyadari keberadaan perempuan itu. Ia sama sekali tidak pernah melihatnya,
bahkan ketika sesekali mencoba untuk menyaksikan teman sekelasnya yang juga
bergabung dalam club basket.
“Dia bukan orang yang cukup
populer.” Kata Jase, seolah-olah membaca raut wajah Devan –meskipun tidak
sepenuhnya terarah kepada laki-laki itu. “Kau tahu tentang pemilihan siswi
perkelas yang diadakan setiap tahun?”
Devan mengangguk, tetapi tak ada
jawaban. Beberapa detik berikutnya ia menoleh dan menyadari bahwa Jase tidak
sedang menatapnya. Sudah jelas laki-laki itu tidak akan tahu jawabannya, lalu
segera meralatnya, “Kenapa?”
“Dia bukan peringkat atas.” Kata
Jase. “Dia hanya orang yang biasa saja. Pelajaran termasuk akademik pun tidak
terlalu menonjol.”
Tetapi entah mengapa, Devan merasa
dari semua yang diceritakan sahabatnya itu membuat Devan ingin sekali tahu
banyak tentang perempuan itu. Ada sesuatu yang menarik dari perempuan itu.
Penampilan?
Kecerdasan?
Atau mungkin olahraga?
Bukankah biasa saja, jika
dibandingkan orang lainnya? Adakah hal yang mungkin bisa dibanggakan dari
perempuan itu?
Devan mendapati dirinya memikirkan
perempuan itu, sebelum akhirnya menemukan sebuah keraguan terhadap beberapa
pertanyaan yang muncul memenuhi pikirannya. Ia sama sekali tak habis pikir
bagaimana bisa perempuan itu dengan cepat bertengger dalam pikirannya.
“Tunggu, ada hal yang menarik tentang
dia.” Gumam Devan.
“Apa?”
Devan menoleh dan mendapati Jase
tengah memandangnya dengan tatapan terkejut. “Ah, tidak. Mungkin aku terlalu
banyak berpikir.”
Pertandingan masih terus berlanjut,
tetapi skor menunjukkan bahwa tim perempuan bernama Reina itu jauh lebih
tertinggal daripada lawan. Beberapa keringat mulai membasahi leher dan sekitar
pelipisnya –menyadari hal itu, Devan bangkit dan bergegas meninggalkan
lapangan.
***
Devan kembali ke dalam lapangan
ketika skor kedua tim imbang. Itu artinya, pertandingan akan segera berakhir,
dan masing-masing dari tim akan segera berlalu dari lapangan. Mendadak sebuah
senyuman tersungging manis di bibirnya.
Dan di detik-detik berakhirnya
pertandingan itu, salah satu teman setim Reina dengan nama punggung Yona
membawa bola basket dengan lincah, sebelum akhirnya dilempar menuju Reina
ketika lawan mainnya hampir saja merebut bola dari kendalinya.
Reina tampak menghela nafas panjang,
sebelum akhirnya melangkah. Namun sial, kacamata yang terpasang itu mendadak
jatuh membuat semua orang berseru. Tetapi perempuan itu tampak acuh, dengan
segera membuka dua bagian rambutnya yang terikat menjadi satu kesatuan.
Dan, bola yang dilemparkan menuju
ring ternyata membuahkan hasil yang manis. Pertambahan skor, satu lebih unggul
dibanding tim lawan berhasil diraihnya dalam waktu lima detik dari tanda
berakhirnya pertandingan.
Devan setengah tercengang
memandangnya. Rambutnya yang tergerai membuat Devan hampir saja membeku dalam
diamnya, sebelum akhirnya tersadar dengan bunyi peluit bahwa pertandingan
berhasil dimenangkan tim Reina.
Masing-masing dari mereka mulai
berjabat tangan untuk mengakhiri pertandingan, dan Devan yang saat itu tengah
mengawasi Reina segera turun mendekati perempuan itu ketika mendapati perempuan
itu sedang berjalan meraih tasnya.
“Hai,” Sapanya. “Omong-omong, tadi
caramu bermain benar-benar menakjubkan.”
Perempuan itu hanya terkekeh pelan,
lalu memandangnya Devan. “Terima kasih. Mungkin itu hanya kebetulan.”
Devan terdiam, sementara perempuan
itu berjalan meninggalkan ruangan. Beberapa detik selanjutnya Devan tersadar
dan segera berlalu dari masa melamunnya, mengikuti perempuan itu yang berjalan
menuju kantin.
“Omong-omong, kau haus?” Tanyanya,
membuat Reina menghentikan langkahnya. “Kau boleh meminumnya.” Katanya, lalu
menyerahkan sebotol air mineral.
“Terima kasih, tapi aku akan
membelinya sendiri.” Balasnya.
Sebelum akhirnya berjalan, Devan
terlebih dahulu menahan tangannya. “Tadi seseorang menitipkan ini padamu.
Namamu Reina, benar? Yah, kupikir dia temanmu yang berhalangan untuk
menyaksikan pertandingan.”
Dengan modal dusta, Devan bermaksud
untuk menarik simpati perempuan itu. Dan ada sesuatu yang berbeda baginya
ketika perempuan itu tersenyum dan menerima botol air mineral yang
diulurkannya.
“Omong-omong, kau tahu siapa
namanya?”
“Ah, aku lupa.” Balasnya.
“Baiklah, terima kasih.”
Sebelum sempat menjawab, Devan
mendapati perempuan itu telah berlalu darinya sejak beberapa detik yang lalu.
Tetapi beberapa bagian dari dirinya merasakan sengatan yang aneh ketika
memandang perempuan itu dari dekat.
Apa selanjutnya ia akan menemukan
gagasan baru bahwa perempuan itu adalah hal yang terindah, sehingga ia
berasumsi bahwa wanita-wanita cantik di seluruh dunia pun tidak ada yang menandinginya?
Lalu Devan menemukan gagasan bahwa
cinta itu seperti berlian yang hanya miliknya, bukankah itu sesuatu yang ingin
ditemukan orang lain? Namun setiap orang memiliki nilai masing-masing.
Di menit berikutnya, Devan terbangun
dari delusinya, sebelum akhirnya berjalan meninggalkan kantin yang menyisakan
orang-orang yang masih berusaha untuk mengisi perutnya.
***
Jarak
yang cukup jauh. Keberadaan yang sama sekali tidak diketahui. Dari balik
jendela, Devan mengarahkan pandangannya keluar jendela. Ada sesuatu yang
membuat pikirannya benar-benar mengenaskan selama pelajaran berlangsung.
Rasa ingin tahu. Mungkin hanya itu
alasan terkuat saat ini. Keberadaan yang lebih tepatnya ditujukan khusus kepada
perempuan itu. Meskipun jaraknya dan perempuan itu memang terbilang jauh,
bahkan untuk menanyakan nomor ponselnya saja masih tersirat keraguan.
Tapi ketika Devan mengingat
senyumannya yang melahirkan kesan hangat layaknya sinar mentari itu membuat ia
sedikit tenang. Hingga akhirnya bel pertanda berakhirnya kegiatan sekolah
berakhir dan tanpa sengaja Devan melihat sosok perempuan kecil itu.
Devan mengalihkan pandangan dari
luar menuju ke sekelilingnya. Entah sejak kapan guru yang mengajar di kelasnya
pergi meninggalkan kelas, hingga menyisakan teman-temannya yang sedang
menyiapkan seluruh peralatannya untuk dimasukkan ke dalam tas.
“Aku duluan, maaf.” Ujarnya dengan
tergesa-gesa, tanpa mengikuti kegiatan yang biasa dilakukan mereka sebelum
pulang; berdoa.
Hal yang cukup konyol bukan? Tetapi,
entah mengapa Devan merasa semua hal-hal konyol yang dilakukannya memiliki
alasan, tetapi ia sama sekali tidak bisa menyebut perempuan itu sebagai alasan
terkuat.
***
“Kau melamun lagi,”
Devan mengerjap dan langsung
mengarahkan arah pandangnya menuju Jase yang duduk bersandar di depannya.
“Maaf, apa katamu tadi?”
Jase mendesah dan merentangkan
tangannya lebar-lebar, lalu menggeliat dengan malas. “Sudah kuduga –kau tahu,
hari ini kau terlihat sangat mengerikan. Dengar, sangat mengerikan.”
Devan sama sekali tidak bermaksud
membantah, bahkan ia tidak menanggapi ucapan sahabatnya setelah menyesap kopi
hitam yang dipesannya di sebuah kedai kecil yang biasa mereka kunjungi akhir
pekan.
Malam ini adalah malam pertunjukkan
festival musik yang biasa diadakan setiap setahun sekali untuk menyambut ulang
tahun kotanya. Tetapi letak kesalahannya adalah ketika pada akhirnya Devan
jatuh terhempas pada sebuah pertanyaan.
Tadi siang, perempuan itu sama
sekali tidak menghiraukannya ketika Devan berusaha membantunya bangkit. Devan
tidak sengaja menabraknya karena tidak terlalu fokus, sementara itu beberapa
kertas penting yang dipegang Reina terjatuh dan sebagian meninggalkan bekas
alas sepatu milik Devan. Menjengkelkan bukan?
Tentu saja perempuan itu akan marah
kepadanya dan tidak akan memaafkannya. Devan sempat melihat isi kertas itu,
yang sepertinya merupakan sebuah lagu yang entah siapa penciptanya. Devan
sendiri tidak tahu siapa penyanyinya.
“Apa yang sedang kau pikirkan, Devan?”
Devan mengalihkan tatapannya menuju
Jase yang masih terlihat memutar selang untuk menghabiskan jus kesukaannya.
“Apa maksudmu?”
Jase mendongak, lalu menatap Devan
dengan tegas. “Dengar, kau terlihat lebih murung malam ini. Bahkan jam-jam ke
belakang ini membuat aku menyimpulkan bahwa kau tiba-tiba berubah pendiam. Aku
tahu, kau butuh seseorang yang bisa kau ajak bicara. Mungkin aku tidak bisa
banyak membantu, tetapi aku bisa mendengarkan.”
Devan meneguk ludah. Pikirannya
benar-benar kacau dan sama sekali belum siap untuk memberitahu sahabatnya.
Penggunaan ekspresi yang terpasang pada wajah Reina membuat Devan kembali
merasakan suram. Seolah-olah waktu sedang mengajaknya perang untuk memenangkan
keadaan ke depannya.
“Aku sama sekali tidak apa-apa.
Jadi, kuharap kau tidak terlalu mengkhawatirkanku.” Ucapnya pelan, lalu
mengembuskan nafas lega seraya memaksakan seulas senyum.
“Jadi, bagaimana dengan rencanamu?
Apa kau yakin bahwa kau benar-benar menyukai perempuan basket itu?” Jase balas
tersenyum lebar.
Devan mendesah. “Apa kau akan
meninggalkanku besok pagi?”
“Caramu tidak berhasil, teman.”
Sahut Jase dengan cepat. “Kenapa kau terlihat mengalihkan pembicaraan?”
Devan tampak berdosa dan mengalihkan
tatapannya menuju kepulan asap kopi dari mug di depannya. Sementara itu, Jase masih
terlihat menunggu lawan bicaranya kembali bersuara.
“Mengingat kau sering memikirkannya
akhir-akhir ini, aku jadi menyimpulkan bahwa kau tak hanya menyukainya atau
sekedar mengaguminya. Mungkin kau juga penasaran?” Goda Jase seraya tersenyum
memamerkan deretan gigi putihnya yang rapi.
“Aku tak bisa menjelaskannya.” Tegas
Devan sambil tersenyum kecil.
Lalu arah pandang keduanya beralih
ke arah perempuan yang baru saja datang. Ia datang sendirian, sama sekali
sedang tidak bersama orang lain. Hal itu membuat Devan sedikit mengerjap,
mengapa Reina bisa berada disana?
Mata hitam itu mengedar ke
sekeliling, seperti sedang mencari-cari tempat duduk. Devan baru saja menyadari
bahwa malam ini adalah malam minggu, kedai selalu dipenuhi dengan anak muda yang
ingin menepikan pikirannya dengan bersantai bersama atau sekedar menenangkan
diri dengan cara sendirian.
“Reina!” Seru Devan, walaupun pada
akhirnya ia harus menerima resiko yang ditimbulkannya. Tetapi menyapa perempuan
itu sama sekali tidak membuatnya gugup.
Reina menoleh sekilas dan Devan tahu
apa yang terjadi ketika Reina mendapatkan dirinya yang duduk bersama Jase –yang
jauh lebih dikenal Reina.
“Hai, Jase.” Sapanya, lalu
menghampiri Jase hanya untuk sekedar menyapa. “Bagaimana kabarmu?”
Jase sedikit berdeham, menoleh ke
arah Devan untuk beberapa detik, sebelum akhirnya kembali mengalihkan
pandangannya dan tersenyum menatap Reina.
“Apa kau ingin bergabung bersama
kami?” Tanya Devan, berhasil mencuri start untuk berkata.
Reina memandang Devan lagi, namun
hanya sekilas –dan tanpa senyuman yang berarti.
“Baiklah, aku tahu kau benar-benar
membenciku.” Ucapnya dengan malas. “Kurasa aku harus pergi.”
“Tempat mana lagi yang akan kau
datangi?” Tanya Jase, sontak membuat Devan benar-benar membatalkan keinginannya
untuk bangkit dan berlalu. “Hanya ini satu-satunya tempat favoritmu, bukan?”
Devan mengangguk, namun tidak
menjawab pertanyaan kecil itu. Ia segera mengenakan jaket kulitnya yang
berwarna hitam dan tebal, cukup untuk melindungi tubuhnya dari pengaruh udara
dingin di luar pada malam hari.
“Devan, bisakah kau bersikap seperti
kebanyakan remaja?” Tanya Jase. Tapi seperti yang terlihat sebelumnya,
laki-laki itu sama sekali tidak mendengarkan perkataan sahabatnya. “Devan!”
Desak Jase sekali lagi dan sontak membuat Devan menoleh.
“Apa?”
“Kumohon hentikan sikapmu.”
Devan memandang Jase dengan
pandangan tidak suka, kalau saja tidak ada perempuan itu mungkin saja ia sudah
melempar Jase keluar lewat jendela kaca di sebelahnya. Sekilas ia mengalihkan
pandangan ke arah Reina. Perempuan itu masih tetap berdiri tanpa menatapnya, Devan
sama sekali tidak tahu bagaimana perempuan itu dengan mahir mengatur arah
pandangnya. Sementara Devan benar-benar tahu bahwa pikirannya pasti sedang
terpusat ke arahnya.
“Untuk apa aku berada di hadapan
orang yang sama sekali tidak mengharapkan kehadiranku?”
Devan menatap Jase yang sedikit
menurunkan bahunya, lalu punggung tangannya bergerak halus untuk menepuk lengan
Reina.
“Kau punya masalah dengan sahabatku?”
Reina mengangkat bahu ragu. “Kumohon maafkanlah,”
“Kurasa tidak perlu memaksanya untuk
memaafkanku.”
“Diam kau, Devan.”
Devan mengatupkan bibirnya,
memandang nanar sahabatnya yang berubah menjadi kasar dengan sangat nyata dan Devan
menyaksikan secara langsung juga merasakan bentakan laki-laki itu untuk pertama
kalinya.
“Aku tidak akan bersikap seperti ini
jika kau tidak memulainya terlebih dahulu.” Tegasnya, seolah-olah membaca
pikiran Devan yang sedang kisruh.
“Aku baru saja ingat bahwa pikiranku
tengah kacau dan aku tahu betul bahwa aku tidak akan bisa tidur malam, jadi aku
harus pergi sekarang menuju game center.” Kata Devan ringan.
“Kau bisa menghargaiku?” Tanya Jase.
“Baiklah.” Devan kembali mendaratkan
tubuhnya di kursi yang berhadapan langsung dengan Jase.
Sementara itu Jase meminta izin
keluar sebentar untuk membawa Reina.
***
“Kuharap kau bisa mengerti dengan
keputusannya.” Sementara Jase membuka mulut, Devan menyesap kopinya yang kini
tersisa setengah gelas lagi.
Dari balik mug yang masih mendidih, Devan
memandang Jase yang saat itu masih mengarahkan tatapan penuh harap, berharap Devan
bisa mengerti dengan apa yang diinginkannya.
Akhir-akhir ini Devan menyadari
keinginan gilanya, terlebih terlalu berharap banyak untuk bisa memenuhi
harapannya itu. Tetapi pada akhirnya apa yang diharapkan itu tidak membuahkan
hasil apapun.
Devan terdiam usai mendaratkan mug.
Membuat pandangannya lurus, namun tanpa berarti apa-apa. Semuanya kosong.
Semuanya berlalu.
Dan pertemuan itu hanya menyisakan
sesuatu yang tak ingin lagi diingatnya.
***
“Jadi ini maksudmu?” Tanya Devan
dengan wajah berkaca-kaca, menyadari air mata yang sudah mengancamnya untuk
melengang dan jatuh melewati pipinya hingga membentuk anak sungai.
“Apa?” Tanya Jase berpura-pura tidak
mengerti.
Bunyi pukulan meja yang keras
kembali terdengar, membuat Jase hampir tidak bisa mengendalikan kesadarannya.
Laki-laki itu terlihat sangat menyesal telah menyembunyikan sesuatu,
menyembunyikan sesuatu yang jelas-jelas akan melukai sahabatnya sendiri.
“Dengar, aku tidak marah kepadamu.”
Kata Devan, sedikit mencondongkan tubuhnya ke arah Jase. Ucapannya terdengar
santai dan pelan, tetapi sorotan matanya masih menyiratkan emosi yang besar.
“Tetapi aku benar-benar kecewa.”
“Kalau begitu, apa yang harus
kulakukan untuk menawarkan kekecewaan yang saat ini kau rasakan?”
Devan mengambil jaket, sebelum
akhirnya memutuskan untuk pergi. Namun samar-samar Jase dapat mendengar
suaranya. “Tidak, terima kasih. Aku tidak lagi mengharapkan apapun dari seorang
sahabat sepertimu.”
Demi Tuhan, Jase sama sekali tidak
merencanakan ini sebelumnya. Mengapa harus sedramatis ini? Mengapa pada
akhirnya Jase harus melukai sahabatnya sendiri dengan cara mengatakan bahwa
dirinya sendiri telah menjalin hubungan dengan Reina?
Jase menurunkan bahunya,
mengembuskan nafas berat lalu memandang keluar. Jalanan tampak padat, langit
siang terlihat berawan. Sekali lagi Jase menyipitkan matanya memandang langit
siang, sebelum akhirnya menutup tirai jendela dan bergegas beristirahat.
Tapi usahanya tidak menghasilkan
apapun. Pikiran Jase semakin kacau. Jadi, apa yang bisa dilakukannya untuk
memperbaiki semuanya?
***
Empat bulan lebih seminggu berlalu
sejak Devan menjauhi Jase –yang diketahuinya telah memutuskan harapannya dengan
cara mengabarinya bahwa laki-laki itu telah sukses mendapatkan Reina.
Devan masih berdiri menemani malam,
merasakan hembusan angin dingin yang setiap kali menyapanya. Pikirannya semakin
hampa dan semakin kosong. Langit malam saat itu hanya menyisakan awan gelap,
tetapi Devan tidak yakin hujan akan turun secepat itu.
Sambil menyesap cokelat panas yang
dibuatnya tadi, Devan kembali melayangkan pikirannya ke arah kejadian siang
tadi. Mendadak kegiatan sekolah berakhir di tengah jadwal. Semua guru sibuk
dengan kepentingannya masing-masing.
Devan sempat bertanya seputar
keanehan yang terjadi di sekolahnya, sebelum akhirnya ia mendengar dari Gibrant
–salah satu anggota club basket– yang mengabarinya bahwa kegiatan sekolah
terpaksa dihentikan karena guru-guru akan segera menghadiri suatu acara
penting.
Dan Devan kembali disadarkan dengan
percakapan kecil yang membincangkan Reina, membuat Devan benar-benar terjatuh
untuk sementara.
Pada akhirnya Devan menemukan alasan
mengapa perempuan itu tidak mau mencoba akrab dengan siapapun, tidak mau
didekati siapapun dan tampak selalu sendirian ketika dalam keadaan apapun. Dan Devan
mengetahuinya ketika perempuan itu telah pergi, pergi dengan sangat jauh.
Perempuan itu mengidap serangan jantung, yang didapatkannya dari faktor
keturunan.
Devan sama sekali tidak bisa menanggapi
kasus itu. Terakhir ia mendengar bahwa perempuan itu akan pergi meninggalkan
sekolahnya. Perempuan itu hanya pergi sementara, hanya untuk melanjutkan
pendidikannya di luar negeri demi memenuhi keinginan yang sejak dulu tak
tersampaikan.
Tapi, pada akhirnya Devan merasakan
sesak bergemuruh dalam dadanya. “Ah, mengapa aku harus sesedih ini?” Gumamnya,
seraya menyentuh sudut matanya yang terasa hangat. “Harapan yang dulu aku
junjung tinggi, lalu terputus di tengah jalan. Ini semua karena ulahmu, Jase!”
“Kau tak sepenuhnya sendiri.”
Devan mengedikkan kepala, bersamaan
dengan raut wajahnya yang kemudian berubah. Tangannya mengepal kuat. Seolah,
ada sesuatu yang meloncat dalam dadanya. Meloncat untuk segera dihempaskan
lewat kepalan tangannya itu.
“Kau lagi.”
Devan bangkit dan benar-benar
melayangkan bogeman mentah menuju laki-laki itu. Apalagi yang diinginkan
sahabatnya itu? Tidakkah ia puas dengan keterpurukannya selama ini?
Jase, laki-laki yang sudah terbaring
lemah di depannya tak mampu berbuat apapun. Napasnya masih tersengal, sementara
itu handycam yang dipegangnya terjatuh begitu saja. Ia melihat aura kekecewaan
yang dibalut dengan kebencian yang tinggi masih menghias permukaan wajah
sahabatnya. Tapi, sampai kapanpun, ia tidak akan pernah mendeklarasikan dendam
apapun. Devan masih sahabatnya. Devan masih orang yang sama seperti beberapa
tahun lalu, yang dikenalnya lebih seperti sepupunya sendiri.
“Apa hanya karena perempuan, kau rela
menghapus urusan persahabatan kita yang sudah terjalin selama lebih dari
sepuluh tahun?” Jase melayangkan tanya, sementara Devan masih terlihat berdiri
memunggunginya.
“Kupikir, persahabatan tidak selicik
itu.” Tandas Devan. “Tak ada persahabatan yang disenjatai dengan kelicikan.
Persahabatan sejatinya hanyalah kebersamaan, hakikinya ialah saling mendukung.
Bukan menjatuhkan salah satu pihak.”
Jase dengan susah payah bangkit, meski
sesekali ia harus menahan rasa sakit di pipi kanannya. Devan yang berdiri
angkuh di depannya terlalu terbakar keegoisan yang tinggi, ego yang tak dapat
dikalahkan kesabaran selevel apapun.
“Aku minta maaf.”
“Tak ada yang bisa dimaafkan.”
“Aku serius.”
“Tidak ada hal yang bisa dianggap serius
dari seorang pengecut sepertimu.”
“Sebenci itu kau terhadap sahabatmu?”
“Kupikir, tak pernah ada kata benci yang
hadir dalam sebuah persahabatan.”
“Kau bilang, tak ada kata benci, tetapi
mengapa kau melukaiku dengan cara keras seperti ini?”
Devan memutar bahu dan memandang lawan
bicaranya dengan tatapan tajam. “Karena kau bukan sahabatku.” Ungkapnya.
“Baiklah. Kau hanya terlalu egois
untuk menyikapi ini semua.” Ungkap Jase seraya berbalik, menyiapkan langkahnya
untuk pergi.
“Aku tidak lagi mengharapkan
kehadiranmu lagi sebenarnya.”
Jase menghentikan langkahnya. “Tidak
masalah. Kuharap besok kau bersedia menemuiku di rumah sakit dekat pertigaan
jalan menuju ke sekolah.”
“Aku tidak bersedia.”
“Tidak masalah.”
Beberapa detik lagi Jase pergi. Ia
terlalu membuang waktu untuk menyikapi keegoisan laki-laki itu. Kekecewaan yang
termakan api kebencian tidak bisa memadamkan bentuk kelembutan apapun darinya.
“Keegoisanmu yang tinggi tidak akan
pernah bisa menerima bentuk penghalusan apapun dari orang lain. Kala itu,
hatimu menolak untuk melunak, menolak untuk menerima pikiran orang lain karena
kau hanya terpacu dengan pikiranmu sendiri. Pikiran yang menurutmu benar.”
Dan Jase benar-benar mengayunkan
langkahnya.
***
Sore itu, hujan turun dengan deras,
menepikan langkah Devan di sebuah gazebo taman setelah seharian ini
beraktivitas mengisi waktu liburnya di hari Minggu. Sambil menunggu hujan
meninggalkan gemerciknya yang keroyokan, ia mendaratkan pikirannya ke belakang.
Tapi, beberapa detik selanjutnya, ia menolak untuk mengingatnya.
“Terkadang, sebagian orang yang
mendeklarasikan diri sebagai sahabat untuk kita, tidak pernah bisa memberikan
kekuatan apapun karena sikapnya yang bahkan mengecewakan.” Gumamnya tanpa
sadar.
“Tapi, kau hanya mengingat sahabatmu
itu dari satu sisi keburukannya saja. Cobalah ingat, kebaikan mana lagi yang
pernah diperbuatnya untuk menjaga hubungan persahabatannya denganmu?”
Mendadak sebuah suara mendarat di
telinganya. Devan segera berbalik dan mendapati sebuah perempuan yang tengah
mengukir senyum ke arahnya, memandangnya dengan lembut, yang membuat matanya
terasa panas seketika.
“Reina?” Devan mengucek matanya.
Perempuan yang di depannya mengingatkan ia pada seseorang yang dulu pernah
disukainya. Tapi beberapa detik setelah itu, ia segera melupakannya.
Beruntung saat itu hujan mulai
mereda, sehingga Devan bisa pergi untuk melupakan halusinasinya yang kuat. Reina
tidak mungkin hidup lagi, ia memang telah pergi.
“Maaf, aku harus pergi.”
“Tunggu,” Suara itu lagi, membuat
langkahnya terhenti. “Apakah tak ada hal yang ingin kau bicarakan kepadaku?”
Devan menggelengkan kepalanya dan
mulai mengayunkan langkahnya meninggalkan taman kota. Ia tidak ingin membuka
kembali luka lama. Meski seorang Reina telah terlahir kembali dengan membawa
sedikitnya perbedaan, tetapi ia menolak untuk menguatkan firasatnya yang dulu
pernah bercengkerama dengan langit malam, bahwa Reina seolah-olah masih hidup
baginya.
***
Kelulusan. Akhirnya, hal yang
ditunggu pun telah hadir di depan mata. Devan memandang tubuhnya yang tinggi di
depan cermin, kini telah terbalut dengan kemeja putih panjang lengkap dengan
dasi yang terbalut sebuah jas hitam. Sebentar lagi, jadwalnya untuk berdiri di
atas panggung.
Baiklah tinggal beberapa detik lagi
suaranya akan mengudara lewat potongan bait demi bait yang pernah ditulisnya
dalam selembar kertas polos, membentuk satu kesatuan hingga ia berniat
menjadikan kata-kata itu sebagai ungkapan atas apa yang dirasakannya selama dua
tahun ke belakang. Tentu saja dalam sebuah lagu.
Devan memejamkan matanya, posisi
stand mic yang telah berdiri di depan wajahnya membuatnya tidak percaya diri
untuk membawa ekspresi ke arah yang diinginkan. Beberapa detik yang lalu,
ketika namanya dipanggil, semangatnya melambung. Tetapi setelah berdiri di atas
panggung, kepercayaannya terhadap diri sendiri surut begitu saja terkikis di
tengah jalan menuju ke panggung.
Intro telah dimulai, alunan gitar
yang mengiringi dari kelompok siswa dengan predikat “guitar team” telah
melengkapi iramanya. Dan sekarang, saatnya ia membuka mata, bersamaan dengan
melambungnya suara lembut miliknya.
Sebelumnya, ia tidak pernah memiliki
ide segila ini. Tetapi kisah kelamnya, telah mendorongnya untuk berdiri di atas
panggung. Sekarang, sudah saatnya ia mengekspresikannya.
Tak pernah terpikirkan
Semua berlalu
selayaknya udara
Kaku dalam kata, bisu
dalam ungkap
Tak ada lagi kisah
kelam yang berarti
Kau hanyalah cahaya
indah
Namun kemudian kau
redup dalam kekecewaanku
Dan kau pernah menjadi
mentari
Namun kau mengingkari
sinarmu setelah hadirnya hujan
Aku terpuruk dalam sepi
Mencoba untuk melupakan
sakit
Namun hadirmu
meninggalkan bayang tipismu
Menari, menggoda,
setiap saat dalam ingatanku
Untukmu yang terlanjur
kubenci
Lewat perbuatan angin
malam
Ku ungkapkan laraku
Keindahan yang dulu
pernah hadir
Terkikis waktu, ego ini
memakannya
Sudah selayaknya
kubuang semua
Kenangan kita tak lagi
berharga
Pertemuan kita bukan
lagi kenangan
Sehingga perpisahan
menjawabnya
Devan membuka kedua matanya. Lalu,
suara tepuk tangan yang meriah mendarat mulus di sepasang indra pendengarannya.
Akhirnya ia bisa mengembuskan napas dengan lega, melihat semua orang larut
dalam kisahnya. Kisah yang tak akan pernah diingatnya kembali, meski sekarang
kenyataannya sulit untuk dilupakan.
***
“Lagumu benar-benar membuatku tak
kuasa menahan tangis. Aku takjub dengan penampilanmu tadi.” Suara itu lagi,
entah kenapa dada Devan terasa sesak mendengarnya. Suara yang diindikasikan
dapat memicu ingatannya yang terkubur lama kembali hadir.
“Baiklah, aku harus mengalahkan
egoku untuk sementara.” Devan berbalik dan memandang perempuan di depannya. Ia
menghela napas pelan sebelum akhirnya menghujani perempuan itu dengan sebuah
pertanyaan. “Kau siapa? Mengapa kau terus berada di sekitarku? Mengapa kau
seperti sosok Reina yang dulu kukenal?”
Perempuan di depannya itu hanya
tersenyum, lalu menarik tangan Devan keluar. Sementara itu Devan hanya
mengikuti langkahnya yang tergesa-gesa itu.
“Sebelumnya, aku minta maaf.”
“Untuk?”
“Aku membawamu dari acara yang besar,
aku membawamu keluar dari sesuatu yang penting.”
“Tidak masalah, sekarang apa yang
ingin kau lakukan?” Tanya Devan.
“Kau akan tahu jawabannya beberapa
saat ke depan.”
“Apa? Jangan membuatku seolah-olah
penasaran.” Tegas Devan, lalu melepas tangan perempuan itu yang masih
melingkari pergelangan tangannya.
“Kau tidak perlu memerdekakan
keegoisanmu itu. Mulai sekarang buanglah sifatmu dan rasakan arti penting
orang-orang di sekitarmu.” Devan menghentikan langkahnya. “Kesendirianmu telah
menguatkan egomu, bahwa pikiranmu yang keras akan selalu memakan dirimu
sendiri. Kau tidak akan pernah tahu arti penting seseorang, sampai akhirnya kau
benar-benar merasa kehilangan.”
Devan terdiam. Memangnya kehilangan
seperti apa yang akan dialaminya? Kehilangan apa yang akan mengancam hidupnya?
“Sekarang, ikutlah aku.”
“Kemana?”
Perempuan itu menghampiri Devan dan
mulai berbicara tepat di dekat telinganya, seraya menggenggam paksa tangannya.
“Itu urusanku. Aku mohon, hari ini saja buanglah egomu yang tinggi itu.”
“Memangnya kau siapa? Kau tidak
berhak mengaturku.” Devan tetap kukuh pada keinginannya, ia hanya ingin tahu
maksud dari perempuan itu membawanya keluar. “Aku akan kembali ke dalam, oke?
Jadi–“
Ucapannya terpotong bersamaan dengan
cengkeraman tangannya yang semakin menguat. “Kau harus ikut denganku.”
“Tidak.”
Kemudian Devan meringis kesakitan.
Dengan beraninya, perempuan itu mendaratkan sebuah tamparan keras di wajahnya.
“Bagaimana sakit? Lebih sakit mana
daripada tidak dihargai sama sekali? Untunglah rasa sakit di pipimu bisa
menghilang. Tapi masalah tidak dihargai, kau tahu? Ia akan bersemayam dalam
hati. Bisa saja ia berubah jadi dendam, menjadi kebencian.” Desis perempuan di
depannya.
“Kalau kau ingin membenciku–“
“Devan, aku harus menamparmu berapa
kali sampai kau bisa melunak?”
“Baiklah.”
Kemudian Devan mulai berjalan
terpaksa, mengikuti perempuan itu yang berjalan ke arah sepeda yang terparkir
di dekat gerbang.
“Itu sepedamu?” Perempuan itu
mengangguk. “Biar aku yang mengayuhnya.”
“Ah, tidak perlu. Memangnya kau
tahu, kita akan kemana?”
Devan hanya mengembungkan kedua
pipinya seraya mengangkat bahunya. “Ke jalan.”
“Maksudmu?”
“Jalan kematian.” Jawab Devan
sembarang, membuat perempuan itu meninju dadanya pelan. Tetapi entah mengapa,
tiba-tiba seutas senyum menghiasi wajahnya. Entahlah, mengapa ia merasakan
bahwa perempuan itu seolah-olah Reina. Seakan, kebahagiaan yang dulu terkubur,
telah terlahir kembali.
“Jadi, siapa yang akan mengayuh?”
Tanya Devan.
Perempuan itu menatapnya. “Aku.”
Jawabnya dengan enteng, membuat matanya membelalak.
“Apa kabarnya dengan derajatku
sebagai laki-laki? Naik sepeda berduaan, seraya mengenakan baju seresmi ini?
Kita layaknya pengantin, pengantin gila yang dengan santai menaiki sepeda
berwarna merah muda.” Ungkap Devan seadanya, sampai ia tak sadar apa yang telah
diucapannya itu.
Decakan dari perempuan itu
membuatnya kembali membalas tatapannya. Lagipula, tatapan itu membuatnya
melunak. Ia merasakan kelembutan tersirat di sepasang matanya yang indah itu.
Ah,
pikiran macam apa itu?
“Tak ada ruang untuk bercanda.”
Tegas perempuan itu. “Sekarang, ayo pergi.”
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar