Pernahkah kau memiliki pagi yang kau janjikan akan
menaruh cerita indah, yang sebelumnya menjadi misteri di hari kemarin?
Bagaimana pun juga, mungkin kau akan merasakan aura yang berbeda tatkala kau
merasakan aliran aroma yang lain dari apa yang kau sebut-sebut dalam harapmu.
Layaknya potongan dadu yang kau lemparkan di dasar alas, nasib tidak akan
pernah bisa untuk diprediksi.
Waktu telah menunjukkan pukul tujuh,
sementara itu seorang perempuan dari lantai dua dengan tergesa-gesa menuruni
anak tangga setelah menutup rapat pintu kamarnya. Rambutnya yang masih
berantakan dibiarkannya, ia hanya fokus dengan laju kecepatan kakinya menuju
meja bundar.
“Pa, sekarang juga antarkan...” Ucapannya
menggantung ketika langkahnya tiba di depan sebuah meja bundar, dimana seorang
laki-laki yang dikenalnya sebagai seorang ayah sedang makan bersama dengan
seorang perempuan.
“Eh, Yona?”
Yona menggeleng sesaat, kemudian
mundur beberapa langkah. Tiba-tiba tubuhnya lemas begitu saja. Bagaimana tidak,
pagi yang ia miliki harus direbut oleh perempuan itu. Perempuan yang justru
tidak pernah diharapkan kehadirannya.
“Yona? Kamu kenapa?”
Tapi kemudian Yona mengangkat
kepala, lalu tersenyum simpul. “Ah, gapapa kok. Aku berangkat dulu ya, pa.”
Ucap Yona, kemudian segera berlari kecil menuju keluar.
Ayahnya, juga seorang perempuan yang
menghadap ke arahnya, turut memperhatikan kejadian kecil itu. Mungkin, ayahnya
belum mengerti dengan jalan pikirannya. Tapi perempuan yang terus mengarahkan
pandangannya menuju jendela seolah tahu dengan apa yang memenuhi pikiran Yona.
“Yona, kamu yakin bisa berangkat
sendiri?” Tanya ayahnya dengan suara sedikit meninggi, mengingat Yona yang
sepertinya telah jauh dari area ruang makan.
Yona yang saat itu masih berdiri di
depan pintu serambi hanya terdiam, memandang gerbang rumahnya, gerbang tempat
pertama yang disentuhnya bersama mereka. Mereka yang kini telah tergantikan
dengan yang baru. Perlahan, air matanya berlinang. Dan muncul pertanyaan baru, mengapa harus secepat ini?
Yona melangkahkan kakinya
meninggalkan pelataran rumah. Untuk hari ini saja, ia menggunakan sepeda menuju
ke sekolah. Biasanya, Yona diantar jemput ayahnya. Namun, mengingat kejadian
tadi, rasanya Yona tidak ingin mendapatkan bentuk perhatian apapun lagi dari
pria itu.
Mendung masih bergelayut di langit,
mengikuti suasana yang tengah bergemuruh memenuhi rongga dadanya. Daun-daun di
sepanjang jalan ikut bergerisik, juga. Angin terus berhembus, namun perempuan
itu seolah tidak menghiraukan bagaimana angin menyelisik rambutnya sepanjang
perjalanan.
Sesekali arah pandangnya menuju
benda merah muda yang melingkar di tangannya. Seperempat menit lagi bel masuk
sekolah akan berbunyi, membuat Yona dengan kecepatan maksimum mengayuh
sepedanya. Tapi, lagi-lagi pikirannya jatuh ke arah itu dan ia benar-benar
kehilangan seberkas cahaya emas untuk masa depannya.
“Papa, andai mulutku ini dengan
lancang melarang, aku akan meminta satu saja permintaan untuk selamanya. Dan
setelahnya aku tidak ingin lagi meminta apapun, tapi...” Yona membatin, masih
dengan derai air mata tipis.
Kusik rasa yang padat dalam dadanya,
tepatnya lebih mendalam lagi, sedikit berevolusi hingga muncul benih-benih
sesak. Secepat kilat, Yona menggunakan tangan kirinya untuk menekan dadanya,
meminimalisir untuk sekedar menetralisir rasa sakit itu.
“Pa, aku mohon...” Lirihnya, masih
sambil mengayuh sepeda dengan cepat.
***
Sekitar kurang lebih dua jam, Yona masih
berdiri di tengah lapangan –bersama siswa-siswi lain, yang mengalami nasib sama
sepertinya– Tangannya masih melekat pada posisi awal saat mendapatkan instruksi
dari guru kesiswaan, posisi hormat hingga bel istirahat berbunyi.
Dari kejauhan, beberapa orang
terlihat sedang berolahraga. Dan tanpa sengaja, arah pandangnya menangkap
seorang laki-laki yang terlihat sedang mengarahkan pandangan ke arahnya. Yona
tahu dengan apa yang tengah dipikirkan laki-laki itu, hanya saja... Ah, mungkin
ia tak berhak lagi untuk memusatkan segala pikirannya kepada laki-laki itu.
Tidak seperti biasanya, laki-laki
yang dikenal sebagai ketua basket di sekolahnya itu hanya mampu berdiri dari
kejauhan sambil memandang Yona ekspresif. Senyumannya sama sekali tidak
mengalami evolusi, sehingga membuat Yona yang diam-diam menatapnya bisa menarik
kesimpulan.
Namun beberapa detik setelahnya, Yona
segera kembali menghentikan gerak ekor matanya yang nakal. Melirik laki-laki
itu sama saja dengan mengingatkannya dengan kejadian tadi, kejadian dimana
tanda-tanda itu akan mencuat keluar dan ia sama sekali tidak mengharapkannya.
Tidak akan pernah.
Tiba-tiba Yona merasakan tubuhnya
terlalu dehidrasi, keringat yang bersimbah membasahi seragamnya membuatnya
risih. Tapi mau tak mau, ia harus tetap
berdiri, berdiri hingga bel tanda istirahat bergema di seluruh penjuru sekolah.
Entah mengapa, rasanya Yona
benar-benar kehilangan keseimbangan. Sebisa mungkin, ia menahan kedua kelopak
matanya agar tidak segera meninggalkan pandangannya. Tapi, ia benar-benar lemas
hingga akhirnya Yona hampir roboh, namun ada sesuatu yang mengganjalnya dari
bawah.
“Yon! Yona! Kamu baik-baik saja?”
Tanya seorang laki-laki yang baru saja berhasil menahan tubuh Yona, hingga
tidak mengenai permukaan lapangan yang kasar.
Yona hanya terdiam mendengarnya,
setengah kesadarannya masih hilang. Dalam sekejap, orang-orang telah
mengerumuni lapangan. Sebagian dari mereka hanya sekedar ingin tahu, sebagian
lagi berniat untuk menolongnya.
“Yonaa!” Laki-laki itu kembali menampar
ringan kedua pipi Yona, suaranya terdengar sangat cemas.
“Landry...” Yona belum sempat untuk
menyampaikan maksudnya, karena dengan segera tim PMR di sekolahnya memapahnya
menuju UKS.
“Kamu pasti kuat.” Ucapnya penuh
harap.
Landry, laki-laki yang telah
menolongnya itu hanya berjalan di belakang tim PMR. Ekspresi wajahnya
benar-benar terlihat sangat khawatir, bahkan sejak memandang Yona dari kejauhan
pun laki-laki itu tidak menyempatkan untuk tersenyum sedikit pun.
***
Dan,
apa yang kau harapkan setelah kau kembali memiliki pagi itu dengan keadaan yang
berbeda dari harapanmu? Akankah kau menyimpan harap kembali untuk siang yang
akan datang? Atau mungkin menunda harapmu, dengan meletakan kembali harapan
yang terlupakan pada celah-celah waktu pagimu? Tidak, angin akan terus
berhembus, selama itu kau akan menyadari nafas dari kehidupan.
Ketika kelopak matanya terbuka, Yona
dikejutkan dengan suasana serba putih, seolah kali ini ia benar-benar berada
dalam suasana sesungguhnya. Separuh jiwanya telah pergi, namun ingatannya
lagi-lagi jatuh ke arah beberapa hari ke belakang, dimana ayahnya terus
menghabiskan kebersamaan bersama seorang perempuan yang tidak dikenalnya.
Saat itu, Yona baru saja pulang
sekolah. Seperti yang biasa dilakukan usai kepulangannya adalah makan siang,
sebelum menonton acara televisi kesukaannya di ruang depan. Tetapi ada
penglihatan yang aneh ketika sepasang matanya tiba di dalam rumah, seorang
perempuan yang bahkan tidak dikenalnya dengan manis mendaratkan tubuhnya pada
salah satu sofa.
Yona sedikit berdeham, hingga
ayahnya benar-benar bangkit, lalu menghampirinya dan sedikit mengulur senyum ke
arahnya.
“Dia siapa?” Tanyanya, ia
menggunakan telunjuknya untuk memperjelas arah pertanyaannya.
“Sebelumnya, maaf papa tidak pernah
berkata kepadamu. Yona, dia adalah calon mamamu. Jadi, papa mohon dengan
sangat, berikan pelayanan yang sopan untuknya.” Ujar ayahnya, membuat Yona
hampir kehilangan keseimbangan.
Sekilas, Yona melirik ke arah
perempuan itu. Perempuan itu hanya tersenyum membalas tatapannya, sementara Yona
ikut tersenyum dengan sangat terpaksa. Lensa matanya, sama seperti ibunya, itu
kesan pertama yang dapat disimpulkan darinya.
“Apa dia ada hubungan darah dengan
mama? Aku merasa ada sesuatu yang mirip dengan mama.” Tanyanya, sekaligus
memaparkan argumen yang mendukung pertanyaannya.
Papanya hanya tertawa, lalu mengusap
rambut Yona pelan. “Kamu ini ada-ada saja.”
Yona terdiam untuk beberapa saat,
perempuan itu masih menatap ke arahnya, juga ayahnya yang berada di sampingnya.
Mengapa revolusi keutuhan begitu cepat? Sedangkan rotasi pada keutuhan yang ia
miliki sendiri belum terasa sempurna. Sekali lagi Yona mendesah, mencoba
menenangkan diri yang tengah bimbang.
“Kamu sudah makan?” Tanya ayahnya,
membuat Yona mengangkat bahu acuh.
“Sepertinya aku akan makan di luar.”
Balasnya dingin, membuat raut wajah pria separuh baya itu remuk redam. “Ada
yang salah?”
“Yona!”
Yona tersentak kaget, mendengar
seruan itu. Ia segera mengumpulkan kesadarannya ketika setengah menyadari
tepukan tangan di sebelah kirinya. Landry, laki-laki itu sejak tadi menatapnya.
“Sejak kapan kamu disini?” Tanyanya
dengan suara pelan, ekspresinya setengah ragu.
Landry hanya menatap Yona heran,
lalu segera mendekatkan diri setelahnya. “Sejak kamu pingsan.”
“Kenapa bisa disini?” Tanya Yona,
dengan nada polos. Seolah ia sama sekali tidak tahu apapun sebelumnya. “Kenapa
aku bisa disini? Dan kamu...”
Ucapannya menggantung, membuat
laki-laki yang duduk di sebelahnya
terpaksa menahan maksudnya. Sementara suara hatinya telah bergemuruh untuk
segera membalas ucapannya. Namun, ucapan Yona yang tak kunjung tiba membuatnya
merasa harus mengisi keheningan yang mulai terasa hawanya.
“Tadi kamu pingsan.” Laki-laki itu
mengambil jeda sebentar, lalu mengambil segelas air putih yang di simpan di
atas meja dekat kotak P3K. “Ingat? Sepertinya kamu harus lebih banyak minum.”
Yona yang mendapatkan perlakuan
kecil itu hanya tertegun, memandang segelas air putih –yang memenuhi gelas itu–
tersodor begitu saja ke arahnya. Landry terlalu perhatian, dan mungkin kalau
boleh jujur, Yona semakin menyukainya.
“Ngomong-ngomong, dibanding kemarin,
aku semakin menyukaimu. Tetap seperti ini, aku mohon.” Kata Yona dengan nada
setengah getir. Sementara itu, Landry hanya tersenyum simpul sambil mengangguk
penuh perhatian.
“Kamu berbeda dengan yang lain. Kamu
adalah berlian yang harus aku selamatkan dari sebuah kegelapan, dan aku tidak
akan pernah membiarkan kegelapan itu kembali memenuhi suasana hidupmu.” Kata
Landry, membuat Yona bangkit dan segera menjitak pelan kepalanya.
“Selalu saja dibawa berlebihan.
Dasar.” Katanya setengah mendengus, lalu segera berjalan pelan ke arah luar.
Landry yang membiarkan arah
pandangnya mengikuti langkah kecil Yona segera tersadar, lalu bangkit dan
menyusul Yona keluar. Perempuan itu bahkan sama sekali tidak memperlihatkan
reaksi apapun saat ini, sehingga membuatnya sulit untuk menyesuaikan dengan
keadaan.
“Kamu mau kemana?” Tanya Landry,
begitu selesai menyamakan posisiya hingga langkahnya sejajar dengan perempuan
itu.
“Aku ingin mencari udara dingin di
sekitar sini. Aku tidak terlalu kuat menghirup bau obat-obatan.” Jelasnya,
tanpa menoleh ke arah lawan bicara.
Landry menggenggam tangannya,
membuat Yona menghentikan langkahnya. Perlahan, perempuan itu menatapnya dengan
intens, sebelum akhirnya muncul sebuah tanya. Mata elang milik laki-laki itu,
potongan rambutnya, poni sampingnya yang menari-nari, membuat Yona tidak bisa
menahan desiran jantungnya.
“Ada apa?” Tanyanya setengah
bergetar, lalu menunduknya setelahnya.
Tetapi perlakuan Landry yang selalu
menghadiahkan kelembutan untuknya, membuat Yona tidak terlalu takut. Takut akan
kehilangan laki-laki itu.
“Ikut aku.” Balasnya, lalu menarik
tangan Yona dengan cepat. Sementara Yona hanya mengekorinya dari belakang.
Selama perjalanan menuju tempat yang
dimaksud, tak ada bentuk percakapan apapun sehingga keheningan terasa sangat
mencekam. Mereka sama-sama sibuk dengan pikirannya masing-masing. Sesekali
pertanyaan kecil keluar dari salah seorang di antara mereka, tetapi setelahnya
keheningan kembali merajai.
“Kamu tidak masuk kelas?” Tanya Yona,
setengah khawatir. Ekspresinya berubah ketika menatap jam tangan yang
melingkari tangannya yang mungil.
“Tidak, seperti biasa, gurunya tidak
masuk. Kabarnya sih, sakit.” Kata Landry singkat.
“Lalu, ada perlu apa kamu membawaku
kesini?” Tanya Yona ketika mendaratkan tubuhnya bersama laki-laki itu di salah
satu kursi putih yang memanjang, menghadap sebuah danau.
Ya, mereka tengah ada di taman
belakang sekolah, yang biasa digunakan untuk waktu istirahat. Tetapi, mayoritas
orang-orang menggunakan waktu istirahatnya dengan berjalan menuju kantin,
walaupun harus dengan berdesakan. Hal itu jelas membuat taman tidak terlalu
ramai.
Yona masih terdiam, menelungkupkan
kedua jarinya di atas tas punggungnya. Pandangannya lurus ke depan, menatap
riak air yang baru saja bergerak karena lemparan batu yang dikendalikan
laki-laki di sebelahnya.
“Bagaikan melemparkan batu ke danau,
maka riak pun akan meluas. Dan kamu, setiap sepasang matamu menemui lensa
mataku, perasaan ini pun meluas dalam hati.” Kata Landry dengan serius.
Yona hanya terdiam, sesekali hanya
membalasnya dengan tersenyum tipis diiringi dengan kekehan kecil. Ia sama
sekali tidak tahu dengan apa yang harus diperbuat di depan laki-laki itu.
“Jadi, maksudmu?” Tanya Yona ragu,
juga tanpa menatap lawan bicaranya yang masih menatapnya dari samping.
“Ada sesuatu yang ingin kutunjukkan
kepadamu.” Kata Landry, lalu segera merogoh saku celananya. “Apakah kamu masih
ingat kapan perkenalan kita dimulai, sebelum akhirnya kita merajut hubungan
ini?”
Yona menatapnya sekilas, lalu
berpikir. “Di saat puncak estafet waktu mulai terjadi?”
“Kamu ini, berlebihan! Aku serius.”
Kata Landry, lalu menghela nafas sejenak. “Masih ingat dengan insiden bola
basket yang melambung mengenai kepalamu, dan kamu yang saat itu sedang
memasangkan jam tangan, tiba-tiba mengomel tanpa henti?”
Yona merengut, menatap Landry dengan
kesal. “Aku tidak akan pernah melupakannya. Dasar, kejadian yang menyebalkan.
Aku benar-benar kesal!”
“Apa yang terjadi setelahnya?”
Landry mulai tertawa jahil, seiringan dengan ekor mata Yona yang mulai
membuntuti senyum nakal laki-laki itu. “Jam tanganmu terjatuh, lalu rusak? Benar?”
Yona menggeleng, lalu bangkit dan
melangkah ke depan dengan pelan. “Lupakan saja!”
Landry tersenyum lebar menatap Yona
yang memunggunginya. Lalu mulai merogoh saku celananya untuk meraih sesuatu,
sebelum akhirnya memilih untuk bangkit dan menghampiri Yona.
“Yona,” Panggil Landry dengan
lembut, tepat di dekat telinganya. Yona yang saat itu setengah terkejut dengan
refleks memejamkan matanya. “Tetaplah seperti itu, jangan bergerak.”
Yona masih terlihat mengatur degup
jantungnya yang tak terkendali. Sirkulasi pernafasannya masih memburu,
sementara itu Landry mulai meraih tangan Yona dengan pelan.
“Jangan bergerak.” Katanya, tetapi Yona
menggeleng.
“Apa yang akan kamu lakukan, Lans?”
Balasnya dengan tanya, membuat Yona kembali merasakan nafas hangat di
telinganya.
“Pokoknya, kamu hanya perlu
memejamkan mata.” Kata Landry lagi, tepat di telinga Yona.
Landry kembali tersenyum, lalu
segera melepaskan jam tangan merah muda yang melingkari tangan mungil milik Yona.
Dengan sangat lembut, laki-laki itu memperlakukan Yona. Senyumannya tak kalah
mengalir.
“Jangan macam-macam kamu, Lands!”
Seru Yona, masih dalam keadaan terpejam.
Landry sama sekali tidak menjawab,
laki-laki itu segera memasang benda yang mungkin terasa asing bagi Yona. Dengan
perlahan, benda itu dipasangnya, hingga akhirnya Landry benar-benar melepaskan
genggamannya.
“Sekarang, buka matamu.”
Yona membuka matanya, lalu menatap
Landry, bukannya menatap benda asing yang justru telah bertengger dengan manis
di tangannya.
“Apa yang telah kamu lakukan?” Tanya
Yona dengan ekspresi penuh tanya, sementara Landry hanya tersenyum dengan arah
pandang menuju tangan Yona. “Tidak! Aku
tidak akan melihatnya sebelum kamu menjelaskannya.”
Landry berdecak kecil, lalu segera
meraih tangan Yona yang tadi dipegangnya dan mengangkatnya hingga berhenti
tepat di depan pandangan Yona. Perempuan itu jelas terpekur dalam suasana, juga
dalam senyuman laki-laki itu yang berada beberapa centimeter darinya.
“Ini janjiku. Mengganti jam tanganmu
yang rusak.” Kata Landry, seraya tersenyum penuh arti.
Mendengar ucapannya, Yona ikut
tersenyum, sebelum akhirnya memilih untuk memeluk laki-laki itu. “Terima kasih,
beberapa hari ini aku menginginkan jam tangan itu kembali. Tapi aku rasa tidak
mungkin.”
“Dan aku akan selalu menyayangimu.”
Balas Landry lembut, membuat air mata Yona benar-benar menetes saat itu juga.
“Aku juga.”
Sayup-sayup terdengar bunyi dering
suara ponsel, yang diketahui sumbernya dari arah saku celana Landry. Laki-laki
itu tentu saja menarik diri dari pelukan yang dibuat Yona, kemudian
melambungkan kata maaf.
Ternyata hanya sebuah pesan masuk
begitu Landry merogoh ponselnya. Yona memandang ekspresi Landry yang datar,
sebelum akhirnya beralih menuju dompet hitam yang baru saja jatuh menerpa
tanah.
Sambil menunggu Landry yang sibuk
menggunakan ponselnya, Yona meraih dompet Landry. Tetapi selembar foto
tertinggal di antara semak rerumputan, membuat Yona kembali mencondongkan
tubuhnya untuk meraihnya.
Namun tanpa diduga sebelumnya, Yona
mendadak lemas kembali. Sama sekali tidak bisa menggunakan keseimbangannya
untuk menyesuaikan tubuhnya. Kedua kakinya yang menopang berat tubuhnya seolah
mengalami disfungsi dan ia tidak bisa bergerak banyak. Ekspresinya mendadak
berubah, bahkan telah mendung.
Pandangannya terus menyimak selembar
foto yang terpisah dari dompet hitam, yang diketahui milik Landry. Matanya
terasa panas, hingga air mata dengan cepat membentuk patahan-patahan kecil di
sekitar pipinya.
Landry, yang saat itu kembali
memasukkan ponsel ke dalam sakunya segera menatap Yona. Namun yang didapatinya
bukan seorang Yona yang tengah memperlihatkan wajahnya yang gembira seperti
tadi, melainkan dipenuhi air mata dengan pandangan menjurus kepada benda yang
dipegangnya.
“Yona, kamu kenapa?” Tanyanya,
suaranya mulai khawatir. “Kenapa kamu menangis?”
Kemudian laki-laki itu berdiri di
sebelah Yona dan ikut menyaksikan selembar foto yang sedang dipegang Yona.
“Itu aku, dan perempuan di sebelahku
itu mamaku. Sudah terasa lama, kami hidup tanpa seorang ayah.” Kata Landry
dengan perlahan, membuat tangis Yona berhenti untuk sesaat.
“Apa selama ini mamamu ada di
rumah?” Tanya Yona, membuat ekspresi Landry berubah.
Landry terdiam untuk beberapa saat,
tampak sedang berpikir. “Tidak. Kenapa? Ada sesuatu yang aneh?”
Yona menggeleng.
“Akhir-akhir ini, mama sibuk dengan
urusannya sendiri. Dia jarang lagi ada di rumah.”
“Mamamu...pemilik nama ini?” Yona
memperlihatkan layar ponselnya, dengan tampilan sebuah pesan percakapan antara
dirinya dengan kontak bernama Fryda.
“Ah, kamu mengenal ibuku? Iya,
bahkan foto yang kamu gunakan itu memang ibuku.” Landry berseru dengan suara
melambung tinggi, membuat Yona semakin lemas dan kehilangan keseimbangan.
Jadi, apa yang akan terjadi setelah Yona
benar-benar menemukan takdir yang searah pikirannya? Pikirannya saat itu mulai
bimbang, dipenuhi rasa kekhawatiran yang sangat dalam.
“Sampai manapun dirimu kucintai dan
sampai kapanpun juga, dirimu dicintai.” Kata Yona dengan lirih, membuat Landry
segera menatapnya.
“Kamu kenapa?” Tanyanya, ekspresinya kembali berubah.
Yona menggeleng, lalu segera melepas
jam tangan yang baru saja dipasang laki-laki itu. “Ini tidak mungkin, Lands!”
“Maksudmu?”
“Kamu akan menemukan jawabannya
suatu saat.” Kata Yona, masih dengan suara lirih. “Dan maaf dengan sangat
terpaksa, hubungan kita harus berhenti cukup disini.”
Yona segera menyerahkan jam tangan
yang tadi sempat dipasangkan Landry, lalu segera melangkah meninggalkan Landry yang
masih disibukkan dengan pikirannya sendiri. Sama sekali tidak mengerti dengan
maksud air mata yang baru saja menetes dari sepasang mata indah milik Yona.
“Aku salah apa?”
***
Tak terasa dua bulan telah berlalu,
selama itu pula tak pernah ada lagi kebersamaan yang melibatkan Yona dan
Landry. Beberapa kali Landry meminta agar Yona memenuhi keinginannya untuk
bertemu di tempat biasa, tetapi perempuan itu selalu menghindar dengan alasan
yang dimilikinya.
Dan saat ini, sebuah acara itu telah
menjadi saksi bahwa Yona tidak bersalah sepenuhnya. Sebuah acara pernikahan
yang digelar cukup meriah di sebuah gedung yang cukup mewah itu mampu
menampakkan senyum gembira para undangan yang datang dalam acara yang
berbahagia itu.
Tapi entahlah, tak ada sesuatu yang
bisa dijelaskan dari sebuah ekspresi yang terpatri pada wajah seorang perempuan
bergaun putih cantik, dengan kesan elegan yang membuat banyak orang terkesima
dengan penampilannya.
Janji yang suci yang terucap dari
kedua mempelai menjadi saksi bahwa keduanya telah resmi untuk menjalin
kekeluargaan yang baru. Laki-laki berkumis itu mencium kening pasangannya
dengan lembut, hingga muncul semburat merah di kedua pipinya.
Sementara itu, sepasang mata
menyaksikan nanar kejadian itu, memalingkan wajahnya agar tidak terlalu
temperamental dengan keadaan. Lalu, tanpa sengaja pandangannya melihat sepasang
mata elang yang telah lama tidak mengisi kekosongannya beberapa hari ke
belakang. Mata yang selalu menjadi alasan mengapa ia tenang, mata yang sangat dirindukannya
dan berharap bisa kembali dimiliki.
Mata itu tidak lain milik Landry. Yona
merasa air matanya memberontak, terus mendesak agar kembali keluar. Tapi,
tempat yang ramai itu membuatnya dengan susah payah menahannya, membuatnya
hanya mampu membendungnya. Pada akhirnya Yona melarikan diri dari keramaian
menuju kamarnya hanya untuk memuaskan keinginan matanya yang telah perih,
meronta-ronta sejak tadi.
Saat itu, Yona benar-benar menangis,
mengeluarkan semua perasaan yang telah bersemayam dalam rongga dadanya. Dengan
kasar tangannya meremas bantal untuk melampiaskan segala kekesalannya.
“Kenapa baru sekarang? Kenapa gak
dari dulu kamu bilang? Kenapa kamu tega menjauhiku tanpa alasan yang jelas?
Kamu tahu, bagaimana rasanya menahan siksa rindu yang terus meronta? Kamu bisa
memahami bagaimana makna kehadiranmu untukku saat aku benar-benar dalam posisi
merindu, sama seperti saat ini?”
Mendadak sebuah suara datang. Suara
seorang laki-laki dengan penuh penekanan dari arah pintu, membuat Yona segera
menoleh dan menatapnya lesu.
“Maaf.” Sahutnya, tetapi laki-laki
yang masih berada di ambang pintu itu hanya menggeleng.
“Bahkan, saat kamu mengucapkan maaf
pun seolah tidak cukup untuk membalas segala tanyaku. Bagaimana bisa pertanyaan
yang bertubi-tubi dan dibalas dengan seutas kata maaf itu bisa menawarkan rasa
yang aku miliki? Kau tahu, bagaimana rasaku saat ini?” Dia menghela nafas.
“Sakit.”
Landry menahan dadanya, sementara
itu Yona hanya menatapnya dengan lirih. Ini kesalahannya juga, namun ia hanya
menginginkan yang terbaik dari takdir ini, sebelum akhirnya hubungan itu
berjalan lebih jauh hingga menyisakan luka ketika akhirnya takdir bertemu
dengan hubungan itu.
“Ini semua demi kebaikan kita juga,
Lans. Dan aku yakin, kamu bisa hidup tanpa hadirku.” Kata Yona.
“Semudah itu kamu berkata bahwa aku
bisa melewatinya tanpa hadirmu? Lalu, apa arti rindu yang terus mendesak ini?”
Laki-laki itu menarik nafas sebentar, sedikit menetralisir keadaan. “Kamu puas?
Setelah dua bulan belakang ini menghindar, menyisakan tanya yang akhirnya
bermetamorfosis menjadi luka. Luka itu kemudian berevolusi menjadi butir-butir
kekecewaan dan sekarang kekecewaan itu seolah telah menemukan titik puncaknya.
Rasanya, kekecewaan ini berubah menjadi bentuk kebencian. Dan ini untukmu.”
Air mata seakan tidak bisa
mengering, tanpa ada habisnya keluar dari sepasang kelopak mata indah milik
perempuan itu. Landry berjalan mendekatinya, rasanya ingin sekali memeluknya,
merengkuh perempuan itu ke dalam kehangatan, membicarakan segalanya tentang
mimpi.
Landry berhasil menggapai wajah
lembut perempuan itu, lalu menghapus air matanya yang telah menganaksungai di
kedua pipinya. Wajah yang telah lama tak disentuh itu kini kembali tersentuh.
Kerinduan yang dalam itu akhirnya meluap secara perlahan, meski harus lewat
keadaan yang berbeda.
Setengah hatinya yang telah pergi karena
terbawa arus jarak dan waktu itu pada akhirnya terasa kembali. Landry menarik
perempuan itu ke dalam pelukannya, membawa kehangatan tersendiri untuk
perempuan itu.
“Kamu tahu ucapan terakhirku?” Tanya
Yona masih dalam kehangatan yang dibuat Landry.
Landry hanya mengangguk
mengiyakannya. “Ya. Sampai manapun dirimu kucintai, sampai kapanpun juga dirimu
dicintai.”
“Dan kamu tahu, melupakanmu karena
takdir ini cukup berat. Aku hanya bisa meminta maaf. Aku tahu, aku memang salah
dan sekarang kamu bahkan boleh meluapkan emosimu kepadaku. Terserah, sesukamu.”
Kata Yona sambil terisak.
“Aku hanya ingin kamu tidak
menangis.” Balas Landry sambil mempererat kedua tangannya yang melingkari tubuh
perempuan itu.
“Takdir, mungkin kita harus berserah
diri kepadanya.”
Landry mengangguk, hingga akhirnya Yona
menarik diri dari pelukan itu dan menatap laki-laki itu hanya untuk sekedar meyakinkan.
“Kumohon maafkanlah aku. Cinta kita
terlarang, dan aku hanya bisa menyembunyikannya disini.” Yona menunjuk dadanya,
tepatnya di dalam sana –tempat segala perasaannya berkecamuk.
“Ya. Mungkin jika kita tidak
terlahir seperti ini, kita tidak akan pernah terpisah dan kita berdua akan
terikat dalam sebuah hubungan yang indah.” Sahut Landry. “Dan aku bisa bahagia
jika kita bisa menerima takdir ini.”
“Kita berdua yang terlarang.” Timpal
Yona membuat Landry mengangguk ikhlas.
“Kita hanya perlu mempercayai takdir
ini, yang telah ditentukan untuk kita berdua demi yang terbaik.” Tambah Landry,
membuat Yona tersenyum tipis.
Pada akhirnya, hubungan itu harus
kandas setelah takdir berhasil menabrak hubungan itu. Namun, kenangan akan
tetap mengabadi, takkan pernah terlupakan dari daur waktu yang terus
berevolusi. Dan takdir, sekuat apapun dirubah, namun takkan pernah menghasilkan
perubahan. Kepercayaanlah yang justru diletakkan sebagai alas untuk menyikapinya
karena takdir itu menyimpan sesuatu yang terbaik untuk siapapun yang
menerimanya.
***
Terimakasih
telah membaca^^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar