Hallo! Sudah lama tidak isi blog ini hehe.
Finally, saya isi hanya bisa posting cerpen ini. Semoga suka!
***
Andaikan dia mampu mengolah perasaannya, menyamakan
posisinya dengan senja yang takkan pernah bergeser sedikit pun dari suasana
senja. Warna yang terurai akan memadati sudut-sudut perasaanku. Tetapi, aku
hanya bisa merasakan hal itu dalam bayangan, seakan-akan hanyalah delusi dalam
ilusi tanpa menunggunya menjadi nyata.
Senja. Dulu aku tak pernah
menghiraukannya, dulu aku tak pernah memperdulikannya, yang aku tahu tentang
senja hanyalah searakan jingga yang memenuhi langit di saat fajar mulai
berlalu. Tetapi, sosok senja mengingatkanku akan pertemuan itu, yang tak bisa
kupingkiri pada akhirnya akan melahirkan perasaan baru.
Aku hanyalah Ify, seorang perempuan yang
jauh dari kata sempurna dan tak akan pernah melengkapi jingga dalam senjamu.
Seakan-akan, aku adalah seekor burung yang lupa caranya terbang, tak akan
pernah bisa tiba sampai tujuanku.
Suasana gemuruh pantai masih
membaluti perasaanku, merenggut hak milikku yang semestinya ada pada diriku.
Aku sadar, ombak tak akan pernah bisa menjadi saksi, tak akan pernah bisa
melengkapiku dalam suasana itu dan tak akan pernah ada ingatan yang melukiskan
kejadian di dalamnya.
Bekas-bekas kebersamaan singkat itu
masih mengalun lemah dalam pikiranku, memuarakan pada kesepian yang belakangan
ini ditemukan tanpa kehendak, hingga akhirnya langkahku terpicu untuk berlalu,
meski enggan untuk melangkah.
“Ify, sedang apa kau disini?
Sore-sore seperti ini masih disini, apa kau tidak mendengar pengumuman yang di
sampaikan ketua panitia tadi?”
Seseorang dari belakangku mencoba
membangkitkanku, tanpa sadar aku hanya bisa menikmati ucapannya. Ucapan itu
mengingatkanku pada kejadian beberapa hari yang lalu. Rio, laki-laki itu pasti
akan menyadarinya.
Aku mendongak sekilas, setelah
sebelumnya berusaha untuk melupakan kejadian itu. “Aku tidak mendengarnya. Aku
hanya ingin abadi bersama senja milikku, aku hanya ingin terus menerus
menghabiskan kebersamaan bersama senjaku tanpa meminta jingga yang pernah
dijanjikan.”
Sekarang aku hanya bisa menyadari
segalanya, sedetik pun waktu tak akan pernah bisa mengembalikanku pada kejadian
itu. Mungkin disinilah aku dan dia akan saling memahami. Ah, ralat, tetapi
hanya aku yang akan mulai memahami arti kedewasaan yang sesungguhnya.
Tentang perjalanan hidupku yang
masih panjang, memang terlalu rumit untuk cerita itu. Aku hanya bisa berlari,
berusaha sekuat mungkin berlalu darinya, meski dalam getirku ada perasaan yang
tertahan.
Awalnya perasaan itu biasa saja,
mengendap lewat kediamanku. Selang beberapa aku merasakan kenyamanan, aku
merasakan bahwa wujud dari perasaan itu memang telah menjadi daging dalam hati
ini. Aku menangis, rasa sayang yang mungkin tak seorang pun tahu.
“Aku tidak perduli. Seharusnya kau
mengikuti kami untuk kembali masuk ke dalam bus. Perjalanan pulang sebentar
lagi. Ayo!” Rio mencekal lenganku, tetapi tatapannya mengarah ke arah lain.
Aku melepaskan diri dari cekalan
tangannya. Tak perduli seberapa marahkah dia terhadapku. Aku tidak akan pernah
berhenti menyaksikan ombak yang saling berkejarab, berharap mereka mampu
mengembalikan senjaku yang hilang karena waktu.
“IFY!”
Dia marah, tatapannya menajam ke
arahku. Sekarang aku bisa apa? Hanya menunduk, tanpa ada sedikit pun keberanian
untuk membalas tatapannya. Lalu dengan mudahnya dia membawaku. Mengapa aku bisa
seluluh ini di depannya? Tuhan, katakanlah bahwa aku tidak lemah karenanya!
Hati ini bergemuruh, ada sesuatu
yang ingin diteriakan namun terseling kekecewaan. Ada perasaan yang tak
tertandingi, tetapi pada akhirnya melangkah mundur karena waktu berlalu dan
mengingatkanku akan kesejatian hidup yang tidak akan pernah ada.
Disinilah, aku meninggalkan senjaku
yang terbagi karena waktu, tentang senjaku yang merubahku menjadi perempuan
yang penuh harapan. Walaupun pada akhirnya aku menyadari, senjaku telah berlalu
di hadapanku.
***
Dalam bus, semua orang masih
terlelap dalam tidurnya. Perjalanan pulang yang sangatlah panjang membuat
mereka memilih jalan untuk menutup kedua matanya, berharap setelahnya mata
mereka segar saat mendaratkan kakinya di tempat tujuan.
Tetapi, ada seseorang selain diriku
yang masih belum tidur. Dia hanya memfokuskan tatapannya lurus menjurus ke arah
depan, earphone putih yang selalu dipakainya masih menutupi kedua tangannya,
membuat telunjuknya bergerak mengikuti irama yang mengalir.
“Rio, kau tidak tidur?” Tanyaku,
meski sesungguhnya Rio masih mengenakan earphone yang menutupi kedua tangannya.
Akan tetapi, pada akhirnya Rio
menyahut. Dia menatapku, lalu berjalan ke arahku. Kupikir, dia akan melakukan
sesuatu. Dia hanya memintaku untuk menggeser posisi dudukku, lalu dia duduk di
sebelahku dan kembali fokus ke depan.
“Kau tidak tidur?” Ulangku, hanya
ingin mengisi kekosongan.
Dia tidak memperdulikanku. Aku hanya
ingin meminta waktunya saja, tanpa berarti menuntut waktu yang dimilikinya. Aku
habya ingin memintanya untuk meluangkan waktunya untukku, meski harus dalam
hitungan detik.
Hanya demi kebersamaan yang pada
akhirnya merenggang. Aku menyadari, terlalu banyak kerentanan yang terjadi di
antara aku dan dia. Namun kusesali, semua telah berubah dari sebelumnya.
“Hei, Fy! Kenapa kau nangis?” Rio
mengejutkanku, pertanyaannya membuat kedua tanganku refleks menyentuh kedua
pipiku.
Aku tersenyum ke arahnya setelah
itu, dia hanya menatapku khawatir. Tetapi aku tidak mengartikan ekspresinya
sebagai ketulusan, ah mungkin dia hanya kasihan karena aku menangis, atau
mungkin sedetik setelahnya dia ingin tahu permasalahannya.
“Menurutmu, kenapa senja dan jingga
harus ada dalam suatu kesatuan yang utuh? Apa kau bisa menjawabnya?” Tanyaku,
untungnya dia mau mendengarkanku.
Rio melepas earphonenya, lalu
meletakkannya di samping tempat duduknya. Dia menatapku seolah ingin memberikan
pengertian yang lebih dalam lagi, tetapi bagiku sama saja tak ada artinya.
“Takdir Tuhan telah memadukannya,
mereka berhak bersatu karena adanya kehendak dari Tuhan dan untuk menjaga
nilai-nilai keindahan juga. Selebihnya, mungkin seperti itu.” Balasnya dengan
santai.
Aku menghela nafas berat, setelah
sebelumnya hatiku berteriak untuk mengutarakan maksudku yang sesungguhnya.
Disinilah aku paham, seperti rasi bintang yang selalu berubahlah landasan hidup
ini.
“Akhir-akhir ini, kau dekat dengan
sahabatku juga ya? Namanya Dea, iyakah?” Tanyaku, mencoba untuk menerka-nerka
isi cerita Dea beberapa hari yang lalu.
Mendengar pertanyaanku, raut
wajahnya berubah menjadi lebih rileks. Dia hanya tersenyum sambil memegang
kedua tanganku, tetapi aku segera menepisnya sebelum ada objek baru yang lahir
setelah ini.
“Oh, dia sahabatmu juga ya? Kenapa
kau baru mengatakannya sekarang?” Dia malah balik bertanya.
Ya Tuhan, sebelum jawaban itu
menjadi sebuah kenyataan dari apa yang selama ini bayangkan, aku hanya meminta
satu kepastian tentang inginku. Rasanya, keadilan bagiku takkan pernah ada lagi
darinya. Dia bukanlah seseorang yang ada di depanku pada hari yang lalu. Dia
hanya orang lain, dia hanya orang asing bagiku.
“Eh, kalau bisa boleh aku minta
alamat rumahnya?” Dia meminta, sedangkan aku mendesah.
Kata-kataku tertahan dalam
tenggorokan. Dia tidak akan memahami bagaimana perasaanku, dia takkan pernah
bisa menyadari sisa-sisa perasaan yang membekas dari pertemuan itu. Dia teman
sekelasku, tetapi dia mampu mengoyak ketetapan hatiku.
“Untuk apa?” Tanyaku gelagapan.
Jauh dari dasar hati, aku tidak
mengikhlaskan dia menjadi bagian dari hidup Dea melebihi kata teman. Aku merasa
bagaikan tak bersinar lagi karenanya, dia merapuhkanku dalam tempo waktu yang
singkat.
Apa aku layak menyebutnya sebagai
belahan jiwaku? Meski dasarnya pertemuan itu berlangsung dalam waktu yang cukup
singkat? Tetapi, dia mampu membuat pikiranku terus terikat kepadanya, dia mampu
membuat mataku selalu ingin menangkap objek yang melukiskan fisiknya.
“Suatu saat, aku akan mengajaknya
jalan.” Lalu dia terkekeh setelahnya.
Rasanya, aku ingin tertidur pulas
saat mendengarkan ucapannya. Mengapa dia tidak mengajakku saja? Mengapa dia
hanya menginginkan sahabatku, yang justru tidak memiliki perasaan lebih.
Tetapi, pada akhirnya aku luluh.
Dengan ikhlas aku memberikan alamat rumah Dea, meski kenyataannya harus ada
rasa sesak setelahnya yang bergemuruh di dadaku. Aku perlahan memutuskan untuk
mundur, meski nyatanya perasaan ini takkan pernah bisa mundur.
“Semoga sukses.” Aku menggigit
bibirku, berusaha untuk menahan kesakitan yang ada.
Dia hanya mengangguk, lalu kembali
ke tempatnya semula tanpa mengucapkan kata selamat-malam untukku –yang
jelas-jelas aku membutuhkannya, hanya darinya. Namun takkan pernah bisa, tak
akan pernah bisa.
***
“Ify, boleh aku pinjam kameramu?”
Dea menghampiri mejaku, dia memintaku untuk meminjamkan kamera milikku.
Aku terdiam untuk beberapa saat.
Sepertinya, mungkin dia akan menggunakan kameraku untuk mengabadikan
momen-momen kebersamaannya bersama Rio dalam kameraku, lalu dipindahkannya
gambar-gambar itu ke dalam laptopnya.
Apa harus selama ini aku menolaknya?
Menolak untuk tidak mengikhlaskan kameraku dipegangnya hanya untuk mengabadikan
gambar-gambar yang di dalamnya terlukis dua insan yang terlihat akrab dan
sangat dekat.
“Fy?” Dia menegurku, membuatku
terbangun dari lamunanku.
“Iya, boleh. Tapi janji ya, kalau
sudah selesai kamu kembalikan lagi. Aku juga akan memakainya nanti siang.”
Pintaku selanjutnya.
Dea hanya mengangkat ibu jarinya,
sambil mengedipkan salah satu matanya. Dia tersenyum ke arahku, memenuhi
permintaanku yang menurutnya memang mudah untuk dipenuhi.
Tetapi dia belum berlalu dariku,
sepertinya dia masih sibuk dengan seisi memori yang kupasang dalam kameraku.
Dan akhirnya, Dea memasang ekspresi yang sulit untuk kuartikan. Aku sendiri
tidak memahaminya, aku tidak bisa menemukan makna yang tersirat dibalik
ekspresinya.
Dea menggeleng tidak percaya,
matanya memerah. Aku baru saja teringat dengan beberapa gambar yang pernah aku
ambil saat beberapa hari yang lalu, tepatnya di pantai! Diam-diam aku mengikuti
arah pandang Dea, hanya untuk memastikan semuanya.
“Itu, itu Rio yang memintaku. Jangan
salah paham ya, De, tolong.” Pintaku sambil mencengkeram kuat-kuat bahunya,
berusaha untuk menguatkannya dan membuatnya percaya akan kata-kataku.
“Mana mungkin Rio memintamu untuk
mengambil gambar dirinya dari kameramu? Dia, kan punya kamera juga? Lalu kenapa
bisa ada di memori kameramu, Fy? Apa ini berarti kamu juga,” Ucapannya
menggantung, enggan untuk meneruskan kalimat terakhirnya.
Sesaat aku hanya bisa tertegun tanpa
ada keberanian untuk menjawabnya. Sekarang aku tahu, mana yang lebih bersalah
di antara aku dan Dea. Mungkin untuk yang terakhir kalinya, aku akan merasakan
bagaimana kepercayaan yang sulit diraih itu bisa luluh seketika.
Dea masih terdiam dalam diamnya,
tatapannya terus mengarah kepada objek di depannya; gambar-gambar yang
terabadikan di dalam memori kameraku. Perlahan, aku memintanya untuk
mengembalikan kamera yang digenggamnya kepadaku. Tetapi dia menolak.
“Dan ini apalagi? Kamu mengukir nama
Rio di pasir pantai yang disertai gambar seperti ini? Apa ini maksudnya, apa
ini?!!” Dea memperlihatkan gambar yang dimaksud ke arahku.
Tapi mengapa semuanya telah
terlambat? Semua berawal dari kecerobohanku yang tidak pernah tahu akan Dea
yang tiba-tiba membuka gambar-gambar yang terabadikan dalam memori kameraku.
Mengapa kejadiannya harus seburuk ini?
“Kamu ingin berpaling dari janji
kamu? Kamu ingin berpaling dari persahabatan kita? Dan kamu ingin memiliki Rio
juga, menandingi aku, lalu merebutnya dariku setelah Rio berhasil menjadi apa
yang kamu inginkan? Seperti itu?” Dea mendaratkan beberapa pertanyaan kasar di
telingaku, membuatku tidak ingin mendengarkan ucapannya lagi.
Aku ingin berlalu darinya untuk saat
ini, aku ingin meninggalkan topik yang saat ini memanasi telingaku. Tetapi, aku
tidak ingin melihat bagaimana kedewasaan yang ada pada diriku terbengkalai
karena kebodohanku.
Dan pada saat itu Rio datang dengan
langkah pelannya, menghampiriku dan juga Dea. Sekarang aku bisa apa setelah
sosok itu telah ada di hadapanku, berdiri di samping Dea seraya memperhatikanku
dan juga Dea secara bergantian?
“Kamu
kenapa, De?” Tanyanya sambil memegang dagu basah milik Dea.
Lalu, dengan perlahan kedua
jari-jarinya mengusap tetesan air mata yang telah membentuk anak sungai pada
kedua matanya. Aku hanya bisa menyaksikannya dalam lirih, aku hanya bisa
berdiri mempertanggung jawabkan semuanya tanpa ada dukungan.
“Kamu mencintai Ify, Yo?” Tanyanya
langsung to the point.
Situasi telah membuatku semakin
panas. Pada akhirnya, dengan ikhlas aku meluncurkan butiran-butiran bening itu,
meski pada akhirnya tak akan pernah ada siapapun yang berusaha keras untuk
mengusapnya. Karena aku bukanlah sesuatu yang penting dalam bagian hidupnya.
Rio memandang Dea sebentar, lalu
teralihkan ke arahku dengan ekspresi bertanya-tanya. Sekarang, aku mengetahui
apa yang akan terjadi. Mungkin beberapa detik selanjutnya aku akan mendapatkan
luka baru yang tak pernah kukehendaki, meski dalam diam aku mengharapkan apa
yang aku tebak menjadi sebuah kebahagiaan baru.
“Apa yang kau lakukan, Fy? Mengapa
kau membuat Dea menangis seperti ini?” Tanyanya, juga dengan itonasi rendah.
Dia memandangku dengan lirih.
“Sekarang, silakan kamu jelaskan ini
kepadanya.” Dea menyodorkan kameraku ke arah Rio, lalu Rio meraihnya dengan
wajah masih penasaran. “Kamu akan menemukan apa penyebab aku menangis.”
Beberapa detik selanjutnya, Dea
memandangku dengan tatapan kecewa. Ah, ya semua orang pasti akan merasakan
kekecewaan besar jika mengalami kejadian yang sama. Apa aku bersalah
sepenuhnya? Tidak, aku tidak bersalah karena akulah yang lebih dulu memiliki
perasaan itu sebelum Rio memutuskan untuk menjadi kekasih Dea, jauh sebelum Dea
memiliki perasaan itu juga.
“Sekarang, apa yang bisa aku peroleh
dari persahabatan yang pada akhirnya dikhianati salah seorang di dalamnya? Apa
aku berhak meninggalkannya? Apakah aku berhak untuk mencacinya? Kamu bodoh, Fy,
terlalu bodoh! Bukankah kamu sudah mengetahui semuanya? Bukankah kamu sudah
menyadari juga bahwa aku dan Rio telah menyatukan kami masing-masing?” Tanyanya
dengan nada berat.
“Aku hanya,”
“Sudah! Kalau kamu memang benar menginginkan
Rio dariku, silakan ambil dan berlalu dariku untuk saat ini. Aku merasa kecewa,
aku kapok sudah memiliki seorang sahabat yang selama ini dipercaya lalu dengan
mudah berkhianat. Kapok, Fy, kapok.” Dea semakin terisak.
Aku merasakan bagaimana sakitnya
dikhianati, namun seharusnya dia juga memahami bagaimana rasanya tertandingi,
bagaimana rasanya menjadi debu setelah ada objek baru yang kemudian menjadi
bagian dalam hidup. Aku menangis saat ini juga, sangat menyakitkan.
“Kecewa, Fy. Aku kecewa!” Lantas Dea
mengambil jalannya untuk melangkahkan kakinya meninggalkanku dan juga Rio.
Di depanku, Rio masih terus
memeriksa gambar demi gambar yang aku abadikan di dalam memori kameraku.
Sekarang aku tidak bisa bertindak, aku terpasung karenanya, jiwaku terkunci
karenanya.
Tuhan, aku ingin engkau
mengembalikan semuanya seperti sedia kala. Aku ingin menyita waktu yang pernah
ada, meski tak akan pernah mungkin bisa. Aku ingin menggenggam secercah
kebahagiaan yang pernah ada, meski telah ternodai luka. Aku ingin berlalu,
meski langkahku tertahan karena kesakitan.
Tapi, semuanya terbayar sudah dengan
sisa-sisa air mata yang meninggalkan genangan tipis di kedua mataku, dengan
basuhan perih dan juga kesakitan itu. Saat ini aku hanya ingin berteriak
melepaskan segala sesuatu yang ada dalam jiwaku.
Beban yang memenuhi ragaku membuatku
ingin melepasnya, juga melepas salah prasangka dari pikiran ini dan juga
melepas ukiran luka yang menyakitkan ini dari dalam hati.
Aku hanya ingin janjinya yang pernah
dulu ada terkembalikan, menyempurnakannya dengan tanggung jawabnya juga. Tetapi
semua hambar, semua takkan mungkin terjadi.
“Maksudnya apa ini, Fy?”
Tuhan bunuh aku di tengah situasi
panas ini. Akhiri kehidupanku untuk saat ini, semuanya memang telah berubah.
Justru yang saat ini ada untukku hanyalah sebuah penyesalan yang takkan mungkin
bisa mengembalikan semuanya.
Aku tidak mungkin berdusta di
hadapannya, aku tidak mungkin melontarkan alasan yang kubuat-buat kepadanya.
Dia sendiri pasti tidak menyadari kapan aku mengambil gambar-gambar itu.
“Aku menyukaimu, senja.” Ucapku
dengan lirih.
“Senja?” Dia menerawang ke arahku
dengan tatapan meminta penjelasan.
Aku mengela nafas berat sebelum
menjawabnya. “Kau adalah sosok seseorang yang dipertemukan khusus dengan perasaanku
dengan senja. Karenamu, aku menjadi seorang pengagum senja yang hanya bisa
berharap merasakan indahnya kebersamaan yang terekan senja saat itu.” Aku
tersenyum pahit, merasakan bagaimana semuanya tertahan dalam ketidakmungkinan.
Senja yang pernah adapun dilupakan
sang waktu, sekarang aku hanya bisa berdiri tanpa kekuatan. Dulu, aku tidak
pernah bisa menduga bahwa perasaanku akan terarah kepada Rio untuk yang
terakhir kalinya.
“Hanya karena itu?” Aku mengangguk.
“Tapi, Fy, perasaanmu justru melukaimu sendiri.
Karena apa? Karena aku tidak akan pernah bisa membalas perasaan sukamu, aku
tidak akan pernah bisa kembali ada dalam kebersamaan yang sama.” Ucapnya.
Aku tahu, Rio. Karena aku hanyalah
malam tanpa bintang, aku adalah langit tanpa awan. Senjaku, kebahagiaanku,
segalanya hilang di antara perih nestapa. Aku adalah rumput padang penuh
ilalang dan aku bagaikan hujan tanpa air. Semu, itu yang memaksaku untuk
berlalu, meninggalkan segala yang pernah ada, lalu membiarkan semua yang sempat
kumiliki pergi begitu saja.
“Kau salah, kenapa kau lebih memilih
Dea daripada aku? Kau juga bersalah, kenapa kau bisa membuatku memiliki
perasaan khusus hanya untukmu? Kau juga salah, mengapa kau bisa mengubah
struktur hidupku hanya karena pertemuan itu? Dan kau akan lebih bersalah jika
kau tak mampu menjawabnya.” Ucapku di sela-sela isak tangisanku.
Senyumanku, delusiku, harapan dan
juga cita-citaku hilang ditelan ego. Cerita tentang kebersamaan itu, hanya satu
yang mengabadikannya, hanya pikiran yang menyempurnakannya dan hanya perih yang
dapat tersampaikan dari itu. Juga hanya waktu yang mampu membasuh keperihan
itu.
“Aku, aku tidak tahu. Maafkan aku.”
Senja yang aku maksud pada akhirnya
harus kuikhlaskan untuk terlupakan. Aku berusaha melupakan kata senja dalam
ingatan dan juga nyataku. Karena bagiku, senja akan selalu terpaut dengan
sosokmu yang tak mungkin bisa kuraih sedikitpun. Perasaan kita tidak mungkin
bisa dipersatukan, karena masing-masing dari kita telah memilih jalan
masing-masing.
“Aku juga yang salah, karena secepat
itu memiliki perasaan yang berlebihan itu. Maaf.” Aku langsung menyambar kamera
yang dipegangnya, lalu memilih untuk berlalu.
“Fy,” Langkahku terhenti di ambang
pintu, suaranya membuat langkahku terkunci dan tak mampu lagi bergerak darinya.
Aku ingin menoleh, tetapi aku takut
keperihan itu datang untuk yang kedua kalinya. Aku ingin menyampaikan emosiku,
tetapi aku takut membuatnya merasakan sakit yang sama. Karena aku tidak pernah
ingin membuatnya terluka, aku tidak pernah menginginkan dia merasakan
sakit sepertiku. Aku hanya ingin dia
selalu tersenyum, meski senyumannya berarti tangisanku.
Selang beberapa detik, aku nyari
merasakan nafasku terhenti karena kedua tangan yang melingkar di pinggangku,
juga kepala yang tersandar pada pundakku. Helaan nafasnya yang kasar terdengar
ritmis, dan aku hanya bisa menangis sekuatnya.
“Yo, lepaskan aku. Aku ingin pergi,
Yo. Aku ingin melupakan semuanya.”
Dengan mudah Rio melepaskanku dari
pelukannya. Mungkin juga dia menyadari bahwa sepenuhnya aku bukan lagi sesuatu
yang bisa diperluluh oleh sikapnya. Dengan segera, aku meninggalkannya tanpa
menoleh untuk yang terakhir kalinya.
“Maafkan aku, karena pada dasarnya
perasaan yang aku miliki bukan berarti kebahagiaanmu. Begitu juga kebahagiaan
yang kau punya, mungkin akan mengurai tangisan nyata dalam hidupku.” Gumamku,
setelah sebelumnya melepaskan tangan Rio yang menggenggam erat tanganku.
Sekarang aku bukan siapa-siapa lagi.
Aku hanya sosok asing tanpa pengetahuan, aku hanya sesosok manusia egois yang
tak layak mendapatkan makna dari hidup. Semua berawal dari kebersamaan, semua
berawal dari sebuah kesederhanaan, namun berakhir tanpa diduga.
Aku bagaikan terhempas cerita di
dasar luka, tertancap kesakitan dalam sebuah ilusi, tertandingi waktu yang
telah melesat dengan cepat. Aku bukanlah siapa-siapa, aku hanya sosok asing,
yang kini menjelma menjadi sosok bayangan tanpa nyata. Aku bagaikan seonggok
sampah, aku adalah objek tanpa dasar pembangun. Aku… benar-benar rapuh.
Pada akhirnya, kuikhlaskan senjaku terenggut
waktu, terputar dari pikiranku hingga membentuk mozaik-mozaik luka dalam puzzle
hidup.
Senjaku akan terkenang selalu, senjaku
akan tetap ada, meski telah ada pada milik yang lain. Aku, jinggamu yang takkan
pernah bisa tercampur denganmu, senja. Aku jingga tak berisyarat, aku hanya
jingga yang tak bisa menghantarkan kesempurnaan dalam senjamu. Dan jinggaku
kembali terurai menjadi warna dasar tanpa irama, karena rapuh, karena luka dank
arena tertelan kesakitan dalam iringan waktu yang telah diputuskan untuk
menjadi garis takdir tentangku.
Karena aku bukanlah jingga dalam
senjamu; tak mungkin bisa mengurai keindahan. Karena aku bukanlah pilihan dalam
takdirmu; tak mungkin bisa menyatu dalam kesatuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar