Sabtu, 10 Oktober 2015

FORBIDDEN




            Pernahkah kau memiliki pagi yang kau janjikan akan menaruh cerita indah, yang sebelumnya menjadi misteri di hari kemarin? Bagaimana pun juga, mungkin kau akan merasakan aura yang berbeda tatkala kau merasakan aliran aroma yang lain dari apa yang kau sebut-sebut dalam harapmu. Layaknya potongan dadu yang kau lemparkan di dasar alas, nasib tidak akan pernah bisa untuk diprediksi.

            Waktu telah menunjukkan pukul tujuh, sementara itu seorang perempuan dari lantai dua dengan tergesa-gesa menuruni anak tangga setelah menutup rapat pintu kamarnya. Rambutnya yang masih berantakan dibiarkannya, ia hanya fokus dengan laju kecepatan kakinya menuju meja bundar.

            “Pa, sekarang juga antarkan...” Ucapannya menggantung ketika langkahnya tiba di depan sebuah meja bundar, dimana seorang laki-laki yang dikenalnya sebagai seorang ayah sedang makan bersama dengan seorang perempuan.

            “Eh, Yona?”

            Yona menggeleng sesaat, kemudian mundur beberapa langkah. Tiba-tiba tubuhnya lemas begitu saja. Bagaimana tidak, pagi yang ia miliki harus direbut oleh perempuan itu. Perempuan yang justru tidak pernah diharapkan kehadirannya.

            “Yona? Kamu kenapa?”

            Tapi kemudian Yona mengangkat kepala, lalu tersenyum simpul. “Ah, gapapa kok. Aku berangkat dulu ya, pa.” Ucap Yona, kemudian segera berlari kecil menuju keluar.

Ayahnya, juga seorang perempuan yang menghadap ke arahnya, turut memperhatikan kejadian kecil itu. Mungkin, ayahnya belum mengerti dengan jalan pikirannya. Tapi perempuan yang terus mengarahkan pandangannya menuju jendela seolah tahu dengan apa yang memenuhi pikiran Yona.

            “Yona, kamu yakin bisa berangkat sendiri?” Tanya ayahnya dengan suara sedikit meninggi, mengingat Yona yang sepertinya telah jauh dari area ruang makan.

Yona yang saat itu masih berdiri di depan pintu serambi hanya terdiam, memandang gerbang rumahnya, gerbang tempat pertama yang disentuhnya bersama mereka. Mereka yang kini telah tergantikan dengan yang baru. Perlahan, air matanya berlinang. Dan muncul pertanyaan baru, mengapa harus secepat ini?

            Yona melangkahkan kakinya meninggalkan pelataran rumah. Untuk hari ini saja, ia menggunakan sepeda menuju ke sekolah. Biasanya, Yona diantar jemput ayahnya. Namun, mengingat kejadian tadi, rasanya Yona tidak ingin mendapatkan bentuk perhatian apapun lagi dari pria itu.

            Mendung masih bergelayut di langit, mengikuti suasana yang tengah bergemuruh memenuhi rongga dadanya. Daun-daun di sepanjang jalan ikut bergerisik, juga. Angin terus berhembus, namun perempuan itu seolah tidak menghiraukan bagaimana angin menyelisik rambutnya sepanjang perjalanan.

            Sesekali arah pandangnya menuju benda merah muda yang melingkar di tangannya. Seperempat menit lagi bel masuk sekolah akan berbunyi, membuat Yona dengan kecepatan maksimum mengayuh sepedanya. Tapi, lagi-lagi pikirannya jatuh ke arah itu dan ia benar-benar kehilangan seberkas cahaya emas untuk masa depannya.

            “Papa, andai mulutku ini dengan lancang melarang, aku akan meminta satu saja permintaan untuk selamanya. Dan setelahnya aku tidak ingin lagi meminta apapun, tapi...” Yona membatin, masih dengan derai air mata tipis.

            Kusik rasa yang padat dalam dadanya, tepatnya lebih mendalam lagi, sedikit berevolusi hingga muncul benih-benih sesak. Secepat kilat, Yona menggunakan tangan kirinya untuk menekan dadanya, meminimalisir untuk sekedar menetralisir rasa sakit itu.

            “Pa, aku mohon...” Lirihnya, masih sambil mengayuh sepeda dengan cepat.
***

            Sekitar kurang lebih dua jam, Yona masih berdiri di tengah lapangan –bersama siswa-siswi lain, yang mengalami nasib sama sepertinya– Tangannya masih melekat pada posisi awal saat mendapatkan instruksi dari guru kesiswaan, posisi hormat hingga bel istirahat berbunyi.

            Dari kejauhan, beberapa orang terlihat sedang berolahraga. Dan tanpa sengaja, arah pandangnya menangkap seorang laki-laki yang terlihat sedang mengarahkan pandangan ke arahnya. Yona tahu dengan apa yang tengah dipikirkan laki-laki itu, hanya saja... Ah, mungkin ia tak berhak lagi untuk memusatkan segala pikirannya kepada laki-laki itu.

            Tidak seperti biasanya, laki-laki yang dikenal sebagai ketua basket di sekolahnya itu hanya mampu berdiri dari kejauhan sambil memandang Yona ekspresif. Senyumannya sama sekali tidak mengalami evolusi, sehingga membuat Yona yang diam-diam menatapnya bisa menarik kesimpulan.

            Namun beberapa detik setelahnya, Yona segera kembali menghentikan gerak ekor matanya yang nakal. Melirik laki-laki itu sama saja dengan mengingatkannya dengan kejadian tadi, kejadian dimana tanda-tanda itu akan mencuat keluar dan ia sama sekali tidak mengharapkannya. Tidak akan pernah.

            Tiba-tiba Yona merasakan tubuhnya terlalu dehidrasi, keringat yang bersimbah membasahi seragamnya membuatnya risih.  Tapi mau tak mau, ia harus tetap berdiri, berdiri hingga bel tanda istirahat bergema di seluruh penjuru sekolah.

            Entah mengapa, rasanya Yona benar-benar kehilangan keseimbangan. Sebisa mungkin, ia menahan kedua kelopak matanya agar tidak segera meninggalkan pandangannya. Tapi, ia benar-benar lemas hingga akhirnya Yona hampir roboh, namun ada sesuatu yang mengganjalnya dari bawah.

            “Yon! Yona! Kamu baik-baik saja?” Tanya seorang laki-laki yang baru saja berhasil menahan tubuh Yona, hingga tidak mengenai permukaan lapangan yang kasar.

            Yona hanya terdiam mendengarnya, setengah kesadarannya masih hilang. Dalam sekejap, orang-orang telah mengerumuni lapangan. Sebagian dari mereka hanya sekedar ingin tahu, sebagian lagi berniat untuk menolongnya.

            “Yonaa!” Laki-laki itu kembali menampar ringan kedua pipi Yona, suaranya terdengar sangat cemas.

            “Landry...” Yona belum sempat untuk menyampaikan maksudnya, karena dengan segera tim PMR di sekolahnya memapahnya menuju UKS.

            “Kamu pasti kuat.” Ucapnya penuh harap.

            Landry, laki-laki yang telah menolongnya itu hanya berjalan di belakang tim PMR. Ekspresi wajahnya benar-benar terlihat sangat khawatir, bahkan sejak memandang Yona dari kejauhan pun laki-laki itu tidak menyempatkan untuk tersenyum sedikit pun.
***

            Dan, apa yang kau harapkan setelah kau kembali memiliki pagi itu dengan keadaan yang berbeda dari harapanmu? Akankah kau menyimpan harap kembali untuk siang yang akan datang? Atau mungkin menunda harapmu, dengan meletakan kembali harapan yang terlupakan pada celah-celah waktu pagimu? Tidak, angin akan terus berhembus, selama itu kau akan menyadari nafas dari kehidupan.

            Ketika kelopak matanya terbuka, Yona dikejutkan dengan suasana serba putih, seolah kali ini ia benar-benar berada dalam suasana sesungguhnya. Separuh jiwanya telah pergi, namun ingatannya lagi-lagi jatuh ke arah beberapa hari ke belakang, dimana ayahnya terus menghabiskan kebersamaan bersama seorang perempuan yang tidak dikenalnya.

            Saat itu, Yona baru saja pulang sekolah. Seperti yang biasa dilakukan usai kepulangannya adalah makan siang, sebelum menonton acara televisi kesukaannya di ruang depan. Tetapi ada penglihatan yang aneh ketika sepasang matanya tiba di dalam rumah, seorang perempuan yang bahkan tidak dikenalnya dengan manis mendaratkan tubuhnya pada salah satu sofa.

            Yona sedikit berdeham, hingga ayahnya benar-benar bangkit, lalu menghampirinya dan sedikit mengulur senyum ke arahnya.

            “Dia siapa?” Tanyanya, ia menggunakan telunjuknya untuk memperjelas arah pertanyaannya.

            “Sebelumnya, maaf papa tidak pernah berkata kepadamu. Yona, dia adalah calon mamamu. Jadi, papa mohon dengan sangat, berikan pelayanan yang sopan untuknya.” Ujar ayahnya, membuat Yona hampir kehilangan keseimbangan.

            Sekilas, Yona melirik ke arah perempuan itu. Perempuan itu hanya tersenyum membalas tatapannya, sementara Yona ikut tersenyum dengan sangat terpaksa. Lensa matanya, sama seperti ibunya, itu kesan pertama yang dapat disimpulkan darinya.

            “Apa dia ada hubungan darah dengan mama? Aku merasa ada sesuatu yang mirip dengan mama.” Tanyanya, sekaligus memaparkan argumen yang mendukung pertanyaannya.

            Papanya hanya tertawa, lalu mengusap rambut Yona pelan. “Kamu ini ada-ada saja.”

            Yona terdiam untuk beberapa saat, perempuan itu masih menatap ke arahnya, juga ayahnya yang berada di sampingnya. Mengapa revolusi keutuhan begitu cepat? Sedangkan rotasi pada keutuhan yang ia miliki sendiri belum terasa sempurna. Sekali lagi Yona mendesah, mencoba menenangkan diri yang tengah bimbang.

            “Kamu sudah makan?” Tanya ayahnya, membuat Yona mengangkat bahu acuh.

            “Sepertinya aku akan makan di luar.” Balasnya dingin, membuat raut wajah pria separuh baya itu remuk redam. “Ada yang salah?”

            “Yona!”

            Yona tersentak kaget, mendengar seruan itu. Ia segera mengumpulkan kesadarannya ketika setengah menyadari tepukan tangan di sebelah kirinya. Landry, laki-laki itu sejak tadi menatapnya.

            “Sejak kapan kamu disini?” Tanyanya dengan suara pelan, ekspresinya setengah ragu.

            Landry hanya menatap Yona heran, lalu segera mendekatkan diri setelahnya. “Sejak kamu pingsan.”

            “Kenapa bisa disini?” Tanya Yona, dengan nada polos. Seolah ia sama sekali tidak tahu apapun sebelumnya. “Kenapa aku bisa disini? Dan kamu...”

            Ucapannya menggantung, membuat laki-laki yang duduk  di sebelahnya terpaksa menahan maksudnya. Sementara suara hatinya telah bergemuruh untuk segera membalas ucapannya. Namun, ucapan Yona yang tak kunjung tiba membuatnya merasa harus mengisi keheningan yang mulai terasa hawanya.

            “Tadi kamu pingsan.” Laki-laki itu mengambil jeda sebentar, lalu mengambil segelas air putih yang di simpan di atas meja dekat kotak P3K. “Ingat? Sepertinya kamu harus lebih banyak minum.”

            Yona yang mendapatkan perlakuan kecil itu hanya tertegun, memandang segelas air putih –yang memenuhi gelas itu– tersodor begitu saja ke arahnya. Landry terlalu perhatian, dan mungkin kalau boleh jujur, Yona semakin menyukainya.

            “Ngomong-ngomong, dibanding kemarin, aku semakin menyukaimu. Tetap seperti ini, aku mohon.” Kata Yona dengan nada setengah getir. Sementara itu, Landry hanya tersenyum simpul sambil mengangguk penuh perhatian.

            “Kamu berbeda dengan yang lain. Kamu adalah berlian yang harus aku selamatkan dari sebuah kegelapan, dan aku tidak akan pernah membiarkan kegelapan itu kembali memenuhi suasana hidupmu.” Kata Landry, membuat Yona bangkit dan segera menjitak pelan kepalanya.

            “Selalu saja dibawa berlebihan. Dasar.” Katanya setengah mendengus, lalu segera berjalan pelan ke arah luar.

            Landry yang membiarkan arah pandangnya mengikuti langkah kecil Yona segera tersadar, lalu bangkit dan menyusul Yona keluar. Perempuan itu bahkan sama sekali tidak memperlihatkan reaksi apapun saat ini, sehingga membuatnya sulit untuk menyesuaikan dengan keadaan.

            “Kamu mau kemana?” Tanya Landry, begitu selesai menyamakan posisiya hingga langkahnya sejajar dengan perempuan itu.

            “Aku ingin mencari udara dingin di sekitar sini. Aku tidak terlalu kuat menghirup bau obat-obatan.” Jelasnya, tanpa menoleh ke arah lawan bicara.

            Landry menggenggam tangannya, membuat Yona menghentikan langkahnya. Perlahan, perempuan itu menatapnya dengan intens, sebelum akhirnya muncul sebuah tanya. Mata elang milik laki-laki itu, potongan rambutnya, poni sampingnya yang menari-nari, membuat Yona tidak bisa menahan desiran jantungnya.

            “Ada apa?” Tanyanya setengah bergetar, lalu menunduknya setelahnya.

            Tetapi perlakuan Landry yang selalu menghadiahkan kelembutan untuknya, membuat Yona tidak terlalu takut. Takut akan kehilangan laki-laki itu.

            “Ikut aku.” Balasnya, lalu menarik tangan Yona dengan cepat. Sementara Yona hanya mengekorinya dari belakang.

            Selama perjalanan menuju tempat yang dimaksud, tak ada bentuk percakapan apapun sehingga keheningan terasa sangat mencekam. Mereka sama-sama sibuk dengan pikirannya masing-masing. Sesekali pertanyaan kecil keluar dari salah seorang di antara mereka, tetapi setelahnya keheningan kembali merajai.

            “Kamu tidak masuk kelas?” Tanya Yona, setengah khawatir. Ekspresinya berubah ketika menatap jam tangan yang melingkari tangannya yang mungil.

            “Tidak, seperti biasa, gurunya tidak masuk. Kabarnya sih, sakit.” Kata Landry singkat.

            “Lalu, ada perlu apa kamu membawaku kesini?” Tanya Yona ketika mendaratkan tubuhnya bersama laki-laki itu di salah satu kursi putih yang memanjang, menghadap sebuah danau.

            Ya, mereka tengah ada di taman belakang sekolah, yang biasa digunakan untuk waktu istirahat. Tetapi, mayoritas orang-orang menggunakan waktu istirahatnya dengan berjalan menuju kantin, walaupun harus dengan berdesakan. Hal itu jelas membuat taman tidak terlalu ramai.

            Yona masih terdiam, menelungkupkan kedua jarinya di atas tas punggungnya. Pandangannya lurus ke depan, menatap riak air yang baru saja bergerak karena lemparan batu yang dikendalikan laki-laki di sebelahnya.

            “Bagaikan melemparkan batu ke danau, maka riak pun akan meluas. Dan kamu, setiap sepasang matamu menemui lensa mataku, perasaan ini pun meluas dalam hati.” Kata Landry dengan serius.

            Yona hanya terdiam, sesekali hanya membalasnya dengan tersenyum tipis diiringi dengan kekehan kecil. Ia sama sekali tidak tahu dengan apa yang harus diperbuat di depan laki-laki itu.

            “Jadi, maksudmu?” Tanya Yona ragu, juga tanpa menatap lawan bicaranya yang masih menatapnya dari samping.

            “Ada sesuatu yang ingin kutunjukkan kepadamu.” Kata Landry, lalu segera merogoh saku celananya. “Apakah kamu masih ingat kapan perkenalan kita dimulai, sebelum akhirnya kita merajut hubungan ini?”

            Yona menatapnya sekilas, lalu berpikir. “Di saat puncak estafet waktu mulai terjadi?”

            “Kamu ini, berlebihan! Aku serius.” Kata Landry, lalu menghela nafas sejenak. “Masih ingat dengan insiden bola basket yang melambung mengenai kepalamu, dan kamu yang saat itu sedang memasangkan jam tangan, tiba-tiba mengomel tanpa henti?”

            Yona merengut, menatap Landry dengan kesal. “Aku tidak akan pernah melupakannya. Dasar, kejadian yang menyebalkan. Aku benar-benar kesal!”

            “Apa yang terjadi setelahnya?” Landry mulai tertawa jahil, seiringan dengan ekor mata Yona yang mulai membuntuti senyum nakal laki-laki itu. “Jam tanganmu terjatuh, lalu rusak? Benar?”

            Yona menggeleng, lalu bangkit dan melangkah ke depan dengan pelan. “Lupakan saja!”

            Landry tersenyum lebar menatap Yona yang memunggunginya. Lalu mulai merogoh saku celananya untuk meraih sesuatu, sebelum akhirnya memilih untuk bangkit dan menghampiri Yona.

            “Yona,” Panggil Landry dengan lembut, tepat di dekat telinganya. Yona yang saat itu setengah terkejut dengan refleks memejamkan matanya. “Tetaplah seperti itu, jangan bergerak.”

            Yona masih terlihat mengatur degup jantungnya yang tak terkendali. Sirkulasi pernafasannya masih memburu, sementara itu Landry mulai meraih tangan Yona dengan pelan.

            “Jangan bergerak.” Katanya, tetapi Yona menggeleng.

            “Apa yang akan kamu lakukan, Lans?” Balasnya dengan tanya, membuat Yona kembali merasakan nafas hangat di telinganya.

            “Pokoknya, kamu hanya perlu memejamkan mata.” Kata Landry lagi, tepat di telinga Yona.

            Landry kembali tersenyum, lalu segera melepaskan jam tangan merah muda yang melingkari tangan mungil milik Yona. Dengan sangat lembut, laki-laki itu memperlakukan Yona. Senyumannya tak kalah mengalir.

            “Jangan macam-macam kamu, Lands!” Seru Yona, masih dalam keadaan terpejam.

            Landry sama sekali tidak menjawab, laki-laki itu segera memasang benda yang mungkin terasa asing bagi Yona. Dengan perlahan, benda itu dipasangnya, hingga akhirnya Landry benar-benar melepaskan genggamannya.

            “Sekarang, buka matamu.”

            Yona membuka matanya, lalu menatap Landry, bukannya menatap benda asing yang justru telah bertengger dengan manis di tangannya.

            “Apa yang telah kamu lakukan?” Tanya Yona dengan ekspresi penuh tanya, sementara Landry hanya tersenyum dengan arah pandang menuju tangan Yona.  “Tidak! Aku tidak akan melihatnya sebelum kamu menjelaskannya.”

            Landry berdecak kecil, lalu segera meraih tangan Yona yang tadi dipegangnya dan mengangkatnya hingga berhenti tepat di depan pandangan Yona. Perempuan itu jelas terpekur dalam suasana, juga dalam senyuman laki-laki itu yang berada beberapa centimeter darinya.

            “Ini janjiku. Mengganti jam tanganmu yang rusak.” Kata Landry, seraya tersenyum penuh arti.

            Mendengar ucapannya, Yona ikut tersenyum, sebelum akhirnya memilih untuk memeluk laki-laki itu. “Terima kasih, beberapa hari ini aku menginginkan jam tangan itu kembali. Tapi aku rasa tidak mungkin.”

            “Dan aku akan selalu menyayangimu.” Balas Landry lembut, membuat air mata Yona benar-benar menetes saat itu juga.

            “Aku juga.”

            Sayup-sayup terdengar bunyi dering suara ponsel, yang diketahui sumbernya dari arah saku celana Landry. Laki-laki itu tentu saja menarik diri dari pelukan yang dibuat Yona, kemudian melambungkan kata maaf.

            Ternyata hanya sebuah pesan masuk begitu Landry merogoh ponselnya. Yona memandang ekspresi Landry yang datar, sebelum akhirnya beralih menuju dompet hitam yang baru saja jatuh menerpa tanah.

            Sambil menunggu Landry yang sibuk menggunakan ponselnya, Yona meraih dompet Landry. Tetapi selembar foto tertinggal di antara semak rerumputan, membuat Yona kembali mencondongkan tubuhnya untuk meraihnya.

            Namun tanpa diduga sebelumnya, Yona mendadak lemas kembali. Sama sekali tidak bisa menggunakan keseimbangannya untuk menyesuaikan tubuhnya. Kedua kakinya yang menopang berat tubuhnya seolah mengalami disfungsi dan ia tidak bisa bergerak banyak. Ekspresinya mendadak berubah, bahkan telah mendung.

            Pandangannya terus menyimak selembar foto yang terpisah dari dompet hitam, yang diketahui milik Landry. Matanya terasa panas, hingga air mata dengan cepat membentuk patahan-patahan kecil di sekitar pipinya.

            Landry, yang saat itu kembali memasukkan ponsel ke dalam sakunya segera menatap Yona. Namun yang didapatinya bukan seorang Yona yang tengah memperlihatkan wajahnya yang gembira seperti tadi, melainkan dipenuhi air mata dengan pandangan menjurus kepada benda yang dipegangnya.

            “Yona, kamu kenapa?” Tanyanya, suaranya mulai khawatir. “Kenapa kamu menangis?”

            Kemudian laki-laki itu berdiri di sebelah Yona dan ikut menyaksikan selembar foto yang sedang dipegang Yona.

            “Itu aku, dan perempuan di sebelahku itu mamaku. Sudah terasa lama, kami hidup tanpa seorang ayah.” Kata Landry dengan perlahan, membuat tangis Yona berhenti untuk sesaat.

            “Apa selama ini mamamu ada di rumah?” Tanya Yona, membuat ekspresi Landry berubah.

            Landry terdiam untuk beberapa saat, tampak sedang berpikir. “Tidak. Kenapa? Ada sesuatu yang aneh?”

            Yona menggeleng.

            “Akhir-akhir ini, mama sibuk dengan urusannya sendiri. Dia jarang lagi ada di rumah.”

            “Mamamu...pemilik nama ini?” Yona memperlihatkan layar ponselnya, dengan tampilan sebuah pesan percakapan antara dirinya dengan kontak bernama Fryda.

            “Ah, kamu mengenal ibuku? Iya, bahkan foto yang kamu gunakan itu memang ibuku.” Landry berseru dengan suara melambung tinggi, membuat Yona semakin lemas dan kehilangan keseimbangan.

            Jadi, apa yang akan terjadi setelah Yona benar-benar menemukan takdir yang searah pikirannya? Pikirannya saat itu mulai bimbang, dipenuhi rasa kekhawatiran yang sangat dalam.

            “Sampai manapun dirimu kucintai dan sampai kapanpun juga, dirimu dicintai.” Kata Yona dengan lirih, membuat Landry segera menatapnya.

            “Kamu kenapa?”  Tanyanya, ekspresinya kembali berubah.

            Yona menggeleng, lalu segera melepas jam tangan yang baru saja dipasang laki-laki itu. “Ini tidak mungkin, Lands!”

            “Maksudmu?”

            “Kamu akan menemukan jawabannya suatu saat.” Kata Yona, masih dengan suara lirih. “Dan maaf dengan sangat terpaksa, hubungan kita harus berhenti cukup disini.”

            Yona segera menyerahkan jam tangan yang tadi sempat dipasangkan Landry, lalu segera melangkah meninggalkan Landry yang masih disibukkan dengan pikirannya sendiri. Sama sekali tidak mengerti dengan maksud air mata yang baru saja menetes dari sepasang mata indah milik Yona.

            “Aku salah apa?”
***

            Tak terasa dua bulan telah berlalu, selama itu pula tak pernah ada lagi kebersamaan yang melibatkan Yona dan Landry. Beberapa kali Landry meminta agar Yona memenuhi keinginannya untuk bertemu di tempat biasa, tetapi perempuan itu selalu menghindar dengan alasan yang dimilikinya.

            Dan saat ini, sebuah acara itu telah menjadi saksi bahwa Yona tidak bersalah sepenuhnya. Sebuah acara pernikahan yang digelar cukup meriah di sebuah gedung yang cukup mewah itu mampu menampakkan senyum gembira para undangan yang datang dalam acara yang berbahagia itu.

            Tapi entahlah, tak ada sesuatu yang bisa dijelaskan dari sebuah ekspresi yang terpatri pada wajah seorang perempuan bergaun putih cantik, dengan kesan elegan yang membuat banyak orang terkesima dengan penampilannya.

            Janji yang suci yang terucap dari kedua mempelai menjadi saksi bahwa keduanya telah resmi untuk menjalin kekeluargaan yang baru. Laki-laki berkumis itu mencium kening pasangannya dengan lembut, hingga muncul semburat merah di kedua pipinya.

            Sementara itu, sepasang mata menyaksikan nanar kejadian itu, memalingkan wajahnya agar tidak terlalu temperamental dengan keadaan. Lalu, tanpa sengaja pandangannya melihat sepasang mata elang yang telah lama tidak mengisi kekosongannya beberapa hari ke belakang. Mata yang selalu menjadi alasan mengapa ia tenang, mata yang sangat dirindukannya dan berharap bisa kembali dimiliki.

            Mata itu tidak lain milik Landry. Yona merasa air matanya memberontak, terus mendesak agar kembali keluar. Tapi, tempat yang ramai itu membuatnya dengan susah payah menahannya, membuatnya hanya mampu membendungnya. Pada akhirnya Yona melarikan diri dari keramaian menuju kamarnya hanya untuk memuaskan keinginan matanya yang telah perih, meronta-ronta sejak tadi.

            Saat itu, Yona benar-benar menangis, mengeluarkan semua perasaan yang telah bersemayam dalam rongga dadanya. Dengan kasar tangannya meremas bantal untuk melampiaskan segala kekesalannya.

            “Kenapa baru sekarang? Kenapa gak dari dulu kamu bilang? Kenapa kamu tega menjauhiku tanpa alasan yang jelas? Kamu tahu, bagaimana rasanya menahan siksa rindu yang terus meronta? Kamu bisa memahami bagaimana makna kehadiranmu untukku saat aku benar-benar dalam posisi merindu, sama seperti saat ini?”

Mendadak sebuah suara datang. Suara seorang laki-laki dengan penuh penekanan dari arah pintu, membuat Yona segera menoleh dan menatapnya lesu.

            “Maaf.” Sahutnya, tetapi laki-laki yang masih berada di ambang pintu itu hanya menggeleng.

            “Bahkan, saat kamu mengucapkan maaf pun seolah tidak cukup untuk membalas segala tanyaku. Bagaimana bisa pertanyaan yang bertubi-tubi dan dibalas dengan seutas kata maaf itu bisa menawarkan rasa yang aku miliki? Kau tahu, bagaimana rasaku saat ini?” Dia menghela nafas. “Sakit.”

            Landry menahan dadanya, sementara itu Yona hanya menatapnya dengan lirih. Ini kesalahannya juga, namun ia hanya menginginkan yang terbaik dari takdir ini, sebelum akhirnya hubungan itu berjalan lebih jauh hingga menyisakan luka ketika akhirnya takdir bertemu dengan hubungan itu.

            “Ini semua demi kebaikan kita juga, Lans. Dan aku yakin, kamu bisa hidup tanpa hadirku.” Kata Yona.

            “Semudah itu kamu berkata bahwa aku bisa melewatinya tanpa hadirmu? Lalu, apa arti rindu yang terus mendesak ini?” Laki-laki itu menarik nafas sebentar, sedikit menetralisir keadaan. “Kamu puas? Setelah dua bulan belakang ini menghindar, menyisakan tanya yang akhirnya bermetamorfosis menjadi luka. Luka itu kemudian berevolusi menjadi butir-butir kekecewaan dan sekarang kekecewaan itu seolah telah menemukan titik puncaknya. Rasanya, kekecewaan ini berubah menjadi bentuk kebencian. Dan ini untukmu.”

            Air mata seakan tidak bisa mengering, tanpa ada habisnya keluar dari sepasang kelopak mata indah milik perempuan itu. Landry berjalan mendekatinya, rasanya ingin sekali memeluknya, merengkuh perempuan itu ke dalam kehangatan, membicarakan segalanya tentang mimpi.

            Landry berhasil menggapai wajah lembut perempuan itu, lalu menghapus air matanya yang telah menganaksungai di kedua pipinya. Wajah yang telah lama tak disentuh itu kini kembali tersentuh. Kerinduan yang dalam itu akhirnya meluap secara perlahan, meski harus lewat keadaan yang berbeda.

            Setengah hatinya yang telah pergi karena terbawa arus jarak dan waktu itu pada akhirnya terasa kembali. Landry menarik perempuan itu ke dalam pelukannya, membawa kehangatan tersendiri untuk perempuan itu.

            “Kamu tahu ucapan terakhirku?” Tanya Yona masih dalam kehangatan yang dibuat Landry.

            Landry hanya mengangguk mengiyakannya. “Ya. Sampai manapun dirimu kucintai, sampai kapanpun juga dirimu dicintai.”

            “Dan kamu tahu, melupakanmu karena takdir ini cukup berat. Aku hanya bisa meminta maaf. Aku tahu, aku memang salah dan sekarang kamu bahkan boleh meluapkan emosimu kepadaku. Terserah, sesukamu.” Kata Yona sambil terisak.

            “Aku hanya ingin kamu tidak menangis.” Balas Landry sambil mempererat kedua tangannya yang melingkari tubuh perempuan itu.

            “Takdir, mungkin kita harus berserah diri kepadanya.”

            Landry mengangguk, hingga akhirnya Yona menarik diri dari pelukan itu dan menatap laki-laki itu hanya untuk sekedar meyakinkan.

            “Kumohon maafkanlah aku. Cinta kita terlarang, dan aku hanya bisa menyembunyikannya disini.” Yona menunjuk dadanya, tepatnya di dalam sana –tempat segala perasaannya berkecamuk.

            “Ya. Mungkin jika kita tidak terlahir seperti ini, kita tidak akan pernah terpisah dan kita berdua akan terikat dalam sebuah hubungan yang indah.” Sahut Landry. “Dan aku bisa bahagia jika kita bisa menerima takdir ini.”

            “Kita berdua yang terlarang.” Timpal Yona membuat Landry mengangguk ikhlas.

            “Kita hanya perlu mempercayai takdir ini, yang telah ditentukan untuk kita berdua demi yang terbaik.” Tambah Landry, membuat Yona tersenyum tipis.

            Pada akhirnya, hubungan itu harus kandas setelah takdir berhasil menabrak hubungan itu. Namun, kenangan akan tetap mengabadi, takkan pernah terlupakan dari daur waktu yang terus berevolusi. Dan takdir, sekuat apapun dirubah, namun takkan pernah menghasilkan perubahan. Kepercayaanlah yang justru diletakkan sebagai alas untuk menyikapinya karena takdir itu menyimpan sesuatu yang terbaik untuk siapapun yang menerimanya.

***

Terimakasih telah membaca^^





Tidak ada komentar:

Posting Komentar