Minggu, 01 Juni 2014

Opera Senja

Hallo! Sudah lama tidak isi blog ini hehe.
Finally, saya isi hanya bisa posting cerpen ini. Semoga suka!

***

            Andaikan dia mampu mengolah perasaannya, menyamakan posisinya dengan senja yang takkan pernah bergeser sedikit pun dari suasana senja. Warna yang terurai akan memadati sudut-sudut perasaanku. Tetapi, aku hanya bisa merasakan hal itu dalam bayangan, seakan-akan hanyalah delusi dalam ilusi tanpa menunggunya menjadi nyata.
Senja. Dulu aku tak pernah menghiraukannya, dulu aku tak pernah memperdulikannya, yang aku tahu tentang senja hanyalah searakan jingga yang memenuhi langit di saat fajar mulai berlalu. Tetapi, sosok senja mengingatkanku akan pertemuan itu, yang tak bisa kupingkiri pada akhirnya akan melahirkan perasaan baru.
            Aku hanyalah Ify, seorang perempuan yang jauh dari kata sempurna dan tak akan pernah melengkapi jingga dalam senjamu. Seakan-akan, aku adalah seekor burung yang lupa caranya terbang, tak akan pernah bisa tiba sampai tujuanku.

            Suasana gemuruh pantai masih membaluti perasaanku, merenggut hak milikku yang semestinya ada pada diriku. Aku sadar, ombak tak akan pernah bisa menjadi saksi, tak akan pernah bisa melengkapiku dalam suasana itu dan tak akan pernah ada ingatan yang melukiskan kejadian di dalamnya.
            Bekas-bekas kebersamaan singkat itu masih mengalun lemah dalam pikiranku, memuarakan pada kesepian yang belakangan ini ditemukan tanpa kehendak, hingga akhirnya langkahku terpicu untuk berlalu, meski enggan untuk melangkah.
            “Ify, sedang apa kau disini? Sore-sore seperti ini masih disini, apa kau tidak mendengar pengumuman yang di sampaikan ketua panitia tadi?”
            Seseorang dari belakangku mencoba membangkitkanku, tanpa sadar aku hanya bisa menikmati ucapannya. Ucapan itu mengingatkanku pada kejadian beberapa hari yang lalu. Rio, laki-laki itu pasti akan menyadarinya.
            Aku mendongak sekilas, setelah sebelumnya berusaha untuk melupakan kejadian itu. “Aku tidak mendengarnya. Aku hanya ingin abadi bersama senja milikku, aku hanya ingin terus menerus menghabiskan kebersamaan bersama senjaku tanpa meminta jingga yang pernah dijanjikan.”
            Sekarang aku hanya bisa menyadari segalanya, sedetik pun waktu tak akan pernah bisa mengembalikanku pada kejadian itu. Mungkin disinilah aku dan dia akan saling memahami. Ah, ralat, tetapi hanya aku yang akan mulai memahami arti kedewasaan yang sesungguhnya.
            Tentang perjalanan hidupku yang masih panjang, memang terlalu rumit untuk cerita itu. Aku hanya bisa berlari, berusaha sekuat mungkin berlalu darinya, meski dalam getirku ada perasaan yang tertahan.
            Awalnya perasaan itu biasa saja, mengendap lewat kediamanku. Selang beberapa aku merasakan kenyamanan, aku merasakan bahwa wujud dari perasaan itu memang telah menjadi daging dalam hati ini. Aku menangis, rasa sayang yang mungkin tak seorang pun tahu.
            “Aku tidak perduli. Seharusnya kau mengikuti kami untuk kembali masuk ke dalam bus. Perjalanan pulang sebentar lagi. Ayo!” Rio mencekal lenganku, tetapi tatapannya mengarah ke arah lain.
            Aku melepaskan diri dari cekalan tangannya. Tak perduli seberapa marahkah dia terhadapku. Aku tidak akan pernah berhenti menyaksikan ombak yang saling berkejarab, berharap mereka mampu mengembalikan senjaku yang hilang karena waktu.
            “IFY!”
            Dia marah, tatapannya menajam ke arahku. Sekarang aku bisa apa? Hanya menunduk, tanpa ada sedikit pun keberanian untuk membalas tatapannya. Lalu dengan mudahnya dia membawaku. Mengapa aku bisa seluluh ini di depannya? Tuhan, katakanlah bahwa aku tidak lemah karenanya!
            Hati ini bergemuruh, ada sesuatu yang ingin diteriakan namun terseling kekecewaan. Ada perasaan yang tak tertandingi, tetapi pada akhirnya melangkah mundur karena waktu berlalu dan mengingatkanku akan kesejatian hidup yang tidak akan pernah ada.
            Disinilah, aku meninggalkan senjaku yang terbagi karena waktu, tentang senjaku yang merubahku menjadi perempuan yang penuh harapan. Walaupun pada akhirnya aku menyadari, senjaku telah berlalu di hadapanku.
***
            Dalam bus, semua orang masih terlelap dalam tidurnya. Perjalanan pulang yang sangatlah panjang membuat mereka memilih jalan untuk menutup kedua matanya, berharap setelahnya mata mereka segar saat mendaratkan kakinya di tempat tujuan.
            Tetapi, ada seseorang selain diriku yang masih belum tidur. Dia hanya memfokuskan tatapannya lurus menjurus ke arah depan, earphone putih yang selalu dipakainya masih menutupi kedua tangannya, membuat telunjuknya bergerak mengikuti irama yang mengalir.
            “Rio, kau tidak tidur?” Tanyaku, meski sesungguhnya Rio masih mengenakan earphone yang menutupi kedua tangannya.
            Akan tetapi, pada akhirnya Rio menyahut. Dia menatapku, lalu berjalan ke arahku. Kupikir, dia akan melakukan sesuatu. Dia hanya memintaku untuk menggeser posisi dudukku, lalu dia duduk di sebelahku dan kembali fokus ke depan.
            “Kau tidak tidur?” Ulangku, hanya ingin mengisi kekosongan.
            Dia tidak memperdulikanku. Aku hanya ingin meminta waktunya saja, tanpa berarti menuntut waktu yang dimilikinya. Aku habya ingin memintanya untuk meluangkan waktunya untukku, meski harus dalam hitungan detik.
            Hanya demi kebersamaan yang pada akhirnya merenggang. Aku menyadari, terlalu banyak kerentanan yang terjadi di antara aku dan dia. Namun kusesali, semua telah berubah dari sebelumnya.
            “Hei, Fy! Kenapa kau nangis?” Rio mengejutkanku, pertanyaannya membuat kedua tanganku refleks menyentuh kedua pipiku.
            Aku tersenyum ke arahnya setelah itu, dia hanya menatapku khawatir. Tetapi aku tidak mengartikan ekspresinya sebagai ketulusan, ah mungkin dia hanya kasihan karena aku menangis, atau mungkin sedetik setelahnya dia ingin tahu permasalahannya.
            “Menurutmu, kenapa senja dan jingga harus ada dalam suatu kesatuan yang utuh? Apa kau bisa menjawabnya?” Tanyaku, untungnya dia mau mendengarkanku.
            Rio melepas earphonenya, lalu meletakkannya di samping tempat duduknya. Dia menatapku seolah ingin memberikan pengertian yang lebih dalam lagi, tetapi bagiku sama saja tak ada artinya.
            “Takdir Tuhan telah memadukannya, mereka berhak bersatu karena adanya kehendak dari Tuhan dan untuk menjaga nilai-nilai keindahan juga. Selebihnya, mungkin seperti itu.” Balasnya dengan santai.
            Aku menghela nafas berat, setelah sebelumnya hatiku berteriak untuk mengutarakan maksudku yang sesungguhnya. Disinilah aku paham, seperti rasi bintang yang selalu berubahlah landasan hidup ini.
            “Akhir-akhir ini, kau dekat dengan sahabatku juga ya? Namanya Dea, iyakah?” Tanyaku, mencoba untuk menerka-nerka isi cerita Dea beberapa hari yang lalu.
            Mendengar pertanyaanku, raut wajahnya berubah menjadi lebih rileks. Dia hanya tersenyum sambil memegang kedua tanganku, tetapi aku segera menepisnya sebelum ada objek baru yang lahir setelah ini.
            “Oh, dia sahabatmu juga ya? Kenapa kau baru mengatakannya sekarang?” Dia malah balik bertanya.
            Ya Tuhan, sebelum jawaban itu menjadi sebuah kenyataan dari apa yang selama ini bayangkan, aku hanya meminta satu kepastian tentang inginku. Rasanya, keadilan bagiku takkan pernah ada lagi darinya. Dia bukanlah seseorang yang ada di depanku pada hari yang lalu. Dia hanya orang lain, dia hanya orang asing bagiku.
            “Eh, kalau bisa boleh aku minta alamat rumahnya?” Dia meminta, sedangkan aku mendesah.
            Kata-kataku tertahan dalam tenggorokan. Dia tidak akan memahami bagaimana perasaanku, dia takkan pernah bisa menyadari sisa-sisa perasaan yang membekas dari pertemuan itu. Dia teman sekelasku, tetapi dia mampu mengoyak ketetapan hatiku.
            “Untuk apa?” Tanyaku gelagapan.
            Jauh dari dasar hati, aku tidak mengikhlaskan dia menjadi bagian dari hidup Dea melebihi kata teman. Aku merasa bagaikan tak bersinar lagi karenanya, dia merapuhkanku dalam tempo waktu yang singkat.
            Apa aku layak menyebutnya sebagai belahan jiwaku? Meski dasarnya pertemuan itu berlangsung dalam waktu yang cukup singkat? Tetapi, dia mampu membuat pikiranku terus terikat kepadanya, dia mampu membuat mataku selalu ingin menangkap objek yang melukiskan fisiknya.
            “Suatu saat, aku akan mengajaknya jalan.” Lalu dia terkekeh setelahnya.
            Rasanya, aku ingin tertidur pulas saat mendengarkan ucapannya. Mengapa dia tidak mengajakku saja? Mengapa dia hanya menginginkan sahabatku, yang justru tidak memiliki perasaan lebih.
            Tetapi, pada akhirnya aku luluh. Dengan ikhlas aku memberikan alamat rumah Dea, meski kenyataannya harus ada rasa sesak setelahnya yang bergemuruh di dadaku. Aku perlahan memutuskan untuk mundur, meski nyatanya perasaan ini takkan pernah bisa mundur.
            “Semoga sukses.” Aku menggigit bibirku, berusaha untuk menahan kesakitan yang ada.
            Dia hanya mengangguk, lalu kembali ke tempatnya semula tanpa mengucapkan kata selamat-malam untukku –yang jelas-jelas aku membutuhkannya, hanya darinya. Namun takkan pernah bisa, tak akan pernah bisa.
***
            “Ify, boleh aku pinjam kameramu?” Dea menghampiri mejaku, dia memintaku untuk meminjamkan kamera milikku.
            Aku terdiam untuk beberapa saat. Sepertinya, mungkin dia akan menggunakan kameraku untuk mengabadikan momen-momen kebersamaannya bersama Rio dalam kameraku, lalu dipindahkannya gambar-gambar itu ke dalam laptopnya.
            Apa harus selama ini aku menolaknya? Menolak untuk tidak mengikhlaskan kameraku dipegangnya hanya untuk mengabadikan gambar-gambar yang di dalamnya terlukis dua insan yang terlihat akrab dan sangat dekat.
            “Fy?” Dia menegurku, membuatku terbangun dari lamunanku.
            “Iya, boleh. Tapi janji ya, kalau sudah selesai kamu kembalikan lagi. Aku juga akan memakainya nanti siang.” Pintaku selanjutnya.
            Dea hanya mengangkat ibu jarinya, sambil mengedipkan salah satu matanya. Dia tersenyum ke arahku, memenuhi permintaanku yang menurutnya memang mudah untuk dipenuhi.
            Tetapi dia belum berlalu dariku, sepertinya dia masih sibuk dengan seisi memori yang kupasang dalam kameraku. Dan akhirnya, Dea memasang ekspresi yang sulit untuk kuartikan. Aku sendiri tidak memahaminya, aku tidak bisa menemukan makna yang tersirat dibalik ekspresinya.
            Dea menggeleng tidak percaya, matanya memerah. Aku baru saja teringat dengan beberapa gambar yang pernah aku ambil saat beberapa hari yang lalu, tepatnya di pantai! Diam-diam aku mengikuti arah pandang Dea, hanya untuk memastikan semuanya.
            “Itu, itu Rio yang memintaku. Jangan salah paham ya, De, tolong.” Pintaku sambil mencengkeram kuat-kuat bahunya, berusaha untuk menguatkannya dan membuatnya percaya akan kata-kataku.
            “Mana mungkin Rio memintamu untuk mengambil gambar dirinya dari kameramu? Dia, kan punya kamera juga? Lalu kenapa bisa ada di memori kameramu, Fy? Apa ini berarti kamu juga,” Ucapannya menggantung, enggan untuk meneruskan kalimat terakhirnya.
            Sesaat aku hanya bisa tertegun tanpa ada keberanian untuk menjawabnya. Sekarang aku tahu, mana yang lebih bersalah di antara aku dan Dea. Mungkin untuk yang terakhir kalinya, aku akan merasakan bagaimana kepercayaan yang sulit diraih itu bisa luluh seketika.
            Dea masih terdiam dalam diamnya, tatapannya terus mengarah kepada objek di depannya; gambar-gambar yang terabadikan di dalam memori kameraku. Perlahan, aku memintanya untuk mengembalikan kamera yang digenggamnya kepadaku. Tetapi dia menolak.
            “Dan ini apalagi? Kamu mengukir nama Rio di pasir pantai yang disertai gambar seperti ini? Apa ini maksudnya, apa ini?!!” Dea memperlihatkan gambar yang dimaksud ke arahku.
            Tapi mengapa semuanya telah terlambat? Semua berawal dari kecerobohanku yang tidak pernah tahu akan Dea yang tiba-tiba membuka gambar-gambar yang terabadikan dalam memori kameraku. Mengapa kejadiannya harus seburuk ini?
            “Kamu ingin berpaling dari janji kamu? Kamu ingin berpaling dari persahabatan kita? Dan kamu ingin memiliki Rio juga, menandingi aku, lalu merebutnya dariku setelah Rio berhasil menjadi apa yang kamu inginkan? Seperti itu?” Dea mendaratkan beberapa pertanyaan kasar di telingaku, membuatku tidak ingin mendengarkan ucapannya lagi.
            Aku ingin berlalu darinya untuk saat ini, aku ingin meninggalkan topik yang saat ini memanasi telingaku. Tetapi, aku tidak ingin melihat bagaimana kedewasaan yang ada pada diriku terbengkalai karena kebodohanku.
            Dan pada saat itu Rio datang dengan langkah pelannya, menghampiriku dan juga Dea. Sekarang aku bisa apa setelah sosok itu telah ada di hadapanku, berdiri di samping Dea seraya memperhatikanku dan juga Dea secara bergantian?
            “Kamu kenapa, De?” Tanyanya sambil memegang dagu basah milik Dea.
            Lalu, dengan perlahan kedua jari-jarinya mengusap tetesan air mata yang telah membentuk anak sungai pada kedua matanya. Aku hanya bisa menyaksikannya dalam lirih, aku hanya bisa berdiri mempertanggung jawabkan semuanya tanpa ada dukungan.
            “Kamu mencintai Ify, Yo?” Tanyanya langsung to the point.
            Situasi telah membuatku semakin panas. Pada akhirnya, dengan ikhlas aku meluncurkan butiran-butiran bening itu, meski pada akhirnya tak akan pernah ada siapapun yang berusaha keras untuk mengusapnya. Karena aku bukanlah sesuatu yang penting dalam bagian hidupnya.
            Rio memandang Dea sebentar, lalu teralihkan ke arahku dengan ekspresi bertanya-tanya. Sekarang, aku mengetahui apa yang akan terjadi. Mungkin beberapa detik selanjutnya aku akan mendapatkan luka baru yang tak pernah kukehendaki, meski dalam diam aku mengharapkan apa yang aku tebak menjadi sebuah kebahagiaan baru.
            “Apa yang kau lakukan, Fy? Mengapa kau membuat Dea menangis seperti ini?” Tanyanya, juga dengan itonasi rendah. Dia memandangku dengan lirih.
            “Sekarang, silakan kamu jelaskan ini kepadanya.” Dea menyodorkan kameraku ke arah Rio, lalu Rio meraihnya dengan wajah masih penasaran. “Kamu akan menemukan apa penyebab aku menangis.”
            Beberapa detik selanjutnya, Dea memandangku dengan tatapan kecewa. Ah, ya semua orang pasti akan merasakan kekecewaan besar jika mengalami kejadian yang sama. Apa aku bersalah sepenuhnya? Tidak, aku tidak bersalah karena akulah yang lebih dulu memiliki perasaan itu sebelum Rio memutuskan untuk menjadi kekasih Dea, jauh sebelum Dea memiliki perasaan itu juga.
            “Sekarang, apa yang bisa aku peroleh dari persahabatan yang pada akhirnya dikhianati salah seorang di dalamnya? Apa aku berhak meninggalkannya? Apakah aku berhak untuk mencacinya? Kamu bodoh, Fy, terlalu bodoh! Bukankah kamu sudah mengetahui semuanya? Bukankah kamu sudah menyadari juga bahwa aku dan Rio telah menyatukan kami masing-masing?” Tanyanya dengan nada berat.
            “Aku hanya,”
            “Sudah! Kalau kamu memang benar menginginkan Rio dariku, silakan ambil dan berlalu dariku untuk saat ini. Aku merasa kecewa, aku kapok sudah memiliki seorang sahabat yang selama ini dipercaya lalu dengan mudah berkhianat. Kapok, Fy, kapok.” Dea semakin terisak.
            Aku merasakan bagaimana sakitnya dikhianati, namun seharusnya dia juga memahami bagaimana rasanya tertandingi, bagaimana rasanya menjadi debu setelah ada objek baru yang kemudian menjadi bagian dalam hidup. Aku menangis saat ini juga, sangat menyakitkan.
            “Kecewa, Fy. Aku kecewa!” Lantas Dea mengambil jalannya untuk melangkahkan kakinya meninggalkanku dan juga Rio.
            Di depanku, Rio masih terus memeriksa gambar demi gambar yang aku abadikan di dalam memori kameraku. Sekarang aku tidak bisa bertindak, aku terpasung karenanya, jiwaku terkunci karenanya.
            Tuhan, aku ingin engkau mengembalikan semuanya seperti sedia kala. Aku ingin menyita waktu yang pernah ada, meski tak akan pernah mungkin bisa. Aku ingin menggenggam secercah kebahagiaan yang pernah ada, meski telah ternodai luka. Aku ingin berlalu, meski langkahku tertahan karena kesakitan.
            Tapi, semuanya terbayar sudah dengan sisa-sisa air mata yang meninggalkan genangan tipis di kedua mataku, dengan basuhan perih dan juga kesakitan itu. Saat ini aku hanya ingin berteriak melepaskan segala sesuatu yang ada dalam jiwaku.
            Beban yang memenuhi ragaku membuatku ingin melepasnya, juga melepas salah prasangka dari pikiran ini dan juga melepas ukiran luka yang menyakitkan ini dari dalam hati.
            Aku hanya ingin janjinya yang pernah dulu ada terkembalikan, menyempurnakannya dengan tanggung jawabnya juga. Tetapi semua hambar, semua takkan mungkin terjadi.
            “Maksudnya apa ini, Fy?”
            Tuhan bunuh aku di tengah situasi panas ini. Akhiri kehidupanku untuk saat ini, semuanya memang telah berubah. Justru yang saat ini ada untukku hanyalah sebuah penyesalan yang takkan mungkin bisa mengembalikan semuanya.
            Aku tidak mungkin berdusta di hadapannya, aku tidak mungkin melontarkan alasan yang kubuat-buat kepadanya. Dia sendiri pasti tidak menyadari kapan aku mengambil gambar-gambar itu.
            “Aku menyukaimu, senja.” Ucapku dengan lirih.
            “Senja?” Dia menerawang ke arahku dengan tatapan meminta penjelasan.
            Aku mengela nafas berat sebelum menjawabnya. “Kau adalah sosok seseorang yang dipertemukan khusus dengan perasaanku dengan senja. Karenamu, aku menjadi seorang pengagum senja yang hanya bisa berharap merasakan indahnya kebersamaan yang terekan senja saat itu.” Aku tersenyum pahit, merasakan bagaimana semuanya tertahan dalam ketidakmungkinan.
            Senja yang pernah adapun dilupakan sang waktu, sekarang aku hanya bisa berdiri tanpa kekuatan. Dulu, aku tidak pernah bisa menduga bahwa perasaanku akan terarah kepada Rio untuk yang terakhir kalinya.
            “Hanya karena itu?” Aku mengangguk. “Tapi, Fy, perasaanmu  justru melukaimu sendiri. Karena apa? Karena aku tidak akan pernah bisa membalas perasaan sukamu, aku tidak akan pernah bisa kembali ada dalam kebersamaan yang sama.” Ucapnya.
            Aku tahu, Rio. Karena aku hanyalah malam tanpa bintang, aku adalah langit tanpa awan. Senjaku, kebahagiaanku, segalanya hilang di antara perih nestapa. Aku adalah rumput padang penuh ilalang dan aku bagaikan hujan tanpa air. Semu, itu yang memaksaku untuk berlalu, meninggalkan segala yang pernah ada, lalu membiarkan semua yang sempat kumiliki pergi begitu saja.
            “Kau salah, kenapa kau lebih memilih Dea daripada aku? Kau juga bersalah, kenapa kau bisa membuatku memiliki perasaan khusus hanya untukmu? Kau juga salah, mengapa kau bisa mengubah struktur hidupku hanya karena pertemuan itu? Dan kau akan lebih bersalah jika kau tak mampu menjawabnya.” Ucapku di sela-sela isak tangisanku.
            Senyumanku, delusiku, harapan dan juga cita-citaku hilang ditelan ego. Cerita tentang kebersamaan itu, hanya satu yang mengabadikannya, hanya pikiran yang menyempurnakannya dan hanya perih yang dapat tersampaikan dari itu. Juga hanya waktu yang mampu membasuh keperihan itu.
            “Aku, aku tidak tahu. Maafkan aku.”
            Senja yang aku maksud pada akhirnya harus kuikhlaskan untuk terlupakan. Aku berusaha melupakan kata senja dalam ingatan dan juga nyataku. Karena bagiku, senja akan selalu terpaut dengan sosokmu yang tak mungkin bisa kuraih sedikitpun. Perasaan kita tidak mungkin bisa dipersatukan, karena masing-masing dari kita telah memilih jalan masing-masing.
            “Aku juga yang salah, karena secepat itu memiliki perasaan yang berlebihan itu. Maaf.” Aku langsung menyambar kamera yang dipegangnya, lalu memilih untuk berlalu.
            “Fy,” Langkahku terhenti di ambang pintu, suaranya membuat langkahku terkunci dan tak mampu lagi bergerak darinya.
            Aku ingin menoleh, tetapi aku takut keperihan itu datang untuk yang kedua kalinya. Aku ingin menyampaikan emosiku, tetapi aku takut membuatnya merasakan sakit yang sama. Karena aku tidak pernah ingin membuatnya terluka, aku tidak pernah menginginkan dia merasakan sakit  sepertiku. Aku hanya ingin dia selalu tersenyum, meski senyumannya berarti tangisanku.
            Selang beberapa detik, aku nyari merasakan nafasku terhenti karena kedua tangan yang melingkar di pinggangku, juga kepala yang tersandar pada pundakku. Helaan nafasnya yang kasar terdengar ritmis, dan aku hanya bisa menangis sekuatnya.
            “Yo, lepaskan aku. Aku ingin pergi, Yo. Aku ingin melupakan semuanya.”
            Dengan mudah Rio melepaskanku dari pelukannya. Mungkin juga dia menyadari bahwa sepenuhnya aku bukan lagi sesuatu yang bisa diperluluh oleh sikapnya. Dengan segera, aku meninggalkannya tanpa menoleh untuk yang terakhir kalinya.
            “Maafkan aku, karena pada dasarnya perasaan yang aku miliki bukan berarti kebahagiaanmu. Begitu juga kebahagiaan yang kau punya, mungkin akan mengurai tangisan nyata dalam hidupku.” Gumamku, setelah sebelumnya melepaskan tangan Rio yang menggenggam erat tanganku.
            Sekarang aku bukan siapa-siapa lagi. Aku hanya sosok asing tanpa pengetahuan, aku hanya sesosok manusia egois yang tak layak mendapatkan makna dari hidup. Semua berawal dari kebersamaan, semua berawal dari sebuah kesederhanaan, namun berakhir tanpa diduga.
            Aku bagaikan terhempas cerita di dasar luka, tertancap kesakitan dalam sebuah ilusi, tertandingi waktu yang telah melesat dengan cepat. Aku bukanlah siapa-siapa, aku hanya sosok asing, yang kini menjelma menjadi sosok bayangan tanpa nyata. Aku bagaikan seonggok sampah, aku adalah objek tanpa dasar pembangun. Aku… benar-benar rapuh.
            Pada akhirnya, kuikhlaskan senjaku terenggut waktu, terputar dari pikiranku hingga membentuk mozaik-mozaik luka dalam puzzle hidup.
Senjaku akan terkenang selalu, senjaku akan tetap ada, meski telah ada pada milik yang lain. Aku, jinggamu yang takkan pernah bisa tercampur denganmu, senja. Aku jingga tak berisyarat, aku hanya jingga yang tak bisa menghantarkan kesempurnaan dalam senjamu. Dan jinggaku kembali terurai menjadi warna dasar tanpa irama, karena rapuh, karena luka dank arena tertelan kesakitan dalam iringan waktu yang telah diputuskan untuk menjadi garis takdir tentangku.
            Karena aku bukanlah jingga dalam senjamu; tak mungkin bisa mengurai keindahan. Karena aku bukanlah pilihan dalam takdirmu; tak mungkin bisa menyatu dalam kesatuan.
           
           
           



Tidak ada komentar:

Posting Komentar